
Dalam menguatkan pendapatnya tentang penolakan hukum rajam, Maulana Muhammad Ali mendasarkan pada ayat al-Qur’an yakni adalah QS. an-Nur (24): 2; QS. an-Nisa (4): 25; QS. al-Baqarah (2): 213
"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman." (QS. an-Nur (24): 2).24
Substansi dari ayat di atas dijadikan landasan Maulana Muhammad Ali sebagai penguat bahwa hukuman bagi para pezina adalah hukuman dera dan bukan hukuman rajam. Hal tersebut terlihat dari adanya istilah “al-zaniyat” dan “al-zaniy” yang berarti perempuan yang melakukan zina dan laki-laki yang melakukan zina. Dalam kalimat tersebut tidak terkandung batasan apakah sudah menikah (muhshan) atau belum menikah (ghairu muhshan).
"Dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji, maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami." (QS. an-Nisa (4):25).
Dalil Q.S. an-Nisa ayat 25 di atas dijadikan sebagai penguat pendapat Maulana Muhammad Ali mengenai penolakan hukum rajam. Alasan yang menjadi dasar adalah adanya pernyataan dalam firman tersebut mengenai kadar hukuman bagi budak yang melakukan zina, yakni setengah dari kadar hukuman orang yang merdeka.
Berdasarkan ketentuan tersebut, Maulana Muhammad Ali berpendapat bahwa hukum rajam tidak ada karena tidak dapat dibagi. Seandainya hukum rajam itu ada, maka akan memunculkan kerancuan mengenai hukuman bagi budak yang melakukan zina.
“Manusia itu adalah umat yang satu, maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (QS. al-Baqarah (2): 213).
Substansi dari firman di atas adalah adanya ketentuan Allah bahwa Kitab yang telah diturunkan Allah kepada para Nabi merupakan sumber pemberi keputusan bagi setiap permasalahan yang telah ada.
Terkait dengan hukuman rajam, dalam al-Qur’an tidak terkandung nash yang menyebutkan hukuman rajam tersebut dan hanya disebutkan hukuman dera sebagai hukuman bagi para pezina.
Oleh sebab itulah Maulana Muhammad Ali kemudian berpendapat bahwa hukuman bagi para pezina adalah dera dan bukan rajam sebagaimana disebutkan dalam Q.S. an-Nur ayat 2.
Selain dalil dari al-Qur’an, Maulana Muhammad Ali juga mengetengahkan – yang menurut beliau adalah – hadits dan riwayat untuk menguatkan pendapatnya, yakni:
"Syaibani berkata: Aku bertanya kepada Abdullah bin Abi Aufa sebagai berikut: Apakah Nabi Muhammad SAW menjatuhkan hukuman rajam sampai mati? Ia menjawab: Ya! Aku bertanya lagi. Adakah itu dilakukan sebelum turunnya surat An-Nur (surat 24), ataukah sesudahnya? Ia menjawab: Aku tidak tahu".
Surat yang dimaksud ialah Surat yang menerangkan hukuman dera sebagai hukuman perbuatan zina, dan dikemukakannya pertanyaan itu menunjukkan dengan jelas bahwa menjatuhkan hukuman rajam terhadap perbuatan zina adalah bertentangan dengan perintah yang jelas dan tegas termuat dalam surat An-Nur itu.
Mungkin sekali bahwa pada waktu itu timbul salah-faham tentang peristiwa yang terjadi sebelum turunnya wahyu al-Qur'an mengenai hal itu, yang dianggap bahwa kejadian itu adalah Sunnah Nabi.
Kaum Khawarij, salah satu sekte kaum Muslimin zaman permulaan, menolak hukuman rajam sebagai salah satu hukuman dalam agama Islam.
Diriwayatkan bahwa Sayyidina Umar berkata sebagai berikut: “Banyak orang yang bertanya: Mengapa dijatuhkan hukuman rajam, sedangkan yang ditetapkan oleh Allah adalah dera."
Atas keberatan itu, Sayyidina Umar menjawab sebagai berikut: "Dalam wahyu Allah, terdapat ayat tentang rajam, kami membaca itu, dan kami memahami itu, dan kami menjaga itu. Nabi Muhammad SAW menjalankan hukum rajam, dan kami pun mengikuti sunnah beliau; tetapi aku kuatir, bahwa lama-kelamaan, orang akan berkata: Kami tak menemukan ayat tentang rajam dalam kitab Allah."
Menurut Hadits lain, Sayyidina Umar menambahkan keterangan sebagai berikut: "Sekiranya Orang-orang tak akan berkata, bahwa Umar memasukkan dalam Kitab Allah apa yang tak ada di dalamnya, niscaya aku akan menulis itu."
Semua dalih yang di-akukan kepada sayyidina Umar adalah tak masuk akal. Sedangkan mengenai riwayat yang menjelaskan tentang khotbah Umar bin Khattab mengenai keberadaan ayat rajam, Maulana Muhammad Ali menjelaskan bahwa mungkin sekali Sayyidina Umar hanya berkata bahwa hukum rajam adalah hukuman perbuatan zina menurut syari'at Musa, dan beliau disalahfahamkan.
Pendeknya, beliau tak mungkin mengucapkan kata-kata yang di-akukan kepada beliau. Sekiranya ada ayat Qur'an semacam itu, niscaya beliau beritahukan itu kepada Sahabat yang diberi tugas untuk menyusun mushaf, pada waktu naskah yang lengkap disusun untuk pertama kali pada zaman khalifah Abu Bakar atas usul beliau.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa istinbath hukum yang dilakukan oleh Maulana Muhammad Ali didasarkan pada dalil al-Qur’an dan riwayat sahabat.
Sedangkan mengenai hadits-hadits Nabi Muhammad Saw yang menerangkan tentang hukuman rajam bagi pezina, menurut Maulana Muhammad Ali adalah lemah dan tidak dapat dijadikan sebagai dasar dari istinbath hukum.[]
- Penulis: Muhammad Munawir
- Retrieved from : adoc.pub
Comment here