Artikel

Kebangkitan Islam

Suatu kenyatan memang, Umat Islam sekarang ini di kecewakan oleh kenyataan-kenyataan yang memprihatinkan; baik yang terjadi di teluk persi, maupun di tempat-tempat lain.  juga tak ketinggalan di Indonesia dengan misalnya gejala kelangkaan  ulama Islam yang berbobot

Oleh: Mulyono | Sekretaris PB GAI

Abad sekarang ini adalah abad yang istimewa, terutama bagi umat Islam, lantaran abad ini setidaknya menjanjikan harapan bagi umat Islam, dengan apa yang didengungkan sebagai abad kebangkitan Islam yang kedua kalinya setelah mengalami kemunduran berabad-abad lamanya. Namun setelah abad ini mengawali langkahnya yang ke delapan, justru sementara Umat Islam mempertanyakan arti kebangkitan itu; sekalipun sejarah mencatat betapa kebangkitan umat ini telah dimulai sejak abad ke 14 H yang lalu. Atau jika demikian, paling tidak abad 14 H adalah abad penaburan benih kebangkitan itu sendiri.

Banyak peristiwa sejarah yang tercatat sebagai fenomena kebangkitan Islam. Satu di antaranya adalah usaha-usaha dari negara-negara Islam untuk melepaskan dirinya dari cengkraman penjajah. Meskipun kadang-kadang masih bersifat sporadis. Namun akhirnya mencapai hasil yang gemilang terbukti dengan satu-persatu negara-negara Islam meproklamirkan kemerdekaannya. Saya mempunyai asumsi bahwa hal ini merupakan proses awal dari rencana Ilahi, akan apa yang kita sebut dengan kebangkitan Islam. Sebagaimana Umat Islam yakin (seharusnya) bahwa rencana Ilahi tak mungkin gagal, atau pasti berhasil; baik kita bantu ataupun tidak.

Tak akan ada satu kekuatan pun yang mampu menghalang-halangi rencana Ilahi ini. Bahkan lebih dari itu, barang siapa berani atau mencoba mengagalkanya, sudah pasti akan dimusnakan.

Jika di depan saya uraikan bahwa kebangkitan Islam di abad ini merupakan rencana Ilahi, bukanlah sesuatu yang ngoyoworo. Ada baiknya kita baca firman Allah berikut ini:

Ia mengatur perkara dari langit kebumi;lalu itu naik kepada-Nya dalam suatu hari yang ukuranya Seribu Tahun menurut hitungan kamu. Demikialah Tuhan yang Maha Tahu barang yang tak kelihatan dan yang kelihatan, Yang Maha Perkasa, yang Maha pengasih,”  (Q.s As-Sajdah 32:5-6)

Ayat tersebut diturunkan kepada Nabi Muhammad saw ketika Islam belum menampakan tanda-tanda kejayaanya, yaitu pada zaman makkah pertengahan; namun nabi telah diberi tahu bahwa Islam (perkara Islam) akan berdiri tegak di bumi.

Berdiri tegaknya perkara Islam di bumi selama lebih kurang 3 abad permulaan, adalah suatu kenyataan yang tak dapat dipungkiri, baik oleh musuh sekalipun. Selanjutnya Allah memberi tahu pula bahwa setelah perkara Islam itu berdiri tegak di bumi (selama 3 abad sebagaimana bukti sejarah yang saya uraikan di muka). Maka perkara Islam itu akan naik kembali kepada Allah dalam suatu hari, yang menurut hitungan manusia adalah seribu tahun, atau sama dengan 10 Abad.

Sebuah kenyataan lagi yang tidak bisa ditutup-tutupi, bahwa setelah masa tabiut-tabi’in, Islam secara beransur-ansur mengalami kemunduran hampir di segala bidang, dan mencapai titik terendahnya pada akhir abad ke-13 atau awal abad ke-14 H. hal ini diperkuat dengan bukti bahwa hampir tak ada sebuah negara Islam pun yang bebas penjajah. Keadaan seperti ini, rupa-rupanya sudah diketahui oleh Nabi; seperti sabda beliau:

Generasi yang paling baik ialah generasiku, lalu generasi berikutnya, lalu generasi berikutnya lagi; lalu selanjutnya akan datang orang-orang yang menyombongkan diri karena banyaknya harta dan suku kepada kegemukan”.

lalu sesudahnya akan datang orang-orang yang tidak mempunyai kebaikan; Suatu jalan serong, mereka bukan dari golonganku, dan akupun bukan dari golongan mereka” (tafsir Qur’an maulana Muhammad ali).

Jika kejayaan Islam di hitung semenjak sempurnanya agama Islam (tahun 632 Masehi ), meskipun benihnya telah mulai disemai sejak tahun 610 M, yang berarti ini abad ke-7 M, dan akan berlangsung terus hingga Abad-9M, bahkan hingga Awal ke-10M. hal ini dikuatkan dengan bukti bahwa dalam abad itu, Islam hampir menguasai seluruh benua. Tetapi setelah itusecara beransur-ansur mengalami kemunduran hingga mencapai titik yang paling rendah pada abad ke-19 M., atau awal abad 20.

Betapa gelapnya keadaan perkara Islam pada saat itu, hingga dilukiskan nabi sebagai masa yang Qur’an tinggal tulisannya, masjid-masjid ramai oleh pengunjung namun sepi dari petunjuk. Sehingga tepatlah hitungan seribu tahun telah terpenuhi.

Dibatasinya jangka waktu seribu tahun menunjukan bahwa setelah jangka waktu itu habis, secara beransur-ansur Islam akan kembali memenacarkan sinarnya hingga akhirnya mengalami zaman kejayaannya kembali. Bagaimanakah Allah akan mewujudkan rencana-Nya ini, hanya Dialah yang tahu secara persis, sebagaimana yang dinyatakan pada 32: 6 di atas.

Suatu kenyatan memang, Umat Islam sekarang ini di kecewakan oleh kenyataan-kenyataan yang memprihatinkan; baik yang terjadi di teluk persi, maupun di tempat-tempat lain.  juga tak ketinggalan di Indonesia dengan misalnya gejala kelangkaan  ulama. Islam yang berbobot; namun sekali lagi saya yakin bahwa hal ini juga termasuk suatu proses untuk terwujudnya rencana Ilahi tersebut.

Keprihatinan umat Islam akan peperangan antara Iraq dan Iran dan di lain-lain tempat, sangat boleh jadi merupakan sarana atau cara Allah untuk mnseleksi, sehingga di antara mereka yang  yang paling muttaqilah yang akan keluar sebagai pemenang. (Hal ini tidak mustahil, bila terjadi pada kedua belah fihak; artinya sama-sama menang), sementara fihak yang berbuat dlolim, merekalah yang akhirnya akan musnah.

Keprihatinan yang lain (yang ini terjadi di Indonesia). Dengan semakin langkanya ‘ ulama yang memiliki kharisma tinggi; hal semacam ini justru menunjukan sikap kemandirian umat Islam, khususnya di Indonesia. Mereka tidak lagi mengantungkan banyak hal semacam ini justru menunjukan sikap kemandirian umat Islam, khususnya di Indonesia. Mereka tidak lagi mengantungkan banyak hal dari fatwa Ulama saja, melainkan dan seharusnya hanya kepada Allah sebagaimana setiap kali salat kita mengucapkan : Iyya ka na’budu wa iyya kanas ta’in. Sikap pribadi ini diperlukan, sebagai bekal utama saat kejayaan yang sebenarnya tinggal menunggu waktu saja.

Pada dasarnya setiap orang Islam memiliki hak yang sama untuk melakukan ijtihadatau bahkan mengambil kesimpulan dari firman Ilahi dalam Al-Qur’an sepanjang tak menyimpang dari aturan-aturan yang ditetapkan Ilahi. Masalahnya sekarang tinggal kemauan kita untuk melakukan hal ini.

Untuk mendapatkan petunjuk Ilahi secara langsung, bukan monopoli para ‘Ulama saja; melainkan siapapun orangnya, jika ia bersedia memahami Qur’an; sebagaimana ditegaskan oleh Allah sendiri bahwa Qur’an adalah petunjuk bagi orang yang muttaqin (Q.s 2:2) bahkan pimpinan bagi seluruh umat manusia (Q.s 2:185).

Ketergantungan Umat Islam kepada para ‘Ulama bukan tidak ada akibat negatifnya. Diantaranya dapat saya sebutkan disini :

  1. Melemahkan Umat Islam, dalam memahami secara langsung terhadap kitab sucinya, di sebabkan oleh rasa ketergantungan pada  ‘Ulama ini.
  2. Adanya perbedaan pendapat/ paham hingga mengarah pada perpecahan umat,bukan mustahil bersumber dari fatwa’Ulama.
  3. Sikap menkultus individukan kepada seseorang ‘Ulama, atau sikap taqlid yang membabi buta. Sehingga amat tepat jika Nabi Muhammad saw. sendiri menecam keberadaan ‘Ulama adalah seburuk-buruk manusia, dari mulutnya akan keluar fitnah; dan fitnah itu akan kembali kepada mereka.

Yang menjadi masalah sekarang, apakah kita akan menjadi umat yang bangkit atau tidak. Jawabnya ada pada diri kita sendiri, sebab kebangkitan itu sendiri, baik kita tolak maupun kita terima pasti akan terjadi.

Nah, jika kita mau menjadi umat yang bangkit, tentu sebaliknya yang akan terjadi; atau dengan perkataan lain jika kita tak mau menjadi pemenang, otomatis akan menjadi yang kalah. Lalu jika bukan kita yang menang. Siapa lagi ? Jawabannya sudah pasti: Islamlah yang menang, Islam yang mana ? Islam yang Murni. Oleh karena itu akhir-akhir ini senantiasa diserukan untuk kembali kepada Qur’an dan Hadits, atau kembali kepada kemurnian Islam.

Hendaklah diingat bahwa musuh Islam bukanlah  Manusia, tetapi hati! Dengan demikian jika Islam menang, tak akan ada fihak yang merasa dikalahkan; tetapi justru sebaliknya. Yang tampaknya kalah atau dikalahkan, mereka justru akan mengatakan “Sayalah pemenangnya”. Ironis bukan?[]

 

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here