Opini

Pengaruh Negatif Era Globalisasi Terhadap Perkembangan Rohani Generasi Muda

Jika yang dimaksud dengan era globalisasi adalah suatu masa yang antara lain ditandai dengan hilangnya sekat-sekat pemisah antara kelompok manusia yang satu dengan kelompok lainnya karena perbedaan suku bangsa, bahasa, kondisi sosial-budaya, dsb., maka sesungguhnya proses ke arah itu telah diawali sejak terutusnya Nabi Suci Muhammad saw. dalam kapasitanya sebagai rahmatan lil ‘aalamiin.

Sebab tidak sebagaimana nabi-nabi sebelumnya yang hanya diutus pada satu bangsa saja, bahkan ada di antaranya yang diutus secara bersamaan untuk satu bangsa tertentu, keterutusan Rasulullah saw. diberlakukan untuk semua bangsa (QS 21:107). Hal ini boleh jadi juga sebagai pernyataan bahwa sudah saatnya manusia dipersatukan dalam kerahmatan Allah yang terbabar melalui keterutusan Rasulullah Saw. Dimana perbedaan suku bangsa, warna kulit, bahasa dll., bukan menjadi ukuran tinggi rendah atau mulia hinanya suatu bangsa atas bangsa lain. Sebab, kemuliaan seseorang atau bangsa di mata Allah hanya diukur oleh tingkat ketaqwaannya ( QS 2:185).

Pada awal perkembangan Islam, dan beberapa abad sesudahnya, umat Islam mampu membuktikan globalisasi ajaran, bahkan dengan orang yang berbeda agama sekalipun, dalam satu ikatan ukhuwah insaniah, yang masing-masing dengan suka rela melepaskan nilai-nilai yang selama itu dianggap baku untuk diganti dengan nilai-nilai Islamiyah.

Akan tetapi sayang, sementara proses globalisasi terus berjalan, umat Islam lepas dari perannya sebagai “pengamal”, sebelum sampai pada perwujudan yang sebenarnya; dan peran itu kemudian digantikan oleh umat lain.

Perkembangan proses globalisasi sampai dengan taraf sekarang ini justru menempatkan umat Islam ke sudut ruangan yang sempit dan terasing, bahkan sampai pada tingkat yang sulit dipercayai bahwa mereka pernah mengambil peran terbesar dalam merintis era globalisasi itu sendiri.

Umat Islam dalam proses Globalisasi  

Islam memandang manusia lebih pada esensinya (aspek ruhaniyah). Tetapi tampaknya, nilai-nilai essensial itu semakin ke sini semakin terdesak oleh nilai budaya non Islam yang memandang manusia lebih pada eksistensinya (aspek lahiriyah)..

Namun demikian, dalam beberapa hal, misalnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dilihat dari sudut pandang tertentu sangat layak untuk disyukuri. Dalam hal ini palng tidak, untuk umat Islam dapat mengetahui dan membaca tanda-tanda zaman guna dikaji sedemikian rupa sesuai petunjuk Qur’an Suci dan hadits Nabi (baik secara langsung ataupun melalui tuntunan iman zaman), agar pada saatnya dapat mengambil sikap dan langkah-langkah tertentu dalam upaya meluruskan kembali arah dan corak proses globalisasi, sebelum mencapai perwujudan yang sebenarnya seperti yang dirintis oleh pendahulunya.

Dalam hal itu faham-faham keagamaan terhadap ilmu pengetahuan, dikaji sedemikian rupa: budaya, dan wahyu Ilahi seperti selama ini, harus diadakan kajian ulang secara kritis. Kecuali itu, pola berpikir yang statis, dan pola ibadah yang formalitis serta pola hidup eksklusifistis juga perlu diadakan pembaharuan sedemikan rupa, sehingga mampu menjawab tantangan zaman. Sebab jika tidak demikian akan membuat umat Islam semakin terasing dan menderita. Ketegangan-ketegangan antara kelompok yang ingin bertahan dalam ide-ide statis dengan kelompok kreatif akan menjadi agenda utama umat Islam; sementara urusan lain yang lebih penting dan urgen tidak terjamah.

Hal ini hendaknya dipandang sebagai suatu kewajiban, berhubung dengan kosistensinya selaku Khalifatullah fil ardl. Lebih-lebih bagi warga GAI, yang mengklaim dirinya sebagai organisasi ruhani, sebagai laskar samawi, yang menjunjung tinggi agama melebihi dunia, harus merasa punya tanggung jawab yang lebih besar terhadap keselamatan umat manusia.

Gerakan Ahmadiyah dengan ide-ide pembaruannya insya Allah dapat tampil ke depan mewakili umat Islam umumnya untuk merebut kembali tali kendali perubahan dan perkembangan zaman yang terjadi. Dalam hal ini, Allah Swt melalui Kalam-Nya telah menjanjikan kemenangan dan akan menempatkan sebagai penguasa di bumi jika melaksanakan dua hal. Pertama beriman kepada Allah Swt. dengan segala konsekuensi dan amaliahnya, kedua berbuat baik (beramal sholeh).

Allah berjanji kepada orang – orang yang beriman diantara kamu dan berbuat baik , bahwa Ia pasti akan membuat mereka penguasa di bumi sebagaimana Ia akan menegakkan bagi mereka agama mereka yang telah Ia Pilih, dan bahwa Ia akan memberi keamanan sebagai penganti setelah mereka menderita ketakutan.” ( QS 24:55).

 

Kecenderungan sosial dalam era globalisasi

Era globalisasi, yang ditandai dengan dengan adanya ledakan informasi dan revolusi teknologi komunikasi, telah menempatkan ilmu pengetahuan dan teknologi lebih berperan sebagai kerangka acuan dalam pembentukan pola hidup, pola pikir, pola tingkah laku, dsb. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang pada dasarnya bersifat netral itu, melalui sentuhan sekularisme dan materialisme, menjadi nilai dominan yang membuat nilai-nilai spiritual atau ruhani semakin tidak tersentuh dan terabaikan.

Globalisasi yang melanda hampir seluruh aspek kehidupan manusia, sebagai akibat dari kemajuan IPTEK, terutama di bidang komunikasi-informasi dan budaya rasionalisme liberal, telah memporak-porandakan hampir seluruh tatanan sosial yang selama ini dianggap baku. Pengertian manusia mengenai ruang waktu, jarak, dll. juga mengalami perubahan secara esensial, isolasi geografis, ekonomi, politik,bahkan ideology terbuka lebar.

Pola hubungan sosial dan budaya pun mengalami perubahan total, sehingga hubungan antara bapak dan ibu menjadi tidak jelas. Kadang kala ibu berperan sebagai bapak atau sebaliknya, atau bahkan keduanya berperan sama. Demikian juga posisi generasi tua menempati posisi generasi muda atau sebaliknya. Pola hubungan antara generasi muda tidak lagi jelas perbedaan dengan pola hubungan antar orang tua. Bahkan sampai pola hubungan pria dan wanita hampir tak mengenal batas.

Kecenderungan-kecenderungan di atas menyebabkan lembaga-lembaga sosial dan keagamaan, bahkan lembaga rumah tangga pun tidak lagi dapat berfungsi sebagai pengontrol penseleksi terhadap informasi yang harus diterima anak-anak dan anggota keluarganya yang lain, yang disampaikan melaui alat-alat teknologi audio visual.

Sementara itu, kemampuan secara ekonomis bagi rata-rata orang sebagai akibat dari etos erja yang semakin meningkat, menyebabkan meningkatnya pula daya beli alat-alat teknologis. Hal ini juga menjadi faktor pendukung lain, dan memiliki arti penting dalam perubahan ke arah era baru tata kehidupan manusia. Ditambah lagi dengan sikap sementara orang tua yang kehadirannya di tengah-tengah keluarga merasa terwakili secara fungsional oleh kehadiran alat-alat teknologi itu.

 

Generasi muda dalam era globalisasi

Yang paling menderita dari era globalisasi dengan kecenderungan-kecenderungan seperti di atas, agaknya generasi muda, teristimewa anak-anak dan remaja.

Para peneliti di bidang psikologi telah membuktikan bahwa perilaku manusia yang merupakan pencerminan dari keadaan jiwa, disamping dipengaruhi oleh faktor-faktor personal (sikap, kepribadian, motif, kepercayaan,dll) juga faktor-faktor situasional (kecenderungan sosial, teknologi, geografi, dll). Pada usia kanak-kanak dan remaja khususnya, dimana keadaan jiwanya masih bergejolak dan masih mencari bentuk, sementara di sisi lain konsep terhadap dirinya juga belum mapan, faktor-faktor di luar dirinya lebih berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian dan perilakunya.

Kenyataan yang kita saksikan dalam dunia kanak-kanak dan remaja, kecenderungan untuk meniru perilaku orang lain masih sangat menonjol; mereka suka meniru perilaku atau apa pun yang ada pada tokoh-tokoh fiktif yang mereka dapati dalam cerita-cerita film atau buku, terutama perilaku-perilaku yang mengambarkan keberanian, keperkasaan, kebebasan, kebaruan, dsb, yang hal ini sesungguhnya merupakan tuntutan alami belaka.

Gejala yang tampak oleh kita belakangan ini semakin kaburnya batasan-batasan terhadap hak pribadi dalam menerima informasi. Hal – hal yang sebelumnya hanya boleh dilihat atau didengar orang-orang tua. Keadan ini membuat jiwa mereka kecewa, goncang, dan memberontak. Sebagai pelampiasan keadaan jiwa yang kacau itu tidak jarang dengan periaku negatif, seperti berkelahi, mabuk-mabuk, ngebut di jalan raya, dsb. bahkan tidak jarang pula mereka nekad melakukan perbuatan-perbuatan yang sesungguhnya hanya layak dilakukan oleh orang-orang yang sudah bersuami-istri. Bagi mereka yang tidak kuasa menahan gejolak jiwa itu justru akan menderita tekanan mental yang hebat.

Dalam keadaan semacam ini, ide-ide ruhaniah yang dirumuskan dari kaidah-kaidah normatif yang bersumber dari wahyu Ilahi, tidak dikembangkan oleh para pengajar agama dan organisasi-organisasi keagamaan. Ide-ide itu diberikan dalam porsi yang amat sangat sedikit, misalnya hanya diberikan di sekolah-sekolah formal. Karenanya, ide-ide itu dinilai asing, ketinggalan jaman dan tak berarti.

 

Peran Gerakan Ahmadiyah dalam era globalisasi

Sebagai gerakan pembaharuan dalam Islam, Gerakan Ahmadiyah sudah seharusnya dapat mengambil peran lebih besar dalam upaya menyelamatkan manusia dari belenggu duniawi, dan menegakkan kembali Islam secara fungsional sebagai agama buat manusia.

Dalam konsepsi Islam, manusia terbagi atas tiga tingkatan keadaan, yakni keadaan alami, akhlaki, dan ruhani. Dalam tingkatan keadan alami, manusia masih dikuasai nafsu amarahnya yang cenderung pada kejahatan. Kecenderungan sosial pada era globalisasi yang gejala-gejalanya mulai tampak sekarang ini, agaknya lebih berorentasi terhadap pemenuhan tuntutan-tuntutan alamiah manusia ini.

Jika tuntutan-tuntutan alamiah atau jasmaniah ini tidak terkendali, akan sangat membahayakan bahkan membinasakan nilai-nilai akhlak dan ruhani, terutama bagi generasi muda, dimana keadaan jiwanya masih bergejolak untuk menemukan jati dirinya, sehingga seakan-akan mereka tak mendapat peluang untuk mengembangkan ruhaninya. Jika keadaan ini dibiarkan terus tanpa ada sentuhan Ilahi dalam porsi yang cukup memadai, niscaya tidak akan bisa membuat kemajuan-kemajuan ruhaninya.

Ada tiga cara agar manusia dapat beralih meningkat dari keadaan alami ke keadaan akhlaki dan ruhani. Pertama, diajarkan sopan santun dan budi pekerti kemanusiaan pada taraf yang serendah-rendahnya, yaitu mengusahakan supaya mengikuti tata cara hidup sebagai manusia, dalam hal makan, minum, kawin dan hal-hal lain yang berhubungan dengan peradaban manusia.

Kedua, diajarkan budi pekerti yang lebih tinggi tingkatannya serta diajarkan supaya mempergunakan segala kemampuan yang terdapat pada dirinya utuk diterapakan pada keadaan dan kesempatan yang semestinya. Apabila langkah pertama dan kedua ini dapat dilakukan, maka keadaan manusia sudah naik ke derajat yang lebih tinggi, yakni keadaan ahlaki, yang ditandai dengan penyesalan yang luar biasa atau menyalahkan dirinya sendiri (nafsu lawwamah).

Ketiga, diajarkan mencicipi kelezatan serta kecintaan Ilahi dan kesyahduan perjumpaan dengan-Nya. Perjumpaan dengan Allah adalah kenikmatan ruhani yang paing tinggi, yang hanya bisa dicapai oleh orang-orang yang derajat ruhaninya tinggi. Dan cara yang tepat adalah dengan shalat wajib dan sunnah, terutama shalat tahajud. Dengan demikian, perjumpaan dengan Allah itu dapat dinikmati sejak manusia masih hidup di dunia ini.

Jika cara ketiga ini sudah bisa dilakukan, maka manusia telah mencapai keadan ruhani yang ditandai dengan keadaan jiwa yang tenang (nafsu muthmainnah), yang tidak akan larut dalam arus perubahan zaman, betapa pun hebatnya perubahan itu.[]

Penulis : Mulyono
Sumber : Kumpulan Naskah Jalsah Salanah GAI Ke-30 di Magelang

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here