Berdasarkan keputusan Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Agama, hari Jumat tanggal 8 Juli 2002 M ini ditetapkan sebagai tanggal 1 Dzulhijjah 1443 H.
Keputusan ini berbeda dengan keputusan Arab Saudi, yang menetapkan 1 Dzulhijjah pada Kamis kemarin. Sehingga, terdapat selisih 1 hari antara Indonesia dan Arab Saudi. Sehingga, nantinya, Hari Raya Idul Adha di Indonesia juga akan selisih 1 hari dengan di Arab Saudi.
Perbedaan ini bisa terjadi karena posisi hilal (atau penampakan bulan) yang berbeda antara di Arab Saudi dan di Indonesia. Sementara, kita semua tahu, bahwa awal bulan hijriyah dimulai saat matahari terbenam dan berakhir dengan penampakan bulan di hari dimana bulan itu akan berganti dengan bulan berikutnya.
Dalam hal ini, Pemerintah Indonesia, berdasarkan kriteria baru yang disepakati oleh Kementerian Agama di 4 negara (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura), menetapkan bahwa bulan baru ditandai dengan tinggi hilal minimal 3 derajat, dengan elongasi minimal 6,4 derajat.
Tetapi, sebagian kalangan di dalam masyarakat kita, ada juga yang karena menggunakan kriteria yang berbeda dengan yang digunakan pemerintah, memutuskan bahwa 1 Dzulhijjah di Indonesia sama dengan di Arab Saudi.
Terlepas dari perbedaan itu, marilah kita menghaturkan syukur ke hadirat Allah SWT. Sebab, di hari Jum’at pertama di bulan Hijriyah 1443 H ini, kita bisa hadir di rumah Allah ini, yang berarti bahwa Allah masih berkenan memberi kita nikmatnya hidup, nikmatnya sehat, nikmatnya waktu luang, dlsb.
Dzulhijjah adalah bulan terakhir dalam kalender Hijriyah, yang diasumsikan menjadi waktu kumulatif dari 11 bulan sebelumnya, atas sukses pencapaian jasmani maupun ruhani kita.
Karena itu, di penghujung tahun hijriyah ini, sudah selayaknya kita memuji kebesaran dan keagungan Allah, sebagai rasa syukur atas berbagai karunia nikmat rohani jasmani, yang kalau kita hitung-hitung tak mungkinlah kita bisa menghitungnya. Wa in ta’udduu ni’matallaahi laa tuhsuuha.
*****
Sudah dua bulan lamanya kita meninggalkan madrasah Ramadhan, dan kini kita bersiap dengan bulan tarbiyah Allah SWT yang lain, yakni madrasah Dzulhijjah. Mengapa disebut madrasah Dzulhijjah? Karena pada bulan ini ada tiga ibadah besar yang sarat dengan nilai-nilai tarbiyah, sebagaimana ibadah puasa dan ibadah lainnya di bulan Ramadhan, yaitu ibadah haji, sholat idul Adha dan Kurban.
Tetapi, bagi kita yang tidak berhaji pun, kesempatan emas terbuka untuk meraih banyak keutamaan di bulan Dzulhijjah ini. Terutama, jika amalan itu kita selenggarakan di 10 hari pertama bulan Dzulhijjah ini.
Rasulullah saw. bersabda: Maa min ayyaamil ‘amalu fiihi afdhalu min ‘asyari dzil-hijjah. “Tidak ada hari-hari di mana amal shalih lebih disukai oleh Allah Azza wa Jalla dari 10 hari pertama bulan Dzulhijjah.”
Oleh karena itu, Jamaah Jumat rahimakumullah, marilah kita isi hari-hari yang mulia ini dengan memperbanyak amal saleh, memperbanyak amal kebaikan, baik yang manfaatnya bisa kita rasakan sendiri, syukur-syukur bisa dirasakan oleh sebanyak mungkin orang di sekitar kita.
Di antara yang bisa kita lakukan antara lain, puasa mulai hari pertama sampai hari kesembilan nanti, memperbanyak silaturrahim kepada sanak saudara, berbakti kepada orangtua, berbakti kepada istri & anak-anak, lebih giat lagi menghadiri majelis-majelis ilmu, memperbanyak membaca al-Qur’an, memperbanyak zikir & Doa, memperbanyak shalat-shalat sunnah, memperbanyak sedekah dan lain sebagainya.
Di samping kesemua amal kebaikan itu, ada beberapa amalan utama bagi kita yang tidak sempat melaksanakan ibadah haji tahun ini, yang pahalanya bisa sebanding dengan ibadah haji itu sendiri, karena diselenggarakan pada hari-hari pelaksanaan haji.
Yang pertama, Puasa Arafah, yakni puasa di hari kesembilan bulan Dzulhijjah, sehari sebelum hari raya Idul Adha. Berarti, dalam kalender yang diputuskan oleh pemerintah kita, bertepatan dengan hari Sabtu depan, tanggal 9 Juli 2022.
Rasulullah menyatakan, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwa Puasa Arafah itu “yukaffirussanatal maadliyah wal baaqiyah”, dapat menghapus dosa-dosa kita setahun yang telah berlalu dan setahun yang akan datang. Bahkan dalam hadits lain, yang juga diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah bersabda bahwa tiada hari yang Allah membebaskan hamba dari neraka sebanyak yang Ia bebaskan pada hari arafah” (HR Muslim)
Di hari kesembilan Dzulhijjah itu, jamaah haji mengerjakan wukuf di Arafah, yang menjadi syarat wajib utama di dalam rangkaian manasik haji.
Wukuf adalah jalan meditasi atau kontemplasi para jamaah haji dalam upayanya untuk bermakrifat kepada Allah, sebagaimana diteladankan oleh Nabi Ibrahim a.s. Mereka berdiam diri di Arafah, mengheningkan cipta, untuk menghayati kehadiran Allah di dalam dirinya.
Karena itu, dengan kita berpuasa arafah, kita ikut menghayati semangat para jamaah haji dalam bermakrifatullah. Dalam keadaan lapar dan dahaga, kita ikut bermeditasi, mengheningkan cipta, dan menghayati keberadaan Allah sehari penuh, seraya bermohon akan keridhaanNya.
Dengan begitu, mudah-mudahan kita bisa menghadirkan Allah dalam aktivitas keseharian kita, sebagaimana juga para jamaah haji yang berwukuf di Arafah sana tengah berusaha menghadirkan Allah dalam manasik mereka.
Amalan utama di bulan Dzulhijjah bagi kita yang tidak berhaji berikutnya adalah amalan di Hari Raya Idul Adha, yakni Shalat Idul Adha dan Menyembelih Hewan Qurban. Di hari raya Idul Adha, jamaah haji tengah sibuk menyelenggarakan berbagai manasik. Mereka hilir mudik antara Arafah, Muzdalifah, Mina dan Mekah.
Sesudah wukuf di Arafah, di tengah malam Idul Adha, mereka bergegas ke Muzdalifah yang berjarak 9 km jauhnya, untuk mengambil batu-batu kerikil, kemudian melemparkannya ke pilar-pilar Jumrah di Mina yang berjarak 5 km dari Muzdalifah. Sesudah itu, mereka bertolak menuju Masjidil Haram di Mekah, yang berjarak 7 km jauhnya dari Mina, untuk melaksanakan thawaf dan sa’i, sebagai pelengkap penyempurna rangkaian ibadah haji.
Singkatnya, pada hari Raya Idul Adha, berjuta kaum Muslimin dari berbagai penjuru dunia berkumpul di Mekah Al Mukarramah dalam satu cara dan tujuan: pengorbanan dan pengabdian. Mereka mengorbankan segala kesenangan hidup hanya untuk mencapai satu cita-cita, yaitu melaksanakan pengorbanan dan pengabdian tanpa pamrih.
Mereka berkumpul dalam semangat untuk mewujudkan janji setia yang senantiasa mereka ucapkan, “Innash shalaati, wanusukii wamahyaaya wamamaati lillaahi rabbil ‘aalamiin.” Bahwa shalat mereka, pengorbanan mereka, hidup dan mati mereka, mereka serahkan sepenuhnya kepada Allah Ta’ala, dalam rangka pengabdian kepadanya semata.
Maka dari itu, tidak ada yang mereka teriakkan dari hati mereka, selain kalimat, “labbaik allaahumma labbaik, labbaika laa syariikalaka labbaik …” Aku datang Ya Allah, Aku datang ke hadapanMu, dan aku serahkan hidupku, aku serahkan matiku, hanya kepadaMu…”
Karena itulah di hari raya idul adha nanti, selain shalat idul adha, kita selenggarakan juga ibadah kurban, selain sebagai wujud penghayatan kita atas semangat dan pengorbanan para jamaah haji di Mekah sana, juga sebagai wujud rasa syukur kita ke hadirat Allah di penghujung tahun hijriyah ini.
Shalat hari raya dan ibadah korban berupa menyembelih binatang ternak pada Hari Raya Idul Adha, bertujuan agar denyut jantung kaum Muslimin di seluruh dunia seirama dengan denyut jantung kaum Muslimin yang tengah melaksanakan ibadah haji di Mekah. Sehingga, di saat yang sama, di hari yang sama, ada satu semangat menggelora yang menggerakkan seluruh hati kaum Muslimin di seluruh dunia untuk melaksanakan pengabdian dan pengorbanan di jalan Allah SWT.
Kurban sembelihan adalah perlambang kepatuhan manusia kepada Allah, layaknya kepatuhan binatang ternak kepada tuan gembalanya. Sebab, hakikatnya kita ini adalah ternaknya Allah, yang digembalakan di dunia ini, dicukupi segala kebutuhan kita, baik kebutuhan jasmani maupun ruhani.
Atas karunia pemberian yang tak terhitung dan tak habis-habisnya itu, Allah hanya meminta kita untuk mengabdi kepadanya, antara lain dalam rupa shalat dan kurban. Innaa a’thaynaakal-kautsar. Fa shallii li rabbika wanhar. “Sungguh telah kuberikan padamu kebaikan yg berlimpah ruah, maka shalatlah kepada Tuhanmu, dan berkurbanlah.”
Maka sudah sewajarnyalah kita tunduk patuh kepada Tuan Gembala kita, sebagaimana dicontohkan moyang kita dulu, Ismail dan Ibrahim.
Yang berkemampuan, dianjurkan untuk berpartisipasi mengadakan dan menyediakan hewan qurbannya. Bagi yang belum mampu, dipersilahkan untuk ikut berpartisipasi dalam prosesi penyembelihan hewan qurban dan pentasharufannya. Sehingga dengan demikian, semangat pengorbanan di dalam pengabdian kepada Allah Ta’ala itu, bisa dirasakan oleh kita semuanya.
Mudah-mudahan, melalui semangat pengorbanan dan ketulusan pengabdian kita kepada Allah, Allah berkenan memberikan karunianya, berupa keberkahan dan keselamatan hidup kita, fid-dunya wal aakhirah. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.[]
Naskah Khutbah Jumat di Masjid Margi Utami, Pare Kediri | Disampaikan oleh Asgor Ali pada 1 Juli 2022 M | 1 Dzulhijjah 1443 H
Comment here