Apabila manusia telah mempunyai pegangan hidup yang pasti yaitu percaya akan kekuasaan dan pertolongan Allah, serta berusaha dengan sekuat-kuatnya untuk taqwa pada Allah dan kemudian ia dengan tulus ikhlas berserah diri sepenuhnya ke hadirat Allah ta’ala, maka insya Allah kehidupan manusia itu tidak akan diliputi oleh kebimbangan, ketidakpastian, pesimisme, kegelisahan, dan sebagainya
Oleh: Tina Afiatin Yatimin | Ketua Badan Urusan Pemuda PB GAI
Pada akhir abad ke-20 ini dunia dilanda oleh kemajuan teknologi hasil ciptaan manusia. Dan manusia makin dikuasai oleh hasil ciptaannya sendiri, makin terbelenggu dalam kehidupan duniawi. Akibatnya segala ukuran tentang siapa dan bagaimana orang itu berdasarkan pada kekayaan dan kedudukan di dunia. Cita-cita dan orientasi kehidupan manusia hanya memenuhi kepentingan duniawinya. Tanpa disadari bahwa kehidupan duniawi ini adalah semu, sementara dan tidak sempurna.
“Dan kehidupan dunia itu tiada lain hanyalah main-main dan senda gurau. Dan sesungguhnya tempat tinggal diakhirat itu lebih baik bagi orang yang bertaqwa. Apakah kamu tak mengerti?”(QS Al-An’am [6]: 32)
Begitulah, karena manusia tidak menyadari hakekat hidup di dunia, maka dipuaskan segala nafsu rendahnya. Sehingga orang itu ingin selalu menang sendiri, menguasai orang lain dan berbuat sewenang-wenang. Keadaan ini menyebabkan seseorang itu gagal dalam mengadakan penyesuaian diri dengan lingkungannya, baik penyesuaian diri ke luar maupun ke dalam diri sendiri.
Pertentangan diri ke dalam dapat disebabkan oleh berbagai keinginan yang meminta pemuasan pada satu situasi. Misalnya: seorang mahasiswa ingin melihat film yang bagus, dan hari itu adalah pemutaran yang terakhir, padahal besok pagi dia harus ujian. Maka hal ini akan menyebabkan timbulnya konflik (pertentangan) dalam dirinya. Sedangkan pertentangan diri ke luar ialah bila keinginan-keinginan itu di dalam pemuasannya berhadapan (bertentangan) dengan keadaan yang menghambat, seperti: norma-norma agama dan masyarakat, situasi yang tidak memungkinkan, dan sebagainya. Misalnya: karena didorong oleh sifat bencinya, seseorang ingin menjatuhkan nama baik temannya dengan memfitnah. Tetapi karena norma agama melarang hal itu, maka lalu timbul konflik pada orang tersebut: memfitnah atau mematuhi perintah Allah.
Konflik-konflik terjadi pada diri manusia, selain disebabkan karena kegagalannya dalam mengadakan penyesuaian dengan lingkungan, juga dapat disebabkan karena tidak adanya pegangan hidup yang kuat dan dasar keimanan yang benar. Sehingga mudah terombang ambing oleh situasi. Somerset Mangham mengatakan “Sekarang ini Eropa telah membuang Tuhannya dan percaya pada Tuhannya yang baru yaitu ilmu. Akan tetapi Ilmu selalu berubah-ubah (tidak tetap pendiriannya). Justru karena itu, anda menjumpai para pemujanya selalu gelisah, tidak tetap pendiriannya”.
Kegelisahan yang menyertai kehidupan barat telah merusakkan syaraf mereka yang mengakibatkan mereka terkena berbagai macam penyakit jiwa. Biro penelitian kesehatan mental kota New York, pernah mengadakan suatu penelitian terhadap kesehatan mental penduduk kota tersebut. Ternyata 65% dari padanya terkena psikoneurosa (sekelompok reaksi psikis yang ditandai secara khas dengan unsur kecemasan, dan secara tidak sadar diekspresikan dengan jalan menggunakan mekanisme pertahanan diri). Kemudian Prof. K.E.S. Schmidt mengatakan bahwa penyebabnya ialah karena mereka sudah tidak mempunyai ide pegangan hidup (agama) lagi.
Demikian juga pendapat Moh. Qutb dari Mesir, yang menyatakan bahwa manusia yang tidak mempunyai pegangan hidup itu akan selalu di kuasai oleh perasaan fana (musnah). Perasaan akan pendeknya umur dan kekerdilannya dibandingkan dengan impian dan harapan-harapannya. Pada waktu itu ia akan terdorong di belakang nafsu syawatnya untuk mencapai sebanyak-banyaknya kenikmatan dunia di dalam kehidupannya yang pendek ini. Ia akan mati-matian untuk merebut kesenangan duniawi dalam satu pertarungan yang ganas. Agar di dalam satu-satunya kesempatan yang ada padanya, ini dapat mencapai apa yang diraih dari keuntungan dunia.
Demikianlah berbagai masalah yang dialami manusia, antara lain: konflik-konflik diri, kegelisahan, rasa tidak percaya diri, kebimbangan, ketidakpastian masa depan, dan sebagainya. Semua itu dapat menimbulkan kecemasan pada diri manusia. Kecemasan ialah semacam takut yang sering timbul pada seseorang biasa pada taraf yang paling ringan. Kecemasan ini sering dialami terhadap hal-hal yang belum dialami langsung dan belum diketahui kepastiannya.
Ada empat sifat dasar yang menyebabkan timbulnya kecemasan, yaitu:
- kebingungan terhadap apa yang akan dihadapi.
- ketidak-tentuan dan ketidak-tegasan mengenai sesuatu hal.
- keadaan yang tidak mampu (tidak berdaya).
- sentimen dan rasa dendam.
Mengatasi Kecemasan
Berbagai usaha dilakukan oleh manusia untuk mengatasi kecemasan, namun kecemasan itu selalu datang, pergi dan datang lagi. Hal ini dapat disebabkan karena berbagai sebab, antara lain: kurang rasa percaya diri dan tidak adanya pegangan hidup yang pasti.
Menumbuhkan dan memelihara rasa percaya diri ini sangat penting. Karena dengan kepercayaan pada diri sendiri inilah manusia akan kuat (tabah) dalam menghadapi masalah dan optimisme terhadap masa depanya. Namun tak kalah pentingnya, damai dan optimis. Apabila manusia telah mempunyai pegangan hidup yang pasti yaitu percaya akan kekuasaan dan pertolongan Allah, serta berusaha dengan sekuat-kuatnya untuk taqwa pada Allah dan kemudian ia dengan tulus ikhlas berserah diri sepenuhnya ke hadirat Allah ta’ala, maka insya Allah kehidupan manusia itu tidak akan diliputi oleh kebimbangan, ketidakpastian, pesimisme, kegelisahan, dan sebagainya, yang kesemuanya itu dapat menimbulkan kecemasan.
“Tidak, barang siapa berserah diri sepenuhnya kepada Allah dan berbuat baik kepada orang lain, ia memperoleh ganjaran dari Tuhanya, dan tak ada ketakutan akan menimpa mereka dan mereka tak akan susah.” (QS Al-Baqarah [2]:112).
Adapun sebagai sarana berserah sepenuhnya kepada Allah dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain; dengan istigfar dan taubat, seperti yang telah difirmankan oleh Allah swt. Dalam Qur’an Suci artinya:
“Dan orang-orang yang apabila berbuat tak senonoh, atau berbuat lalim terhadap jiwanya, mereka ingat kepada Allah dan mohon ampun atas dosanya. Dan siapakah yang mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak berkeras kepala terhadap apa yang mereka lakukan, sedangkan mereka tahu”. (QS Ali Imran [3]: 134).
Sedangkan taubat dapat diartikan sebagai “meninggalkan kejahatan disertai dengan pernyataan bahwa sesudahnya sekali-kali tak akan melakukan kejahatan lagi.” Apabila manusia dengan rendah hati bertaubat di hadapan Allah Ta’ala karena perbuataanya yang senantiasa tersesat dan menyesatkan, maka sesungguhnya taubat itu menyucikan kotoran-kotoran dosa. Taubat inilah penyucian dosa yang hakiki, yang merupakan obat penyakit dosa.
“Dan barang siapa berbuat jahat atau lalim terhadap jiwanya, lalu memohon ampun kepada Allah, niscaya ia akan menemukan Allah yang Maha Pengampun, Yang Maha-Pengasih” (QS An-Nisa 4:110).
Demikianlah beberapa cara agar kita dapat berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Apabila manusia telah berserah diri sepenuhnya kepada Allah dan disertai dengan amal perbuatan yang seantiasa beriman dan taqwa pada-Nya, maka insya Allah akan terhindar dari kecemasan-kecemasan dan akan diperoleh kehidupan yang ‘salam’dunia dan akhirat. “Innallooha ma’anaa” (Sesungguhnya Allah beserta kita).[]
Comment here