Kolom

Sang Ustad

Alkisah, suatu hari di sebuah sudut kota Jakarta, air makin naik dan makin naik saja, akibat hujan deras yang tak henti mengguyur bumi. Maka tergenanglah gedung-gedung, rumah-rumah, juga sebuah mushola kecil, yang dihuni oleh seorang Ustad.

Tapi sang Ustad tak juga beranjak dari kediamannya, sebab ia amat percaya bahwa Tuhan Yang Maha Penolong bakal menolongnya dalam air bah, yang makin naik dan makin naik terus itu.

Lewatlah satu perahu pengungsi, lalu orang pun teriak: “Mari Ustad, ikutlah, naik perahu ke tempat aman”.

Dijawab oleh sang Ustad, “Alhamdulillah. Jangan pikirkan aku, sebab aku berada di rumah Allah, dan pastilah Allah menolongku”.

Maka berlalulah itu perahu. Air naik terus, dan sang Ustad pun terpaksa naik di atap mushola.

Sesaat, terdengarlah lagi satu teriakan, “Ustad, ustad”, dari perahu lain yang lewat membawa pengungsi. Sang Ustad diminta ikut, tapi ia menolak lagi, karena ia percaya Allah pasti menolongnya.

Tapi air juga naik terus, merayap menggenangi atap mushola. Sang Ustad terpaksa menaiki menara, dan duduk dipuncaknya. Kali ketiganya ada perahu lewat membawa pengungsi. “Mari Ustad, ikutlah kami”, teriak orang dalam perahu.

Lagi-lagi, sang Ustad menolaknya, “Alhamdulillah, Jamaah. Jangan pikirkan aku, Allah pasti menolongku…”

Demikianlah, sang air terus menanjak naik, sampai akhirnya sang Ustad tenggelam dan menemui ajalnya.

Di akhirat, Sang Ustad bergegas mencari Allah. Setelah berjumpa, ia langsung mengeluh, “Ya Allah, ada banjir bandang sampai saya tenggelam. Mengapa Eng-kau, Yang Maha Penolong, tak juga datang menolongku?”

Jawab Allah, “Bukankah Aku sudah mendatangimu sampai tiga kali, tapi mengapa pula engkau selalu menolak untuk ikut mengungsi?”
***

Jika mushola dalam kisah di atas kita ibaratkan sebagai Gerakan kita, yang dalam keyakinan sebagian besar kita hadir atas perkenanNya, maka sang Ustad itu mungkin adalah kita sendiri.

Seringkali kita menjadi sang Ustad, yang bersikap konyol saat menghadapi air bah persoalan. Sikap konyol, yang hanya bisa lahir dari kesalahkaprahan kita di dalam memaknai uluran tangan Tuhan bagi proses penyelesaian dari setiap persoalan yang kita hadapi.

Sungguh, perahu telah banyak yang berlalu. Dan, banyak orang sudah berte-riak hingga serak. Maka, jika kita masih saja bersikeras dalam kejumudan, stagnasi, dan bersetia dalam penantian yang konyol, saksikanlah tenggelamnya mushola kita. Lalu, bersiaplah mati di puncak menaranya![bas]

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here