Artikel

Siapakah yang berhak menyandang gelar Ahlul-Bait?

Banyaknya ragam hadits yang berkenaan dengan ahlul-bait melahirkan berbagai pendapat di kalangan umat Islam, mengenai siapakah mereka yang berhak menyandang gelar tersebut.

Menurut Imam Malik dan Imam Hanafi, yang termasuk ahlul-bait adalah Bani Hasyim. Sedangkan menurut Imam Syafi’i, hanya Bani Muthalib sajalah yang berhak menyandang gelar ahlul-bait.

Tetapi menurut kaum Syiah Itsna Asy’ariyah (Syiah 12 Imam), ahlul-bait adalah orang-orang khusus yang disucikan Allah Swt. Mereka adalah Nabi Muhammad Saw, Ali bin Abi Thalib, Fatimah, dan para imam setelah Ali yang berjumlah 12, yaitu Hasan, Husein, Ali bin Husein Zainal Abidin, Muhammad Al-Baqir, Ja’far Ash-Shadiq, Musa Al-Kazim, Ali Ar-Ridha, Muhammad Al-Jawad, Ali Al-Hadi, Hasan Al-Ashari, dan Muhammad Al-Muntazhar.

Lain lagi bagi kalangan kaum salafi. Lingkaran ahlul-bait itu bagi mereka lebih sempit lagi, karena hanya terdiri dari Nabi Suci, Ali bin Abi Thalib, Fatimah, Hasan, Husein dan para istri Nabi Suci.

Agaknya, kaum salafi ini bersandar pada hadits tentang al-Kisa’ (hadits tentang kerudung/selimut), yang berkaitan dengan asbabun-nuzul QS Al-Ahzab ayat 33. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Thabrani, bersumber kepada Ummu Salamah, istri Rasulullah saw.

Dalam hadits ini dinyatakan bahwa yang termasuk dalam ahlul-bait adalah Rasulullah saw. sendiri, lalu Ali bin Abi Thalib, Fathimah, Hasan dan Husein. Hadits serupa juga terdapat dalam Hadits Mahabbah (hadits-hadits yang berisi kecintaan terhadap ahlul-bait), yang diriwayatkan oleh Thabrani dan bersumber dari Jabir bin Abdullah.

Tetapi dalam banyak hadits lain yang berkaitan dengan ahlul-bait, tak ada penyebutan nama yang spesifik mengenai siapa sajakah ahlul-bait itu. Dalam Hadits As-Safinah, misalnya, yang diriwayatkan oleh Hakim An-Naisabur, yang bersumber kepada Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas. Dalam hadits tersebut, Nabi Suci bersabda, “Perumpamaan ahlul-baitku bagimu sekalian adalah seperti bahtera Nuh a.s. Barangsiapa menaikinya, dia pasti akan selamat. Dan barangsiapa berpaling darinya, maka ia pasti tenggelam.”

Frasa “ahlul-bait” dalam al-Qur’an termaktub di Surat Al-Ahzab ayat 33. Frasa ini mengandung arti “penghuni rumah tangga.” Secara definitif, yang dimaksud ahlul-bait di dalam ayat ini adalah istri-istri Nabi Suci Muhammad saw. Kesimpulan ini secara sederhana bisa kita dapatkan dengan cara membaca ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, setidaknya mulai ayat 28 hingga 34.

Dalam arti yang sama, frasa ini juga digunakan dalam al-Qur’an untuk menyebut Siti Sarah, istri Nabi Ibrahim yang melahirkan Ishak, yang kemudian beranakkan Yakub (QS 11:71-73). Juga digunakan untuk menyebut istri Imran atau ibunda Nabi Musa (QS 28:12).

Semua ayat al-Qur’an yang mengandung frasa ahlul-bait di atas, menunjukkan bahwa ungkapan “ahlul-bait” yang dimakud adalah istri nabi, yang menjadi kepala dalam rumah tangga nabi. Sebagaimana suami adalah kepala keluarga, maka seorang istri adalah kepala rumah tangga.

Akan tetapi, dalam perkembangannya, frasa ahlul-bait mendapat perluasan makna di dalam khazanah umat Islam. Ahlul-baik dimaknai sebagai semua anggota keluarga yang membentuk rumah tangga Rasulullah saw., bahkan juga anak-anak dan cucu-cucunya, karena memiliki garis turun biologis dari istri-istri beliau.

Tetapi jika kita kembali merujuk pada Al-Qur’an, maka yang termasuk ahlul-bait adalah segenap orang beriman dan beramal saleh, yang mengikuti tuntunan atau teladan Rasulullah saw. Sebabnya, di dalam permulaan Surat Al-Ahzab, istri-istri Rasulullah saw. disebut juga sebagai ummahatul-mu’minin, ibu bagi kaum beriman (QS 33:6).

Oleh sebab keimanan mereka, para ahlul-bait atau orang-orang beriman dan beramal saleh itu, senantiasa mendapat shalawat dan salam serta berkat dari Tuhan, sebagaimana telah dinubuatkan oleh Nabi Musa (Kej 12: 3-7), Nabi Daud (Mzm 118:22-26) dan Isa Al-Masih (Mat 23:37-39).

Agaknya, nama-nama yang secara definitif disebut sebagai ahlul-bait dalam berbagai riwayat hadits di atas mestinya hanyalah sekedar contoh saja dari kaum beriman yang mengikuti jejak langkah Rasulullah saw. dan istri-istrinya.[]

Penulis: K.H. Simon Ali Yasir, dalam draft buku “Ensiklopedia Ahmadiyah.”
Penyunting: Asgor Ali

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »