ArtikelIslamologiRamadhan

Begini Makna Hadits “Setan Dibelenggu di Bulan Ramadan”

cyclone fence in shallow photography

Apa yang kami terangkan sampai di sini hanyalah mengenai puasa ditinjau dari segi lahiriahnya saja. Tetapi sebagaimana kami terangkan di muka, puasa itu berintikan nilai moral dan rohani, dan aspek ini amat ditekankan oleh Qur’an Suci dan Hadits Nabi.

Nabi Suci bersabda, “Barangsiapa tak menghentikan ucapan bohong dan perbuatan kotor, Allah tak membutuhkan sama sekali puasanya yang ia lakukan dengan pantang makan dan minum” (Bu. 30:8).

Perihal ini berlaku pula bagi Rukun Islam yang lainnya. Orang yang melakukan shalat tetapi tak memperhatikan jiwa shalat yang menjadi tujuannya, misalnya, ia dikutuk oleh Qur’an dengan firman-Nya yang terang, “Celaka bagi mereka yang shalat, yang lalai terhadap (tujuan) shalat mereka” (107:4-5).

Dalam Hadits lain, aspek etika puasa diuraikan sebagai berikut:

“Puasa adalah perisai, maka hendaklah orang yang berpuasa jangan mengucapkan kata-kata kotor, dan jangan pula melakukan perbuatan keji (la yahjal). Dan apabila salah seorang mengajak bertengkar atau memaki-maki kepadanya, hendaklah ia berkata: Aku sedang puasa. Demi Allah Yang Maha menguasai jiwaku, sesungguhnya bau mulut orang puasa itu, menurut Allah, lebih harum dari bau minyak kasturi” (Bu. 30:2).

Jadi, mulut orang yang berpuasa disebut harum, bukan disebabkan karena ia berpantang makan dan minum. Tetapi yang membuat mulutnya menjadi harum adalah karena ia menjauhkan diri dari ucapan kotor dan sumpah serapah. Sehingga, ia tak mungkin membalas orang yang memakinya dengan caci maki pula.

Jadi, orang yang berpuasa bukan saja mendisiplinkan jasmaninya dengan cara menahan lapar, haus dan mengekang nafsu syahwatnya semata. Tetapi ia juga mendisiplinkan moral spiritualnya dengan cara menjauhkan diri dari segala macam ucapan kotor dan perbuatan keji.

Karena itu, puasa bukan semata melatih disiplin jasmaniah, tetapi juga melatih disiplin moral dan spiritual.

Sebagaimana diuraikan seterang-terangnya dalam Hadits di atas, puasa seseorang tak akan ada artinya di mata Allah, jika orang hanya menahan lapar dan dahaga saja, tetapi tak menahan diri dari ucapan kotor, bohong, perbuatan serong atau berbuat keji.

Lebih dari itu, nilai disiplin moral spiritual dalam puasa dipertinggi lagi dengan memberi tekanan khusus agar selama Bulan Ramadan, orang dianjurkan untuk suka berbuat baik kepada sesama.

Dalam satu Hadits, ada satu contoh yang dilakukan oleh Nabi Suci saw. berkenaan dengan hal ini, “Nabi Suci saw. adalah orang yang paling murah hatinya dari antara sekalian manusia. Dan beliau lebih bermurah hati lagi di Bulan Ramadan” (Bukhari 30:7).

Dalam riwayat lain diterangkan bahwa jika bulan Ramadan tiba, Nabi Suci membebaskan semua tawanan dan memberi sedekah kepada para pengemis. Hadits lain lagi menggambarkan bulan Ramadan sebagai “bulan untuk menaruh perhatian terhadap penderitaan kaum miskin dan kaum papa.” (Misykatul Masabih 7:1-iii).

Dengan demikian, menjadi jelaslah maksud Nabi Suci saw. dalam suatu Hadits yang menyatakan, “Bila Bulan Ramadan tiba, pintu-pintu Sorga dibuka, dan pintu-pintu Neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu.” (Bu. 30:5).

Ini tentu berlaku bagi orang yang menjalankan puasa bukan hanya pada aspek jasmaninya belaka, tapi juga rohaninya.

“Setan-setan dibelenggu” bermakna manusia dapat mengalahkan dan mengendalikan hawa nafsunya. Sebab, melalui hawa nafsunya, setan meniupkan bisikan jahat dan menjerumuskan manusia ke dalam lembah kejahatan.

“Pintu-pintu Neraka ditutup” bermakna manusia dapat menyingkiri segala macam kejahatan. Sebab, kejahatan adalah sumber Neraka bagi manusia.

Dengan demikian, “pintu-pintu Sorga dibuka,” karena manusia meninggikan derajat rohaninya sehingga dapat mengatasi keinginan-keinginan rendah jasmaninya, dan mengabdikan diri kepada kepentingan sesama manusia.

Di samping itu, terdapat pula Hadits yang menerangkan bahwa puasa mendatangkan ampunan dari dosa: “Barangsiapa menjalankan puasa karena iman kepada Allah dan mencari ridla-Nya, disertai dengan niat yang tulus, ia akan diampuni dosanya” (HR Bukhari 2:28; 30:6).

Tak diragukan lagi, puasa semacam itu, yakni puasa yang dilakukan karena iman, dilakukan sebagai disiplin rohani untuk mencari ridla Allah, dan disertai dengan niat yang tulus, adalah wujud dari taubat yang bernilai tinggi.

Jika orang bertaubat dengan sungguh-sungguh, maka dosa-dosanya yang sudah-sudah akan diampuni, karena ia telah mengubah haluan hidupnya.

Ada lagi arti lain tentang dibukanya pintu Sorga di Bulan Ramadan bagi orang yang berpuasa. Yakni karena Puasa Ramadan adalah sarana efektif untuk meningkatkan rohani manusia, atau untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Dalam kaitannya dengan Puasa Ramadan, Qur’an Suci menyatakan, “Dan apabila hamba-Ku bertanya kepada engkau tentang Aku, sesungguhnya Aku ini dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a tatkala ia berdo’a kepada-Ku” (2:186).

Menurut ayat ini, jalan bagi manusia untuk mendekat kepada Allah dibuka di Bulan Ramadan. Dan pendekatan kepada Allah itu harus dilakukan dengan jalan berdo’a.

Itulah sebabnya mengapa Nabi Suci saw. menjadikan Bulan Ramadan sebagai bulan khusus untuk menjalankan Shalat Tahajud. Dan beliau juga menganjurkan kepada kita, umatnya, agar senantiasa bangun malam selama Bulan Ramadan untuk menjalankan Shalat Tahajud (Bukhari 2:27).

Dinukil dari buku “Islamologi” karya Maulana Muhammad Ali. Bab Puasa, Sub Bab “Puasa ditinjau dari segi etika”

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here