Idul Adha artinya Hari Raya Kurban. Mengapa disebut Hari Raya Kurban? Karena pada tiap-tiap Idul Adha, kaum Muslimin di seluruh dunia, teristimewa yang sedang menjalankan ibadah Haji, diperintahkan menyembelih kurban berupa kambing atau binatang ternak lainnya. Bagi yang sedang menjalankan ibadah Haji, menyembelih kurban ini wajib, tetapi bagi yang tak menjalankan ibadah Haji, menyembelih kurban ini sunnah dan disesuaikan dengan kemampuan.
Sebenarnya peraturan kurban ini dikerjakan oleh agama apa saja di seluruh dunia, walaupun bentuknya bermacam-macam. Akan tetapi kurban menurut Islam mempunyai arti yang dalam. Menurut Islam, kurban tidak dimaksud untuk meredakan kemarahan Tuhan, Dewa-dewa atau Roh Halus, atau menebus dosa, seperti halnya kurban di agama-agama lain, melainkan dimaksud untuk meningkatkan taqwa bagi yang menyembelih kurban itu sendiri. Quran Suci mengisyaratkan, “Bukan daging binatang, dan bukan pula darah binatang yang sampai kepada Allah, melainkan yang sampai kepada Allah ialah taqwa kamu” (Al-Hajj 22:37).
Menurut Islam, kurban yang disembelih adalah perlambang kepatuhan manusia kepada Allah. Binatang ternak yang hanya diberi rumput saja, patuh dan taat kepada perintah majikannya, bahkan sanggup mengorbankan jiwa raganya. Karenanya, manusia yang mati hidupnya di tangan Allah, diciptakan sebagai makhluk yang tertinggi di dunia dan dicukupi segala kebutuhannya, baik kebutuhan jasmani maupun kebutuhan ruhani, pasti harus patuh dan taat kepada Allah dan sanggup mengorbankan jiwa raganya.
Hal ini diisyaratkan dalam Qur’an Suci, “Dan bagi tiap-tiap umat Kami tetapkan ibadah (kurban) atas apa yang Kami rezekikan kepada mereka berupa binatang ternak, agar mereka ingat akan nama Allah. Maka Tuhan kamu ialah Tuhan Yang Maha-esa, maka dari itu berserah dirilah kepada-Nya. Dan berilah kabar baik kepada orang yang rendah hati. (Yaitu) orang yang apabila nama Allah disebut, hati mereka merasa gemetar, dan orang yang sabar terhadap kesengsaraan yang menimpa mereka, dan orang yang menetapi shalat, dan orang yang membelanjakan sebagian barang yang Kami rezekikan kepada mereka.” (Al-Hajj 22:34-35).
Coba bayangkan, siapakah yang tak gemetar hatinya pada waktu melihat seekor kambing dipotong lehernya, dibarengi dengan suara takbir yang diucapkan bersama-sama oleh orang yang mengelilinginya. Pada waktu memotong binatang yang dikurbankan, orang harus menyebut nama Allah. Adapun yang dimaksud ialah agar hati merasa gemetar pada waktu menyebut nama Allah itu.
Jadi hendaklah orang ingat pada waktu memotong binatang kurban yang ia kuasai, bahwa penting sekali baginya untuk mengorbankan nyawanya di jalan Allah, Yang menguasai segala sesuatu. Oleh sebab itu ayat yang menerangkan kurban segera disusul dengan ayat yang menyuruh kaum mukmin supaya berlaku sabar dan tabah pada waktu mendapat cobaan Tuhan. Jadi mengorbankan binatang mengingatkan kepada manusia supaya siap mengorbankan hidupnya guna membela Kebenaran.
Kepatuhan kepada Allah yang tanpa reserve itu diberikan contohnya dalam Qur’an Suci, berupa kepatuhan Nabi Ibrahim untuk mengorbankan putranya, Nabi Ismail, tersebut dalam Qur’an Suci Surat Ash-shaffaat 37:102-107 seperti berikut:
“Maka setelah ia mencapai (usia) untuk bekerja dengan dia (Ibrahim), dia berkata: Wahai putraku, aku melihat dalam mimpi bahwa aku mengurbankan engkau; maka perhatikanlah apa yang engkau lihat. Ia berkata: Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepada engkau; insya Allah engkau akan menemukan aku golongan orang yang sabar. Maka setelah dua-duanya berserah diri, dan ia (Ibrahim) menelungkupkan dia di atas dahinya. Dan Kami menyeru kepadanya: Wahai Ibrahim, sesungguhnya engkau telah memenuhi impian (dikau). Demikianlah Kami mengganjar orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini adalah cobaan yang terang. Dan Kami tebusi dia dengan kurban yang besar.”
Guna memperingati dikurbankannya Ismail, maka diperintahkanlah pengorbanan yang besar. Bukan saja berupa kurban domba jantan pada waktu-waktu tertentu, melainkan peraturan kurban yang besar kini dihubungkan dengan ibadah Haji ke Makkah. Ayat ini juga mengisyaratkan dihapuskan kurban manusia yang merajalela di kalangan bangsa-bangsa kuno, dan ini berarti bahwa kurban manusia diganti dengan kurban domba jantan untuk selama-lamanya.
Peristiwa dikurbankannya Nabi Ismail a.s. sampai sekarang terus diperingati dalam bentuk Hari Raya Kurban. Bukan ini saja, tetapi segala peristiwa yang berhubungan dengan dibuangnya Nabi Ismail a.s. dan Ibu beliau di tempat yang berdekatan letaknya dengan Ka’bah, sampai sekarang diperingati dalam bentuk yang sekarang dikenal dengan ibadah Haji.
Ibadah Haji adalah ibadah yang penuh perngorbanan, demi memenuhi perintah Allah. Sebenarnya, ibadah haji itu menggambarkan tingkat kemajuan ruhani yang paling tinggi. Rukun Haji nomor satu disebut ihram. Ihram menggambarkan pemutusan hubungan dengan segala barang duniawi, demi cintanya kepada Allah. Segala pakaian yang indah dan mahal ditinggalkan, dan orang haji hanya memakai dua lembar kain putih yang tak dijahit, bagaikan orang yang terputus hubungannya dengan dunia yang fana ini.
Ihram ini memperingati Nabi Ismail a.s. dan ibu beliau, yang diperintahkan oleh Allah untuk meninggalkan tanah air beliau di Mesopotamia yang subur, supaya menetap di padang pasir Arab yang tandus, yang digambarkan oleh Qur’an Suci bagaikan “Lembah yang tak mempunyai tumbuh-tumbuhan, di sebelah Rumah Suci Engkau” (QS Ibrahim, 14:37).
Rukun Haji yang nomor dua dan tiga, disebut thawaf dan sa’i. Thawaf ialah mengelilingi Ka’bah tujuh kali; adapun sa’i ialah berlari-lari antara Shafa dan Marwah. Dua rukun Haji ini menggambarkan meluap-luapnya api cinta kepada Allah, seakan-akan cintanya begitu meluap, hingga ia berlari-lari mengelilingi berkali-kali rumah kekasihnya, sambil berteriak labbaik allaahumma labbaik (Ya Allah, kami di sini ya Allah, di hadapan Engkau). Dua rukun Haji ini memperingati pertistiwa yang mengharukan, tatkala Siti Hajar, Ibu Nabi Ismail a.s. berlari kian kemari mencari air karena dahaga. Akhirnya mereka menemukan sebuah sumur, yang sampai sekarang dikenal dengan sumur zamzam.
Rukun Haji yang nomor empat ialah Wukuf di padang Arafah. Tepat pada tanggal 9 Dzulhijjah seluruh jamaah haji berkumpul di tempat ini. Di sini orang benar-benar menyaksikan dan merasakan kebesaran Allah dan kesatuan umat manusia. Jamaah haji dari segala penjuru dunia, baik yang berkulit hitam, putih, kuning, sawo matang, maupun yang berpangkat tinggi dan rakyat biasa, semuanya memakai pakaian yang sama dan mengucapkan ucapan yang sama dan mempunyai tujuan yang sama. Suatu pertunjukan yang tak ada taranya di dunia.
Sir Thomas W. Arnold, dalam buku The Preachings of Islam menulis: “Tak ada ahli agama yang bagaimana pun cerdasnya, dapat mengangan-angankan cara yang lebih baik daripada ibadah haji, dalam menanamkan jiwa persaudaraan di antara sesama umat. Di sini bangsa kulit hitam (negro) dari Afrika bertemu dengan bangsa kulit kuning Cina. Bangsa kulit putih Eropa berjumpa dengan kulit sawo matang dari Malaya. Pada waktu yang bersamaan, kaum Muslimin di seluruh dunia, turut merasa gembira dengan saudara-saudara yang sedang menjalankan ibadah Haji di Mekah, dengan merayakan Hari Raya Kurban di tempat mereka masing-masing.”
Sir Thomas W. Arnold benar-benar kagum akan jiwa persaudaraan di dalam Islam, karena beliau mungkin telah melihat bahwa di Amerika, yang sebagian besar penduduknya beragama Nasrani, di sana masih terdapat dua macam Gereja, yaitu gereja untuk kulit hitam dan gereja untuk kulit putih. Tetapi agama Islam, bukan saja berhasil dapat menghilangkan perbedaan warna kulit, melainkan pula berhasil menciptakan keesaan umat.
Setelah sehari penuh berwukuf di padang ‘Arafah, pada petang hari, seluruh jamaah haji berangkat ke Muzdalifah dan bermalam di sini. Tepat pada tanggal 10 bulan Dzulhijjah, setelah melempar jumrah, dan dilanjutkan dengan thawaf dan sa’i, selesailah ibadah Haji. Pada hari inilah dipotong beratus ribu Kurban di Mina. Di tempat ini juga, dahulu Nabi Ibrahim a.s. mengorbankan putranya, Nabi Ismail a.s. Dan di tempat ini pula dahulu nabi Suci Muhammad saw. mengucapkan Khutbah yang amat penting, setelah selesai menjalankan Haji Perpisahan (wada’), karena tak lama sesudahnya Nabi Suci Muhammad saw. meninggal dunia.
Peristiwa mengenai Nabi Ibrahim a.s. nabi Ismail a.s. dan Siti Hajar tersebut adalah suatu pengorbanan, suatu ketaatan dan suatu kepatuhan manusia terhadap Allah, dan ini diterangkan oleh Nabi Suci Muhammad saw. dalam Qur’an Suci sebagai peristiwa terbesar, terhebat di permukaan bumi.
Marilah kita renungkan, kita pelajari dan kita sadari secara lebih mendalam “dasar ketaatan” yang luar biasa itu, agar kita dapat mengerti dan dapat menirunya, sekalipun hanya seperseratus persen saja dari pada ketaatan Ibrahim, Ismail dan Siti Hajar tersebut. Nabi Ibrahim a.s. rela meninggalkan anak istri di padang tandus, Siti Hajar rela ditinggalkan sendirian tanpa kawan dan bekal, Nabi Ibrahim rela menyembelih anak kandung yang tunggal, sedang Ismail sanggup menyerahkan lehernya untuk disembelih, adalah bukti ketaatan terhadap Allah yang tak ada taranya di permukaan bumi ini sampai hari Kiamat kelak.
Masih ada beberapa ayat lain yang membicarakan kurban. “Dan agar mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang ditentukan atas apa yang Allah rezekikan kepada mereka berupa binatang ternak; lalu makanlah sebagian itu dan berilah makan kepada orang yang sengsara dan orang fakir.” (Al-Hajj 22:28)
Dalam ayat lain kurban disebut sebagai upaya untuk memperoleh kebaikan. Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepada engkau kebaikan yang melimpah-limpah. Maka bershalatlah kepada Tuhan dikau dan berkurbanlah.” (Al-Kautsar 108:1-2)
Dalam ayat di atas ditunjukkan dua upaya, yaitu shalat dan kurban, untuk mendapat kebaikan yang banyak. Shalat ialah hubungan yang erat dengan Allah, yang menimbulkan hasrat-hasrat tinggi dalam diri manusia untuk berbuat baik. Dan kalau hasrat-hasrat baik dan mulia timbul, maka kita diperintahkan untuk berkurban, menyerahkan hidup kita kepada kemanusiaan seluruhnya. Tidak hanya melayani satu kelompok, satu bangsa atau satu umat saja. Demikianlah arti Kurban menurut ajaran Nabi Suci Muhammad saw.
Sekarang timbul pertanyaan: Kurban apakah yang harus kita lakukan? Manusia adalah merupakan makhluk Allah yang tertinggi, termulia, dan paling lengkap, baik dari segi jasmaniahnya maupun dari segi ruhaniyahnya. Dari segi jasmaniah Qur’an Suci bersabda: “Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dalam (bentuk) ciptaan yang paling baik.” (At-Tin 95:4). Dari segi ruhaniyah Allah berfirman: “Sesungguhnya Kami telah memuliakan manusia.” (Bani Israil 17:70)
Kalau benar manusia itu makhluk yang termulia dan paling sempurna, maka apakah tugas manusia itu sebenarnya hidup di atas dunia ini? Qur’an Suci menjawab dengan ringkas.
Pertama, mengagungkan, berbakti dan mengabdi kepada Allah (ta’dzim li amrillaah). “Dan tiada Allah menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mengabdi kepadaKu” (Adz-Dzariyat 51:56). Sebagai abdi Allah, manusia hanya tunduk, patuh, taat dan berserah diri hanya kepada Allah sendiri. Tujuan seorang abdi Ilahi adalah hidup di dalam Allah dengan arti kata kembali kepada-Nya. “Kita kepunyaan Allah dan kepada-Nya kita akan kembali”. Dan untuk sampai ke sana manusia membutuhkan hidayah, rahman dan rahim Ilahi.
Kedua, cinta dan kasih kepada segenap makhluk Allah (asy-syafaqatu ‘alaa khalqillaah). Untuk itu manusia oleh Tuhan diberi kedudukan yang tinggi, yaitu sebagai penguasa atau khalifatullah di muka bumi. “Dialah Tuhan yang menjadikanmu khalifah di muka bumi” (Al-An’am 6:166, Al-Fathir 35:39). Sebagai khalifah, manusia diberi amanat oleh Allah untuk mengelola bumi beserta isinya. “Dan Dia ialah yang menciptakan untuk kamu, semua yang ada di bumi” (Al-Baqarah 2:29).
Sebagai khalifah di bumi, manusia harus mencelup diri dengan warna Allah dan mempunyai sifat-sifat Allah. Nabi Suci Muhammad saw. bersabda: “Berbudi pekertilah kamu dengan budi pekerti Allah.” Tuhan bersifat Maha- adil, karena itu manusia juga harus bersikap dan bertindak adil kepada sesamanya. Tuhan bersifat Rahman dan Rahim, karenanya manusia pun harus memancarkan sifat Rohman dan Rohim itu kepada sesama manusia.
Hanya dengan melaksanakan kedua tugas inilah manusia akan sampai kepada tujuannya. Di antara sifat-sifat Ilahi yang banyak itu adalah sifat Rohman dan Rohim, karena mengandung peranan yang penting, sebab menimbulkan cinta dan kasih sayang yang dalam dan sempurna. Nabi Suci bersabda, “Orang-orang yang bersifat rahman dan rahim akan dilimpahkan oleh cucuran Rahman dan Rahim Ilahi Yang Maha Rahman, Maha berkah dan Maha tinggi. Karena itu sebarkanlah sifat rahman dan rahimmu di muka bumi, niscaya kamu akan mendapat hujan rahmat dari langit.”
Nabi Suci juga bersabda, “Allah hanya melimpuhkan Rahman dan Rahim-Nya kepada hamba-Nya yang bersifat rahman dan rahim juga.” Tiadalah sia-sia Allah mencantumkan kalimat “bismillaahirrahmaanirrahiim” pada permulaan 113 surat dari 114 yang ada dalam Qur’an Suci. Nabi Suci Muhammad saw. bersabda: “Setiap perkara atau pekerjaan yang tidak dimulai dengan bismillaahirrahmaanirrahim akan kurang berkahnya.”
Juga dari segi lain kedua tugas manusia dapat kita ambil dari pengertian “Islam”, yang berarti damai. Yaitu damai kepada Allah (ta’dzim li amrillaah), dan damai kepada sesama makhluk (asy-syafaqatu ‘alaa khalqillaah). Kedua tugas manusia itu dilukiskan dalam Qur’an Suci: “Barangsiapa berserah diri sepenuhnya kepada Allah dan berbuat baik (kepada orang lain), ia memperoleh ganjaran dari Tuhannya, dan tak ada ketakutan akan menimpa merkea dan mereka tak akan susah.”
Dalam Surat yang lain, dalam kalimat yang berbeda, Tuhan berfirman, “Mereka akan ditimpa kehinaan di mana pun mereka berada, kecuali dengan mengadakan hubungan kepada Allah (ta’dzim li amrillah) dan mengadakan hubungan kepada sesama manusia (asy-syafaqatu ‘ala khalqillah).
Dengan kedua fungsi yang tinggi itu maka Islam adalah sesuai dengan fitrah manusia. Atau dengan ringkas dapat kita katakan, Islam adalah “Agama Fitrah”. Qur’an Suci bersabda: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama. Fitrah buatan Allah yang Ia menciptakan manusia atas (fitrah) itu. Tak ada perubahan dalam ciptaan Allah. Itulah agama yang benar. Tetapi kebanyakan manusia tak tahu.” (Ar-Rum 30:30).
Islam sebagai pedoman hidup manusia yang bersumber pada Qur’an Suci wahyu Ilahi, yang secara praktis terlihat pada sunnah Nabi Suci Muhammad saw, oleh Tuhan dikehendaki agar dianut oleh seluruh umat manusia, agar mereka dapat menyesuaikan diri dan ikut serta dalam aliran evolusi raksasa yang di dalamnya seluruh alam semesta hanyut dibawa kembali kepada Allah.
Segala gerak dan kegiatan untuk mendekatkan manusia kepada Islam, supaya manusia benar-benar mengenal dan memahami apakah Islam itu sesungguhnya, adalah merupakan pengorbanan yang sangat mulia. Kurban berasal dari kata qaraba, yang berarti “dekat”. Jadi kurban mengandung arti “segala gerak pendekatan atau tindakan pendekatan”. Maka mendekatkan Islam kepada manusia adalah suatu kurban yang sangat mulia, yang merupakan perwujudan Rohman dan Rohim Ilahi yang paling tinggi.
Ini semua memerlukan usaha, gerak, kegiatan serta pengorbanan seluruh umat Islam pada umumnya dan para Ahmadi pada khususnya. Kita telah bai’at dengan janji untuk menyiarkan dan membela Islam agar kedaulatan Ilahi berlaku di muka bumi. Orang-orang sebelum kita telah dengan penuh pengorbanan menjalankan tugas yang mulia ini. Sekarang tibalah tugas kita sebagai generasi penerus untuk memeras keringat dan membanting tulang menjalankan tugas mulia itu.
Allah berfirman, “Itulah umat yang sudah lampau; mereka memperoleh apa yang mereka usahakan, dan kamu memperoleh apa yang kamu usahakan. Dan kamu tak akan ditanya tentang apa yang mereka kerjakan.” (Al-Baqarah 2:141)
Contoh pengorbanan yang luar biasa yang tidak ada taranya di muka bumi ialah yang telah dialami junjungan kita Nabi Suci Muhammad saw. di dalam menyiarkan agama Islam. Beliau pernah dilempari dengan lumpur, dengan batu hingga badan beliau bercucuran darah, diejek, diganggu dan dirintangi menyiarkan Islam. Beliau hanya berkata: “Ya Tuhanku, asalkan Dikau tiada marahkan hamba, daku takkan peduli pada caci maki manusia.”
Di samping gangguan dan penganiayaan, beliau pernah dibujuk dengan cara ditawari pangkat, tahta, akan dinobatkan sebagai Raja Arabia, harta dan wanita, asal beliau mau berhenti dalam mendakwahkan Islam. Apa jawab beliau? Dengan tegas beliau berkata, “Demi Allah, andaikata mereka letakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, agar aku menghentikan dakwah Islam ini, tidak, aku tidak akan berhenti, sampai hanya ada dua pilihan di hadapanku: aku menang dan Islam berkembang, atau aku binasa meninggalkan bengkalai yang belum selesai.”
Demikianlah perjuangan Nabi Suci Muhammad saw. dengan gigih, dengan pengorbanan yang sebesar-besarnya untuk menyiarkan Islam. Demikian pula perjuangan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, serta para pengikutnya dengan gigih dan pengorbanan menyiarkan dan mempertahankan Islam. Sebagai Mujaddid abad 14 beliau memberikan metode dalam menyiarkan Islam: menerbitkan buku-buku, menyebarkan brosur-brosur, kunjung-mengunjung membentuk mubaligh-mubaligh yang gemblengan dan mengirim mubaligh-mubaligh tersebut, mengadakan korespondensi dan menerima bai’at (sumpah setia) orang-orang untuk berkhidmat kepada Islam.
Apabila kita perhatikan dengan seksama, sesungguhnya metode ini disoroti oleh Qur’an Suci dan praktek Nabi Suci Muhammad saw. sendiri. Wahyu pertama yang turun kepada Nabi Suci Muhammad saw. mengatakan: “Bacalah dengan nama Tuhan dikau yang menciptakan, yang menclptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhan dikau yang paling Murah hati. Yang mengajarkan (kepada manusia menulis) dengan pena. Yang mengajarkan kepada manusia apa yang la tak tahu” (Al-‘Alaq 96:7-5).
Para Ahmadi yang telah bai’at, bersumpah setia, bertekad bulat untuk menyiarkan dan mempertahankan Islam dengan lima metode yang telah digariskan oleh Mujaddid abad 14 H. tersebut. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang berbai’at kepada engkau, mereka hanyalah berbai’at kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka” (Al-Fath 48:10).
Semoga kita termasuk dalam golongan Ansharullah, yaitu Barisan Penolong Allah, sebagaimana diisyaratkan Qur’an Suci, “Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong Allah, Ia akan menolong kamu dan Ia menguatkan kakimu (teguhkan langkah-langkah kamu).” (Muhammad 47:7).
Hidup kembalinya Islam menghendaki Kurban dari kita. Apakah kurban itu? Kurban itu ialah mati kita untuk Islam dan kepada mati itulah bergantung hidupnya Islam, hidupnya umat Islam, dan pernyataan kemuliaan Tuhan Yang Hidup. Semua inilah yang disebut Islam.
Sebagai penutup, marilah kita renungkan firman Ilahi, “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal Allah tak tahu siapakah yang berjuang dan berkorban di antara kamu, dan tak tahu pula siapakah yang sabar.” (Ali Imran 3:141).[]
Oleh: R. H. Soewindo
Sumber: Buku Kapita Selekta II, diterbitkan oleh PB GAI, 1986.
Judul digubah oleh Redaksi