Pada tanggal 9 dan 15 Juli 2005 lalu ribuan orang yang tergabung dalam Masyarakat dan Umat Islam Parung Bogor dan Jakarta mengepung Kampus Mubarak di Jalan Parung, Bogor, Jawa Barat. Mereka mendesak Pemerintah Kabupaten Bogor dan aparat keamanan setempat untuk segera membubarkan Jamaah Islam Ahmadiyah yang dinilai sesat. Penyerangan ini dilakukan oleh kelompok umat Islam yang menamakan dirinya Gerakan Umat Islam Indonesia (GUII) di bawah pimpinan seorang tokoh keturunan Arab bernama Habib Abdur rahman bin Ismail Assegaf.
Oleh: Raudlatun Miftah | Alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Shari’ah dan Hukum
Sekilas Pertumbuhan dan Perkembangan Ahmadiyah
Ahmadiyah pertama kali dicetuskan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) di Qadian, suatu desa kecil di daerah Punjab, India. Bagi kaum Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad adalah reinkarnasi Isa Al Masih atau Al Mahdi yang dijanjikan kemunculannya di akhir zaman. Keyakinan ini mereka jadikan sebagai prinsip akidah sekaligus ciri khas teologi aliran itu. Bahkan, untuk menopang kebenaran keyakinan itu, mereka tak ragu menggunakan ayat Alquran yang berkaitan dengan tanda-tanda hari kiamat dan hadis-hadis Nabi.
Tentu ajaran ini menimbulkan protes dari seluruh umat Islam yang meyakini tak ada lagi nabi sesudah Nabi Muhammad SAW. Pada tahun 1974, pertemuan Liga Muslim Dunia di Makkah, Arab Saudi, yang dihadiri delegasi 140 negara, mengeluarkan deklarasi yang menilai Ahmadiyah sebagai aliran sesat. Pemerintah Arab Saudi menyatakan aliran ini kafir dan tidak boleh ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Demikian pula Pemerintah Brunei Darussalam dan Malaysia yang sejak 1975 melarang ajaran Ahmadiyah di wilayah masing-masing.
Meski mendapat berbagai penolakan, gerakan Ahmadiyah masih tetap berdiri. Dalam perkembangannya, Ahmadiyah kemudian terpecah menjadi dua golongan, yaitu Ahmadiyah Qadiani dan Ahmadiyah Lahore. Perpecahan ini terjadi setelah khalifah pertama yang menggantikan Mirza Ghulam Ahmad meninggal dunia.
Setelah Mirza Ghulam Ahmad meninggal, kepemimpinan Ahmadiyah menggunakan sistem kekhalifahan yang meniru kekhalifahan Khulafaur Rasyidin. Akan tetapi sistem ini hanya berjalan pada khalifah pertama, yakni Hakim Nurrudin. Setelah Hakim Nuruddin meninggal dunia terjadi perpecahan dalam tubuh Ahmadiyah. Maulana Muhammad Ali beserta para pendukungnya membentuk gerakan Ahmadiyah Lahore sebagai protes atas ketidakadilan yang terjadi dalam tubuh Jamaah Ahmadiyah. Mereka juga tidak mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi.
Sementara itu, bagian lain dalam Jamaah Ahmadiyah menamakan diri Ahmadiyah Qadiani. Jamaah ini merupakan golongan terbesar dalam tubuh Ahmadiyah. Mereka sangat tunduk dan patuh terhadap khalifahnya. Setelah Hakim Nurrudin meninggal, kekhalifahan dalam Jamaah Ahmadiyah Qadiani dipegang oleh keturunan keluarga Mirza Ghulam Ahmad. Mereka dinamakan Khalifatul Masih (khalifah penerus Almasih).
Berbeda dari Jamaah Ahmadiyah Lahore, Jamaah Ahmadiyah Qadiani lebih bersikap eksklusif dengan orang Islam lainnya. Mereka tidak boleh shalat berjamaah jika imamnya bukan dari golongan mereka. Mereka juga menolak menshalatkan jenazah orang Islam di luar jamaah mereka serta menolak menikahkan putrinya dengan putra Islam non-Ahmadi.
Jamaah Ahmadiyah Qadiani berpusat di London, Inggris. Jamaah ini memiliki stasiun radio, web site, dan stasiun televisi yang dinamakan MTA (Muslim Television Ahmadiyya) yang menggunakan beberapa bahasa dunia, termasuk bahasa Indonesia.
Saat ini Jamaah Ahmadiyah mengklaim memiliki pengikut lebih dari 150 juta orang. Mereka juga mengklaim memiliki cabang di 174 negara, termasuk Indonesia, Malaysia, dan Pakistan. Dengan kata lain, Jamaah Ahmadiyah tersebar di Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia, Australia, dan Eropa. Adapun struktur organisasi Ahmadiyah dipusatkan di Kota Rabwah, di Pakistan bagian tengah di bawah pimpinan Hz Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih V yang terpilih pada tahun 2003.
Ahmadiyah di Indonesia
Meskipun di lingkup yang lebih kecil ajaran-ajaran Ahmadiyah bisa jadi sudah dikenal, namun kebanyakan kaum Muslim Indonesia jelas masih memiliki pengetahuan yang terbatas tentang Ahmadiyah. Indikasi terbatasnya pengetahuan tentang Ahmadiyah, yakni ketidaktahuan umumnya kaum Muslim Indonesia bahwa Ahmadiyah sendiri berkembang dalam dua kelompok ajaran dan gerakan, yakni Ahmadiyah Qadiyan dan Ahmadiyah Lahore. Secara organisatoris kelompok Qadiyan direpresentasikan oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang berpusat di Kemang, Parung. Sedangkan kelompok Lahore direpresentasikan oleh Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) yang berpusat di Baciro, Yogyakarta.
Di Indonesia ajaran Islam Ahmadiyah, khususnya Ahmadiyah Lahore, sebenarnya telah dikenal sejak 1918 melalui Islamic Review edisi Melayu yang terbit di Singapura. Namun secara langsung ajaran itu baru diperkenalkan pada sekitar 1920 melalui seorang tokoh Ahmadiyah Lahore, yakni Maulana Khawaja Kamal-ud-Din yang datang ke Surabaya untuk tujuan berobat, dan sekaligus meninjau keadaan Surabaya. Lalu pada 28 November 1920, ia diberi kesempatan oleh Perhimpunan Taswirul Afkar untuk memberi sambutan dalam acara peringatan Maulid Nabi di Masjid Ampel Surabaya. Dan pada 1921, ia juga sempat diundang untuk memberi ceramah di Gambir Park (kini Jakarta). Tokoh Ahmadiyah Lahore lainnya yang menyebarkan ajaran Islam Ahmadiyah ke Indonesia adalah Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad sekitar tahun 1924. Karena alasan kesehatan, Maulana Ahmad tidak lama berada di Indonesia, dan segera kembali ke India. Sementara Mirza Ahmad Baig meneruskan dakwahnya di berbagai tempat di Jawa, antara lain Yogyakarta, Wonosobo, Purbolinggo, dan Jakarta, sampai sekitar tahun 1936.
Pikiran-pikiran Ahmadiyah Lahore mendapat sambutan di kalangan Muhammadiyah, antara lain Djojosugito dan Muhammad Husni. Selain kedua orang itu, juga terdapat nama-nama seperti Soedewo, Muhammad Kusban, Sunarto, Usman, Muhammad Irsyad, Mufti Syarif, dan lainnya. Mereka lalu mendirikan sebuah perkumpulan bernama Muslim Broderchap, yang bertujuan menyebar luaskan paham Ahmadiyah, antara lain dengan menerbitkan majalah berbahasa Belanda bernama Correspdentie Blad.
Pada 5 Juli 1928 Muhammadiyah mengeluarkan maklumat yang antara lain melarang pengajaran paham Ahmadiyah di lingkungan Muhammadiyah, dan orang-orang Muhammadiyah yang mengikuti paham tersebut harus menentukan pilihan: keluar dari Muhammadiyah atau membuang paham tersebut. Akibatnya Djojosugito dan Muhammad Husni pun dipecat dari keanggotaan Muhammadiyah. Selanjutnya tokoh-tokoh tersebut membentuk wadah sendiri yang dinamakan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (centrum Lahore) pada 10 Desember 1928. Di antara anggota pertama GAI adalah Muhammad Irsyad, Muhammad Sabit, Djojosugito, Muhammad Husni, Muhammad Kafi, Idris L.Latjuba, Hardjosubroto, K.H. Sya’roni, K.H. Abdurrahman, dan R. Supratolo. Organisasi itu selanjutnya, mengajukan permohonan untuk memperoleh badan hukum (Rechtspersoon) pada 28 September 1929, dan mendapat pengakuan sebagai badan hukum dengan putusan pemerintah atau Gouvernements Besluit tanggal 4 April 1930 No. IX (extra Bijvoegsel Jav. Courant 22 April 1930 No. 32). Dalam perkembangan kemudian Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) juga terdaftar pada Departemen Agama tanggal 27 Desember 1963 No. 18/II, dan juga terdaftar dalam Berita Negara RI yang diumumkan pada 28 November 1986 No. 95 lampiran No.35.
Kontroversi Ajaran Ahmadiyah
Menurut sudut pandang umum umat Islam, ajaran Ahmadiyah (Qadian) dianggap melenceng dari ajaran Islam sebenarnya karena mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi yaitu Isa al Masih dan Imam Mahdi, hal yang bertentangan dengan pandangan umumnya kaum muslim yang mempercayai Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir walaupun juga mempercayai kedatangan Isa al Masih dan Imam Mahdi setelah Beliau saw(Isa al Masih dan Imam Mahdi akan menjadi umat Nabi Muhammad SAW).
Perbedaan Ahmadiyah dengan kaum Muslim pada umumnya adalah karena Ahmadiyah menganggap bahwa Isa al Masih dan Imam Mahdi telah datang ke dunia ini seperti yang telah dinubuwwatkan Nabi Muhammad SAW. Namun umat Islam pada umumnya mempercayai bahwa Isa al Masih dan Imam Mahdi belum turun ke dunia. Sedangkan permasalahan-permasalahan selain itu adalah perbedaan penafsiran ayat-ayat al Quran saja.
Ahmadiyah sering dikait-kaitkan dengan adanya kitab Tazkirah. Sebenarnya kitab tersebut bukanlah satu kitab suci bagi warga Ahmadiyah, namun hanya merupakan satu buku yang berisi kumpulan pengalaman ruhani pendiri Jemaat Ahmadiyah, layaknya diary. Tidak semua anggota Ahmadiyah memilikinya, karena yang digunakan sebagai pegangan dan pedoman hidup adalah Al Quran-ul-Karim saja.
Ada pula yang menyebutkan bahwa Kota suci Jemaat Ahmadiyah adalah Qadian dan Rabwah. Namun tidak demikian adanya, kota suci Jemaat Ahmadiyah adalah sama dengan kota suci umat Islam lainnya, yakni Mekkah dan Madinah.
Sedangkan Ahmadiyah Lahore mengakui bahwa Mirza Ghulam Ahmad hanyalah mujaddid dan tidak disetarakan dengan posisi nabi, sesuai keterangan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (Ahmadiyah Lahore) untuk Indonesia yang berpusat di Yogyakarta.
[Diambil dari from Kompasiana.com]