Artikel

Catatan Memorial Jalsah 2013

Berkenaan turut sertanya saya dalam acara Jalsah Salanah keluarga besar Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) tanggal 22-24 Desember 2013 di Yogyakarta, ingin rasanya saya berbagi cerita, sebagai oleh-oleh saya selama mengikutinya. Kecuali sebagai reuni guna melepas rindu antar warga GAI, Jalsah dimaksud juga sebagai ajang meningkatkan kualitas batin, guna meningkatkan kerinduan dan mendapatkan cinta kasih Allah Ta’ala.

Sebagaimana dilukiskan oleh Dr. Sukasno, sesepuh kita dari Kudus, apabila batin kita dapat terisi seperti halnya batu baterai HP sesudah di-charge, maka kita akan enak menerima suara dari yang lain, dan orang lain pun akan enak mendengarkan suara yang kita keluarkan.

Nyatanya, para peserta Jalsah benar-benar memanfaatkan moment itu. Mereka menghiasi keheningan malam dengan ibadah tahajjud, menjalani shalat jamaah dengan khusyuk, dan menyimak berbagai nasihat dengan khidmat. Itu semua dilakukan semata-mata demi meningkatkan kualitas batin mereka, agar lebih dekat dengan Sang Khalik, yang sesungguhnya hadir tak jauh dari urat nadi mereka sendiri.

Bila kerinduan telah merasuk batin seseorang, maka batin itu pasti akan mendobrak batas pemisah antara dia dan yang dirindukannya. Dan itulah yang tampak dari wajah jamaah Jalsah, yang dengan ta’zhim dan rendah hati merindukan kehadiran dan kasih sayang Tuhan, sembari mentafakkuri kebesaran dan kemuliaanNya.

***

Kesyahduan malam pertama Jalsah diisi tabuhan rebana dan senandung syair-syair religius dari sebuah grup hadrah, yang mengiringi renungan dari seorang Kyai flamboyan namun penuh talenta, yang menggugah kita semua untuk “bergaul dengan hati”. Hati yang baik pasti akan melahirkan perilaku yang baik, positif, dan tanpa rasa curiga.

Salah satu cara menjadikan hati menjadi baik, menurut Sang Kyai, adalah dengan memedomani shalat sebagai landasan perbuatan, yang sejak awal hingga akhir mengandung makna pemuliaan Tuhan dan segenap makhlukNya. Ini terlukis dari kalimat takbir yang mengawali shalat, dan kalimat salam yang mengakhirinya.

Ini selaras dengan apa yang ditulis oleh Maulana Muhammad Ali dalam buku Islamologi. Shalat bukanlah semata-mata pekerjaan lahiriah, melainkan terutama aktivitas pengolah batin manusia. Shalat adalah suatu cara bagi manusia memanjatkan do’a agar Tuhan berkenan melindungi dan menuntunnya untuk senantiasa berada di jalan yang benar dalam kehidupannya, hingga ia dapat selamat sampai di tempat tujuan akhirnya.

Shalat adalah sarana pembersihan hati (tazkiyatul-qalb) dan penyucian jiwa (tazkiyatun-nafs) guna mewujudkan sifat ilahiyah dalam diri manusia. Dengan hadirnya sifat ilahiyah di dalam dirinya, manusia tak hanya terdorong untuk berbuat baik kepada sesama tanpa pamrih, tetapi memungkinkannya mencapai derajat akhlak yang luhur dan derajat batin yang sempurna.

Saat seorang mengucap takbir dan bersidekap, maka sesungguhnya ia tengah menanggalkan sikap yang biasa dilakukan manusia seumumnya, berupa kesombongan, angkuh, dan merasa diri hebat (rumangsa gedhe), dan beralih pada sikap rendah hati (tawadhu’), ta’zhim, sembari menaruh rasa hormat dengan sepenuh penghayatan kepada Tuhan Yang Maha Agung.

Lalu ia bermohon perlindungan kepadaNya dari syaithan (ta’awudz), dan kemudian membaca surat yang menjadi intisari Al-Qur’an (al-Fatihah), yang di dalamnya terdapat pengakuan manusia akan sifat kekuasaan Allah beserta hasrat harapan manusia kepadaNya.

Sesudah itu, kita melakukan gerakan dan membaca bacaan yang disyaratkan dalam shalat, dan lantas diakhiri salam, yang melambangkan sapaan cinta kasih kita di depan pintu gerbang kehidupan kepada sesama makhluk Tuhan. Karena itu, shalat yang sempurna akan terwujud dalam budi pekerti luhur manusia, yang terbabar dalam ucapan dan perilakunya.

Sekilas, kegiatan shalat dan perilaku terhadap sesama tampak terpisah dan berdiri masing-masing. Padahal tidak. Sebab, shalat dan perilaku kita adalah suatu kesatuan (unity) yang memiliki hubungan kausalitas, saling pengaruh-mempengaruhi. Sungguh, kehidupan ruhani tidak dapat diceraikan dari kehidupan duniawi, dan tiadalah artinya jika kita hanya menjaga salah satu dari keduanya (perhatikan QS Al-Ma’un [107]:1-7).

Ruh shalat seharusnya kita bawa-bawa dalam batin kita di tengah pergaulan kita dengan sesama: keluarga, tetangga, dan masyarakat seumumnya. Niscaya dengan itu, Tuhan akan menjaga dan menyelamatkan kita, sekaligus memberi ganjaran kenikmatan surgawi, baik di alam yang kita jalani sekarang ini maupun di alam keabadian kelak (perhatikan QS An-Najm [53]:39-41).

***

Pagi menjelang siang di hari kedua, kebahagiaan menyeruak di tengah para peserta Jalsah, dengan kehadiran tiga orang pakar, yang secara bersama menyampaikan hasil penelitiannya tentang Ahmadiyah. Mereka adalah Dr. Najib Burhani (LIPI), Dr. Nawari Ismail (UMY), dan Prof. Iskandar Zulkarnain (UIN Sunan Kalijaga).

Pakar pertama dari LIPI, seorang muda yang cendekia, bertutur banyak soal sejarah awal kehadiran Ahmadiyah Lahore di Indonesia dan bagaimana hubungannya dengan para cendekiawan dan negarawan muslim di era pertama kemunculannya itu. Adanya persamaan persepsi keagamaan dalam memahami Islam antara keduanya menjadikan relasi itu amat erat dan lekat. Selain itu, pada umumnya cerdik cendekia dalam mempelajari Islam saat itu, lebih banyak bergumul dengan literatur Ahmadiyah Lahore yang berbahasa Inggris, ketimbang literatur lain yang banyak menggunakan bahasa Arab.

Meski demikian, saya kira para cendekia itu tak hanya belajar Islam dari Ahmadiyah saja. Bung Karno, misalnya, saat diasingkan di kota Ende (NTT), beliau menulis surat tertanggal 25 November 1936 bertajuk “Tidak percaya bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi”. Dalam surat itu, beliau mengungkap setidaknya dua hal.

Pertama, bahwa keislaman beliau tidak terikat pada satu golongan. Beliau mempelajari Islam dari berbagai sumber, bahkan termasuk buku-buku yang diterbitkan oleh para penentang Islam sekalipun. Kedua, beliau menyatakan tidak mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi, dan belum mempercayai beliau sebagai mujaddid. Tetapi beliau mengakui buku-buku Ahmadiyah Lahore sebagai literatur yang rationeel, modern, broadminded, logis, dan banyak memberi faedah dan penerangan kepadanya.

Pakar kedua, seorang dosen dari kalangan Muhammadiyah, menyatakan adanya fragmentasi dalam masyarakat Islam di Indonesia menjadi setidaknya dua kelompok, yakni yang mapan dan yang tak mapan. Selain itu, budaya toleransi semakin tergerus dan melemah di tengah-tengah masyarakat. Dalam nuansa menguatnya intoleransi semacam itu, negara atau pemerintah biasanya memilih menjadikan kelompok Islam mapan sebagai partnernya.

Hemat saya, sang pakar telah mencampuradukkan antara perkara agama dan perkara politik dengan kesimpulan bahwa pemerintah berpihak pada kelompok Islam mapan. Sebab, untuk menggalang kekuatan, pemerintah tidak saja hanya akan merangkul kelompok mapan, melainkan juga berbagai pihak yang bersedia mendukung gerak roda politiknya. Sebab dalam politik ada jargon, “tak ada kawan atau musuh yang abadi, yang kekal hanyalah kepentingan”.

Di samping itu, Indonesia bukanlah Negara Islam, meski penduduknya mayoritas beragama Islam. Sebab itu yang diperjuangkan pemerintah bukan hanya kepentingan Islam saja, melainkan kepentingan bangsa secara keseluruhan.

Dalam “Seminar Pendidikan Agama dan Keagamaan Pada Ormas Keagamaan” di Puncak, Bogor beberapa waktu lalu, yang saya juga ikut hadir di sana, Pak Mulyono menyatakan bahwa “Ahmadiyah itu tidak hanya di rumah ataupun di kantor GAI saja, tetapi ada di mana-mana”. Ini artinya, paham Ahmadiyah tidak hanya berada di kelompok Islam tak mapan, tapi juga ada di kelompok Islam mapan, atau mereka yang berselimut di kelompok Islam mapan (jika masyarakat Islam itu dikelompokkan seperti keinginan sang pakar). Banyak juga orang-orang yang berpaham Ahmadiyah duduk di pemerintahan, meski mereka tidak mengatributir diri sebagai seorang Ahmadi.

Pakar ketiga, guru besar dari UIN Sunan Kalijaga, mengemukakan analisisnya yang terkini. Beliau menyebutkan berbagai kelemahan GAI saat ini, antara lain tidak adanya lagi literatur bermutu yang diterbitkan oleh GAI, lemahnya manajemen organisasi, kendurnya rekruitmen anggota, kurangnya menjaga jaringan, dan tidak adanya proses kaderisasi. Analisis Pak Profesor ini, dalam pengamatan saya, dapat diterima dan justru harus kita garis bawahi dan perhatikan dengan seksama.

Soal literatur, tampaknya para “Kyai Ahmadiyah” harus berjihad lebih keras menuangkan inspirasinya ke dalam bentuk tulisan, guna meramaikan penerbitan buku-buku made in GAI. Soal rekruitmen anggota, memang tak sepesat JAI atau yang lain, sebab GAI lebih mementingkan “penyebarluasan pemahaman Islam” daripada persebaran tanda keanggotaan.

Lantas soal kaderisasi, ini selaras dengan yang didiskusikan pada seminar di Puncak, dimana dalam hal ini PIRI, sebagai wajan penggorengan perwira-perwira Ahmadi, tampaknya mengalami dua dilema yang timbul oleh karena faktor dari luar maupun dalam. Dari luar, PIRI terkena imbas dari berbagai peristiwa kasus keagamaan di Indonesia yang menyangkut Ahmadiyah, sehingga kwantitas penerimaan calon peserta didik menurun drastis. Sementara dari dalam, faktor masalah yang terutama adalah soal sistem, networking dan relationship.

Namun saya angkat topi atas prakarsa Pedoman Besar, yang berencana mengadakan beasiswa bagi siswa-siswi yang mau dididik menjadi kader GAI sembari melanjutkan pendidikan formalnya setingkat SMA/K dan Akademi di PIRI.

***

Bakda shalat Subuh di hari ketiga, saya terketuk oleh ungkapan hati Dr. Bambang Dharmaputra, Jakarta, yang disampaikannya di atas mimbar masjid. Apa yang disampaikannya, perlulah kiranya mendapat perhatian dan pemikiran kita. Beliau berkata, bahwa syiar Islam dalam perspektif Ahmadiyah melalui buku-buku adalah jalan yang paling efektif.

Namun, kegiatan itu terkendala dengan mahalnya biaya produksi dan sulitnya melakukan distribusi. Rata-rata toko buku, misalnya, meminta rabat hingga 70% untuk setiap item. Oleh karena itu, perlu dicari alternatif lain untuk persebaran buku-buku GAI. Salah satunya melalui internet, karena media ini sudah sangat populer dan biayanya relatif murah. Kendati demikian, saat ini DKI tengah mempersiapkan cetak ulang Al-Qur’an edisi terbaru, dengan bahan produksi yang eksklusif.

Lalu, tampillah pula seorang kyai sepuh dari Kediri, Bapak Imam Munasrip. Beliau bercerita soal pengalaman beliau sekitar tahun 1966, saat mengikuti ceramah Bapak Soedewo di gedung Bank Tabungan Pos dan Giro di Yogyakarta. Menurut beliau, kala itu Pak Dewo menerangkan lafadz basmalah, sebagai intisari al-Qur’an, dengan argumentasi-argumentasi ilmiah. Itulah yang membuatnya saat itu takjub dan terkagum-kagum dengan Pak Dewo.

Jelang siang, saya tertegun dengan kata-kata Bapak Mulyono dalam sambutannya di acara Penutupan Jalsah. Beliau mengingatkan kita untuk selalu andhap asor, tawadlu’, menjalani hidup laiknya bumi yang kita pijak. Meski selalu diinjak-injak, dikuyo-kuyo, bumi tak pernah sekalipun mengeluh. Justru ia malah memberi sesuatu yang bermanfaat dan berdaya-guna bagi mereka yang menginjak-injaknya. Falsafah hidup yang menurut saya teramat dalam untuk direnungkan.

Di penghujung acara, kami bersalaman, berangkulan, dan tertawa renyah bersama, menumpahkan kegembiraan dan rasa syukur.[]

  • Penulis: Fathurrahman Irshad | GAI Cabang Jakarta
Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »