Al-Quran dinyatakan sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa (QS 2:1) dan bagi umat manusia (QS 2:185), agar manusia keluar dari kegelapan menuju terang benderang (QS 14:1). Melalui Al-Quran, manusia dapat menjalani kehidupan dan menyelesaikan problematika yang terjadi, serta menemukan jalan keluarnya (QS 2:213).
Supaya Al-Quran bermanfaat sesuai fungsi-fungsi tersebut, umat manusia diperintahkan untuk mempelajari dan memahaminya (QS 38:29, 25:33), sehingga menemukan petunjuk-petunjuk di dalamnya, baik yang tersurat (tafsir) maupun yang tersirat (ta’wil).
Dalam tradisi Islam, tafsir dan ta’wil digunakan untuk mendapatkan penjelasan. Tetapi belakangan muncul hermeneutika untuk memahami Al-Quran, meskipun masih diperdebatkan karena berasal dari kalangan pengkaji Bible.
Al-Quran telah melahirkan banyak kitab tafsir. Setiap mufassir memiliki metode dan corak masing-masing, sehingga setiap kitab tafsir antara yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda.
Maulana Muhammad Ali (MMA) mencoba menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dengan lebih rasional, terutama ketika menafsirkan ayat-ayat yang bersifat mutasyaabih. Sebelumnya memang sudah ada mufassir yang bercorak rasional, seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla. Tapi ada yang mengatakan, MMA lebih rasional. Itulah sebabnya perlunya kajian lebih lanjut atas tafsir karya MMA dengan membandingkan kitab tafsir sebelum dan sesudahnya.
Bentuk, Metode dan Corak Tafsir
Ada dua bentuk tafsir, yaitu at-tafsir bi al-ma’tsuur dan at-tafsiir bi ar-ra’yi. Ma’tsuur artinya jejak, peninggalan, atau sunnah. Ra’yi artinya penalaran atau ijtihad.
Dalam menafsirkan suatu ayat Qur’an, bentuk tafsir yang pertama menggunakan ayat Quran yang lain yang terkait sebagai tafsirannya, atau dengan sunnah, atau dengan pendapat atau penafsiran para sahabat Nabi dan tabi’in.
Sementara itu, pada corak tafsir yang kedua, dalam menafsirkan suatu ayat Al-Quran lebih dominan menggunakan penalaran atau ijtihad, tentu tanpa meninggalkan kaitan dengan ayat lain, sunnah dan pendapat sahabat dan tabi’in. Bentuk ini juga memerlukan bantuan berbagai macam ilmu seperti ilmu Bahasa Arab, ulumul Quran, ilmu hadis, ushul fiqh, dll.
Metode penafsiran Al-Quran ada empat. Pertama, metode Ijmaali (global). Bersifat ringkas tapi mencakup, bahasanya populer, enak dibaca, mudah dimengerti, susunan dan urutan ayatnya seperti mushhaf, dan gaya bahasanya seperti gaya bahasa Al-Quran.
Kedua, metode Tahliili (analitis). Susunan dan urutan ayat metode ini seperti mushhaf, memaparkan dari segala aspek (mufradaat, konotasi kalimat, munaasabah, asbaabunnuzuul, pendapat Nabi/sahabat/tabi’in/mufassir) dan menerangkan maknanya sesuai dengan keahliannya.
Ketiga, metode Muqaarin (komparatif), yakni membandingkan teks ayat-ayat Al-Quran yang punya kesamaan/kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih dan atau memiliki redaksi berbeda bagi satu kasus yang sama. Bisa juga membandingkan suatu ayat dengan hadis.
Keempat, metode Maudluu’i (tematik), yang membahas ayat-ayat Al-Quran sesuai tema yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dihimpun kemudian dikaji secara mendalam dari berbagai aspek asbabunnuzul, mufradaat, dll.
Corak tafsir atau nuansa khusus yang memberikan warna tafsir antara lain bercorak sufi (nadzari dan isyari), lughawi, ijtima’i, fiqih, filsafat, ilmiah, kalam dan sastra.
Contoh Penafsiran MMA tentang Ayat-ayat Mukjizat
Kajian ini dimulai dari prinsip penafsiran Sir Ahmad Khan (1817-1898) yang ke sembilan dalam bukunya al-Tahriir fi Ushuul al-Tafsiir (1900), yang terbit sebelum Tafsir al-Manaar (1898).
Khan menyatakan bahwa tidak ada sesuatu pun dalam Al-Quran, sebagai firman Tuhan (saying of God), yang bertentangan dengan hukum alam dan akal sebagai ciptaanNya (creation of God), dan keselarasan di antara keduanya bersifat esensial. Khan menolak hal-hal yang bersifat supranatural dalam Al-Quran, seperti penjelasan mengenai mukjizat para nabi.
Pendapat Khan senada dengan Ibnu Rusyd (1126-1198), yang menyatakan bahwa kebenaraan menurut akal (al-ma’quul) tidak boleh bertentangan dengan kebenaran menurut wahyu (al-manquul). Dan bila terjadi kontradiksi, maka wahyu harus dipahami secara metaforis.
Pemahaman dan pemikiran dengan memberikan keleluasaan menggunakan akal (al–ra’yu) dalam menafsirkan teks sejalan dengan Rasyid Ridla (1865-1935), Muhammad Abduh (1849-1905) dan MMA (1876-1951), terutama dalam menyikapi ayat-ayat mutasyaabih.
Pola penafsiran MMA memberikan ruang gerak yang dominan terhadap akal, misalnya tentang mukjizat. MMA berprinsip bahwa mukjizat yang terjadi pada para nabi bukanlah sesuatu yang luar biasa dan supranatural, tetapi rasional. Mukjizat dalam pengertian sesuatu yang luar biasa, bertentangan dengan akal manusia, sehingga mustahil terjadi (The Religion of Islam, AAII Inc, 1990, h 181). Ini berbeda dengan penafsiran Quraish Shihab yang berpendapat bahwa mukjizat adalah sesuatu yang luar biasa dan berada di luar jangkauan sebab dan akibat yang lumrah terjadi.
MMA enggan mengakui terjadinya mukjizat yang bersifat material inderawi. Ambil contoh dalam menafsirkan QS 21:69. Ayat tersebut tidak menyebutkan secara kongkrit bahwa Ibrahim a.s. dilempar dan dibakar dalam kobaran api, sehingga Allah mengintsruksikan kepada api agar tidak membakarnya. Meski dalam QS 29:24 ada pernyataan bahwa kaumnya memvonis untuk membunuh atau membakarnya, lalu Allah menyelamatkannya, tetapi tidak ada redaksi yang kongkrit yang menyatakan bahwa Ibrahim dibakar.
Dalam QS 21:70-71, 37:98, dijelaskan bahwa Allah menyelamatkan Ibrahim a.s. dari makar kaumnya dan mereka pun mengalami kehinaan. Sedangkan Ibrahim a.s. dan anak saudaranya (Luth a.s.) diselamatkan dengan cara hijrah ke negara yang aman, yaitu Palestina atau Syam.
MMA menafsirkan Al-Quran dengan metode dan corak yang telah dibangun oleh mufassir sebelumnya, yang menganut bi ar-ra’yi, dan tentu saja mendapatkan kritikan tajam dari para penganut bi al-ma’tsuur yang mendasarkan diri pada riwayat. Kritikan itu antara lain bahwa dalam penafsiran sudah semestinya antara akal dan wahyu digunakan secara bersamaan dan seimbang, dengan tidak menonjolkan salah satu diantaranya.
Dari contoh kajian tentang mukjizat di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa metodologi penafsiran MMA menggunakan pola sebagai berikut. Pertama, bentuk tafsir MMA adalah tafsir bi ar-ra’yi. Kedua, metode yang digunakan adalah model tafsir tahliili (analitis). Ketiga, corak tafsir MMA adalah tafsir ilmiah dan ijtima’i, seperti juga terlihat ketika ia merespon ayat-ayat dengan isu sosial kemasyarakatan seperti pengharaman riba, penolakan hukum rajam, dsb.[]
Oleh : Drs. H. Asrori, MA | Badan Urusan Tabligh & Tarbiyah PB GAI 2019-2024