Artikel

Menyoal Arti Kata Khatamun-Nabiyyin

Ungkapan  Khatamun-Nabiyyin termaktub  dalam ayat 40 surat Al-Ahzab. Para alim ulama Islam sepanjang zaman sepakat bahwa ungkapan tersebut menunjukkan keagungan, kemuliaan dan kesempurnaan Nabi Suci Muhammad saw., tetapi berbeda orientasinya. Arti ayat itu selengkapnya sebagai berikut:

Muhammad bukanlah ayah  salah seorang dari orang laki-laki kamu, melainkan dia itu Utusan Allah dan segel (penutup) para Nabi (khatamun-nabiyyin). Dan Allah senantiasa Yang Maha Tahu akan segala sesuatu.”

Secara garis besar, ada tiga  pendapat mengenai arti kata khatamun-nabiyyin dalam ayat ini. Pertama, penutup para Nabi. Dalam arti, Nabi Muhammad saw. Adalah Nabi terakhir pengangkatannya, sebagaimana  dikemukakan oleh ulama ahli fikih dan kalam.

Kedua, materai para Nabi. Dalam arti, Nabi Muhammad saw. Adalah nabi pembawa syariat terakhir, sebagaimana  dianut  oleh para  ulama ahli tasawuf. Ketiga, segel (penutup) para Nabi. Artinya, Nabi Muhammad saw. adalah  yang menutup atau mengakhiri  jabatan  kenabian.

Pendapat ketiga ini dianut oleh Maulana Muhammad Ali, sebagai penegasan pernyataan H.M. Ghulam Ahmad tentang mutlaknya keberakhiran kenabian pada diri Nabi Muhammad saw. Sebabnya, sesudah Nabi Suci Muhammad saw., tak akan ada lagi nabi yang diutus oleh Allah, baik Nabi lama ataupun Nabi baru.

 

Nabi Muhammad sebagai Bapak Rohani

Maksud ayat seutuhnya menjelaskan  masalah kebapaan (fatherhood atau abuwwat) Nabi Suci Muhammad saw. Secara tersurat, yang dimaksud ayat ini adalah kebapakan jasmani Nabi Suci. Tetapi, secara tersirat ayat ini juga mengandung maksud mengenai kebapakan rohani Nabi Suci.

Setiap Rasul adalah bapak rohani bagi umatnya (kullu  rasulin abu ummatihi). Dan keabadian kebapakan rohani Nabi Suci bagi umat manusia dalam ayat ini disebut dengan istilah khatamun-nabiyyin, artinya segel atau penutup para Nabi. Sebabnya, sesudah Nabi Suci tak ada lagi bapak rohani bagi umat manusia.

Ayat di atas akan menjadi lebih  jelas lagi jika dihubungkan dengan ayat-ayat  lain, seperti misalnya :

  1.  Ayat tentang kesempurnaan Agama Allah dalam  Islam (QS 5:3).
  2.  Ayat-ayat  tentang keterutusan  beliau untuk  segala bangsa (QS 7:158; 25:1; 34: 28).
  3.  Ayat-ayat yang memerintahkan agar  umat manusia beriman kepada Wahyu Ilahi  dan para Nabi  terdahulu (QS 2:4, 136, 285).
  4.  Ayat-ayat tentang kelengkapan dan kesempurnaan akhlak Nabi Suci sebagai suri  tauladan (QS 68:4; 33:21;98:2-3).
  5.  Ayat-ayat tentang penjagaan Ilahi  terhadap risalah  beliau (QS 15:9; 41:42; 56:57-58; 85:21-22), yang oleh sebab itu tak diperlukan lagi datangnya seorang nabi sesudah Nabi Suci Muhammad saw.

 

Munasabah Ayat

Selanjutnya, coba kita tinjau ayat-ayat sebelum 33:40 ini. Ayat 35 menjelaskan  kesamaan derajat rohani antara  pria dan  wanita. Ayat 36 menyinggung saran Nabi Suci agar Siti Zainab dinikahkan dengan Zaid, anak  angkat beliau. Baik Zainab  maupun saudaranya sejatinya enggan kepada pernikahan itu, karena Zaid bekas  budak  yang dimerdekakan. Ayat 35 dari surat ini menundukkan keengganan mereka itu.

Ayat 37 terdiri dari dua  bagian  yang terpisah, yaitu perceraian Zaid dengan Zainab yang panjang prosesnya, dan perkawinan Nabi Suci dengan Zainab atas restu Allah. Menurut ayat 38 hal ini bukan suatu cacat bagi Nabi Suci. Selanjutnya, ayat 39 menegaskan bahwa ketakutan Nabi Suci hanyalah  kepada Allah saja.

Yang ditakutkan oleh Nabi Suci dari sesama manusia adalah tuduhan keji kaum kafir dan munafik bahwa Nabi Suci menikahi menantunya sendiri. Tuduhan  yang terus berlangsung sampai sekarang ini muncul karena menurut budaya jahiliyah, kedudukan anak angkat sama dengan anak kandung.

Tuduhan berlatarbelakang budaya jahiliyah inilah yang menjadi asbabun nuzul  ayat ke-40. Dengan penegasan ”Muhammad bukanlah ayah salah seorang dari orang-orang lelaki kamu,” mengandung arti bahwa Zaid bukanlah anak Nabi Suci, tetapi anak bapaknya secara biologis, yakni Haritsah. Ayat ini bermaksud menjelaskan tentang kedudukan anak angkat menurut syariat Islam tidak sama dengan anak kandung. Dengan demikian beliau tidak menikahi menantunya sendiri.

Di samping itu, penegasan tersebut mengandung petunjuk bahwa silsilah jasmani Muhammad saw. terputus, sebab anak-anak lelaki beliau wafat tatkala mereka masih kanak-kanak. Maka dari itu orang-orang kafir menyebut  beliau  abtar, terputus keturunanya.

Tetapi menurut 108:3 yang abtar adalah kaum kafir. Ayat ini tak bertentangan dengan QS 33:40. Sebabnya, kaum kafir  hanya melihat  yang bersifat jasmani saja, sedangkan Quran Suci, selain melihat yang jasmani dan rohani, tetapi lebih menekankan yang rohani daripada yang jasmani.

Maka Quran Suci tetap menganjurkan ”panggilah mereka dengan nama ayah (kandung) mereka” (QS 33:5), meskipun ada penegasan, ”Nabi (bapa rohani) itu lebih  dekat pada kaum mukmin daripada diri mereka sendiri, dan istri-istrinya adalah sebagai ibu mereka” (QS 33:6).

Keterputusan silsilah silsilah Muhammad saw secara jasmani, seakan-akan  suatu cacat bagi beliau. Tetapi, secara rohani silsilah beliau berlangsung terus dan tak berkesudahan. Karena itulah beliau disebut khatamun-nabiyyin, segel (penutup) para Nabi, sebab sesudah beliau tak ada Nabi (bapa rohani) lagi.

Sebaliknya, kaum kafir  penentang beliau benar-benar  terputus, karena pasca Fathul-Makkah anak-anak mereka, bahkan diri mereka  sendiri menjadi anak-anak  rohani Muhammad saw. Dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan, mereka masuk Islam dengan tulus.

 

Khatam dan Khatim

Secara linguistik  kata khatam  dapat dibaca khatim, sebagaimana bisa kita baca dalam mushaf Warsy, yang makna aslinya adalah penutup  para Nabi. Tetapi jika dibaca khatam, artinya segel para Nabi. Makna ini lebih dalam daripada kata penutup para Nabi.

Karena kata khatam  mengandung  arti penutup yang digabung dengan kesempurnaan wahyu kenabian bersamaan pula  dengan kelestarian penganugerahan  sebagian wahyu kenabian di kalangan pengikut beliau.

Berbagai riwayat Hadits mendukung arti khatamun-nabiyyin dalam arti penutup para nabi. Dalam sabdanya, Nabi Suci antara lain menyatakan bahwa ”para Nabi  itu bersaudara” (HR Bukhari). Beliau bersabda pula bahwa tak akan ada lagi Nabi sesudah beliau (la nabiyya ba’di, HR Bukhari). Beliau juga bersabda, ”ana al’aqib, aku adalah  yang penghabisan” (HR Bukhari).

Adapun mengenai ”Isa Al-Masih yang akan datang” (HR Muslim), Nabi Suci menyebutnya sebagai”immamukum  minkum, imam kamu dari antara kamu” (HR Bukhari). Artinya, Isa Al-Masih yang akan datang kemudian itu bukan seorang Nabi, melainkan hanya sebagai khalifah beliau. Para sahabat pun berpendapat  yang sama dengan beliau dalam hal ini.[]

 

Oleh: Simon Ali Yasir

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here