Sesudah menjalankan ibadah Puasa sebulan penuh di bulan Ramadan, umat Islam merayakan Hari Raya Idul Fitri pada tiap-tiap tanggal satu bulan Syawal dengan perasaan senang dan gembira. Perasaan semacam itu selalu dan senantiasa berulang pada setiap kali umat Islam merayakan Idul Fitri.
Hal ini tepat benar dengan makna Idul Fitri itu sendiri. Kata ‘id makna aslinya adalah kegembiraan yang senantiasa berulang. Sedangkan kata fitri makna aslinya berbuka puasa, atau jika digubah menjadi fitrah, artinya kodrat alam.
Jadi, makna “Idul Fitri” secara asali seakan-akan mengisyaratkan bahwa pada hari itu orang secara alamiah merasa gembira, karena kembali lagi pada kodratnya. Itu sebabnya, maka pada Hari Raya Idul Fitri itu orang diharuskan berbuka dan dilarang menjalankan puasa.
Alangkah nikmatnya berpesta di Hari Raya Idul Fitri itu. Makanan yang sederhana pun terasa nikmat sekali. Karena sebenarnya kepuasan itu bukan terletak pada hidangan yang lezat-lezat dan pakaian-pakaian yang serba indah, melainkan karena kita selesai menjalankan ibadah puasa.
Ini adalah ciri khas, mengapa Hari Raya Idul Fitri itu diselenggarakan setelah orang menjalankan kewajiban yang cukup berat. Hari Raya Idul Fitri digelar setelah orang melakukan kewajiban yang berat, untuk menunjukkan bahwa kepuasan sejati itu terletak dalam menjalankan tugas suci dan mulia.
Kepuasan sejati itu juga dapat kita temukan pada seorang patriot yang bertempur membela negara. Meskipun ia gugur atau mati dalam perjuangannya, ia mati dengan perasaan puas.
Allah berfirman, “Dan janganlah kamu berkata bahwa orang yang dibunuh di jalan Allah itu mati. Tidak, (mereka itu) hidup, tetapi kamu tak merasa.” (QS Al-Baqarah 2:154)
Orang yang dibunuh di jalan Allah itu ialah orang yang disebut Mati Syahid. Dalam suatu Hadits Nabi Suci Muhammad saw. bersabda bahwa tatkala orang mati syahid ditanya malaikat, ia menjawab, bahwa ia ingin kembali lagi ke dunia dan mati lagi di jalan Allah.
Ini menunjukkan bahwa ia merasa puas, karena ia telah menunaikan tugas yang berat. Padahal, menurut suatu Hadits, perang di jalan Allah itu hanya masuk Jihadul- Asghar (jihad yang kecil).
Adapun yang termasuk Jihadul-Akbar (jihad besar) ialah jihadun-nafsi artinya berjuang sehebat-hebatnya untuk mengalahkan HAWA NAFSU.
Kata NAFSU artinya EGO atau JIWA. Sedangkan kata HAWA artinya RENDAH. Jadi, HAWA NAFSU ialah jiwa yang rendah, yang egois, yang mementingkan diri sendiri, yang iri hati, yang dengki.
Menurut Qur’an Suci, hawa nafsu ini disebut NAFSU AMAROH, yaitu jiwa yang selalu mendorong manusia untuk berbuat jahat.
Apabila hawa nafsu berdaulat dalam diri kita, maka kita akan menjadi manusia-manusia yang biadab. Apakah yang akan terjadi, apabila dunia dihuni oleh manusia yang biadab? Di dunia pasti tidak akan ada perdamaian dan peradaban. Padahal manusia itu diciptakan oleh Allah swt sebagai makhluk yang terbaik dan termulia.
Allah Yang Maha Agung menciptakan manusia dengan tujuan supaya menjadi khalifah, yang memerintah di dunia, agar dunia menjadi damai, tentram dan sejahtera.
Salah satu tujuan Puasa bulan Ramadan adalah jihadun-nafsi. Puasa bulan Ramadhon dapat mengubah manusia yang ego-sentris menjadi god-sentris. Manusia yang egosentris ialah manusia yang berkiblat pada egonya atau hawa nafsunya, sedangkan manusia yang godsentris ialah manusia yang berkiblat pada Allah dan menaati perintah Allah swt.
Sungguh hebat sekali Puasa bulan Ramadhon itu. Secara lahiriah orang sudah dapat menguasai nafsunya. Kebiasaan makan dan minum di siang hari ditiadakan satu bulan penuh. Ini sungguh berat, namun ia tetap menjalankan demi menuruti perintah Allah (QS 2:183)
Apabila manusia selama satu bulan lulus, maka manusia itu tidak lagi dikuasai oleh hawa nafsu, melainkan sudah dapat menundukkan hawa nafsunya. Yaitu manusia dapat mengubah sifat egosentris menjadi Godsentris.
Padahal orang yang berpuasa itu bukan hanya dilarang makan dan minum saja, melainkan dilarang pula hubungan seks dengan segala pendahuluannya, dilarang berbicara kotor, berbuat dosa, dan sebagainya.
Apabila disiplin ruhani dan ahlak ini dijalankan dengan tekun selama satu bulan, niscaya pada hari penutup puasa manusia sudah kembali pada fitrahnya yang suci, yaitu yang meyakini adanya Tuhan.
Allah berfirman, “Dan tatkala Tuhan dikau melahirkan keturunan dari para putra adam, dari punggung mereka, dan membuat persaksian atas diri mereka sendiri, bukankah aku Tuhan kamu? Mereka berkata: Ya, kami menyaksikan!” (QS Al-A’raf 7:172)
Inilah adalah fitrah manusia, yaitu kodratnya mengakui adanya Allah. Tetapi fitrah ini kebanyakan ditutup oleh godaan dunia yang merangsang hawa nafsu manusia, dan untuk mengembalikan manusia kepada fitrahnya, Allah membuat peraturan yang efektif, yang antara lain berupa Puasa dalam bulan Ramadan.
Oleh sebab itu agama Islam disebut pula agama Fitrah. Allah berfirman, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Iurus kepada agama. Fitrah buatan Allah yang la menciptakan manusia atas (fitrah) itu. Tak ada perubahan dalam ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus. Tetapi kebanyakan manusia tak tahu.” (QS Ar-Rum 30:30)
Semua peraturan Islam dimaksud untuk mengembalikan manusia kepada fitrahnya. Yaitu mengakui adanya Allah dan mengabdi kepada-Nya. Dengan menanamkan keyakinan ini dalam batin manusia, maka manusia tak akan lagi dikuasai, melainkan menguasai hawa nafsu.
Bukan itu saja, tetapi manusia meningkat menjadi manusia ASLAMA yang berserah dengan sepenuhnya kepada Allah. Manusia semacam ini mencelupkan dirinya dengan warna Allah, sehingga berubah menjadi manusia yang berbudi luhur dan berahlak tinggi.
Jadi, Hari Raya Idul Fitri mengandung arti yang dalam, yakni manusia kembali kepada fitrahnya yang asli, setelah melatih disiplin satu bulan lamanya baik ruhani maupun ahlaknya.
Adapun ciri khas yang lain dari Hari Raya Idul Fitri ialah bahwa hari raya itu bukan dirayakan dengan pesta pora dan mabuk-mabukan beserta dansa dansi, melainkan dengan bersujud dengan takzim ke hadapan Tuhan Yang Maha Agung, dengan mengucapkan syukur atas pertolongan-Nya, hingga dapat melaksanakan ibadah puasa sampai selesai.
Shalat ‘id terasa nikmat sekali, karena dilakukan dengan jam’ah besar di tempat lapangan terbuka, yang kebanyakan dengan pakaian yang indah-indah setidak-tidaknya yang paling baik dan bersih dengan bauan wangi. Sebelumnya dimulai shalat ‘id, dikumandangkan suara takbir yang membangkitkan perasaan di hati, seakan-akan pada hari itu seluruh udara dipenuhi pujian-pujian dan pengagungan-pengagungan asma Allah.
Masih ada ciri khas lagi yang menyangkut nilai sosial yaitu kewajiban mengeluarkan zakat fitrah. Semua kaum Muslimin hendaknya menolong saudara-saudaranya yang tidak mampu, agar mereka ikut merayakan Idul Fitri dengan suasana gembira ria.
Inilan tujuan zakat fitrah. Oleh karena itu zakat fitrah harus dikumpulkan dan dibagikan kepada fakir miskin menjelang Hari Raya Idul Fitri, mulai matahari terbenam hingga dimulainya shalat ‘id.
Masih ada ciri khas lagi, yang meskipun tidak disebutkan dalam kitab Suci Al-Qur’an dan Hadits Nabi, tetapi telah disepakati sebagai bagian dari perayaan Idul Fitri, yaitu yang disebut HALAL BI HALAL, artinya saling minta dan saling memberi maaf. HALAL di sini artinya bebas dari segala beban yang memberatkan kepadanya.
Dalam pergaulan sehari-hari bisa saja terjadi salah paham yang menyinggung kehormatan seseorang. Inilah yang dirasakan berat sebagai beban. Apabila ini telah diampuni, maka hilanglah beban itu.
Saling minta dan memberi maaf pada Hari Raya Idul Fitri yang mulia itu merupakan tradisi yang berbobot yang sudah berurat dan berakar dalam masyarakat Islam Indonesia.
Idul Fitri tepat sekali dipilih sebagai hari Halal bi Halal, karena orang baru saja menyelesaikan Puasa Ramadhan, yang di dalam ini, orang berusaha sekeras-kerasnya untuk menyucikan jiwanya.
Menyucikan jiwa (tazkiyatun-nafs) adalah perintah Tuhan yang harus dijalankan oleh tiap-tiap orang, agar orang dapat mencapai derajat manusia sempurna. Our’an Suci bersabda: “Sungguh bahagia orang yang menyucikan jiwanya.” (QS Al-A’laa 87:14).
Ini berarti bahwa orang yang tak mau menyucikan jiwanya, pasti tak akan mencapai kebahagiaan sejati. Kata BAHAGIA di sini ialah terjemahan kata FALAH.
Orang tani dalam bahasa Arab disebut al-falah. Menurut kamus, al falah artinya orang yang tekun menggarap tanah, menanami, memelihara sampai tumbuh menjadi pohon yang menghasilkan buah.
Jadi terang sekali bahwa yang dimaksud dengan falah (bahagia) ialah orang yang dapat memetik buah, hasil tananaman sendiri.
Tanaman hanya akan hidup subur apabila dipenuhi dua syarat. Pertama, dibersihkan dari segala gangguan, misalnya hama, jamur, rumput, penyakit dan sebagainya. Kedua, diberi siraman, pupuk dan sebagainya.
Demikian pula ruhani manusia, ini hanya akan tumbuh dan mencapai derajat yang sempurna apabila dipenuhi dua syarat. Pertama, menjauhi segala perbuatan dosa, misalnya, menyekutukan Allah, judi, minum, mencuri, korupsi, berzina, maksiat, melanggar undang-undang, mengumpat, menipu, dusta, khianat dan sebagainya. Kedua, menjalankan amal salih (perbuatan baik).
Jika orang memenuhi dua syarat tadi, orang telah menjalankan tazkiyatun-nafs. Kata tazkiyah ini diambil dari kata zaka, makna aslinya tumbuh dengan subur. Ini berlaku bagi alam fisik maupun alam ruhani. Untuk tumbuh dengan subur, harus dipenuhi dua syarat tersebut di atas.
Sesudah tumbuh dengan subur, dan menghasilkan buah-buahan, maka tercapailah derajat yang sempurna. Oleh sebab itu tazkiyatunnafsi berarti pula takmilunnafsi, artinya, menyempurnakan jiwa.
Selama bulan Ramadhon, orang berusaha sekeras-kerasnya untuk menjalankan tazkiyatunnafsi, dengan jalan: (1). Menjauhi segala perbuatan dosa, baik lahiriah maupun batiniah, (2). memperbanyak siraman ruhani, berupa sholat tarawih, witir, i’tikaf, membaca Our’an, memperbanyak shadaqah dan sebagainya.
Tazkiyatun-nafsi yang dijalankan dengan tekun dan ikhlas hati, pasti akan mencapai falah. Falah ini mungkin berupa kenikmatan ruhani dalam lailatul-qadar. Kenikmatan ini hanya diberikan kepada orang yang benar-benar menjalankan tazkiyatunnafsi selama puasa Ramadan.
Tetapi setidak-tidaknya, orang akan memetik buah tazkiyatunnafsi ini berupa kenikmatan dalam Idul Fitri-, yaitu berhadapan muka dengan Allah dan pertemuan muka dengan sebanyak-banyak kaum Muslimin.
Inilah kesempatan yang sebaik-baiknya untuk berhalal bi halal, yang kemudian dijadikan tradisi oleh umat lslam, dengan do’a tradisi yang amat terkenal, “Minal Aidin Wal Faaizin.” Semoga kita termasuk golongan orang yang bergembira ria dan berbahagia. Amin.
Judul Asli “Hari Raya Idul Fitri,” oleh R.H. Soewindo. Dinukil dari buku “Kapita Selekta II: Hari Besar Islam” diterbitkan oleh PB GAI (Yogyakarta, 1986).
Comment here