Yang pertama dan utama marilah kita menghaturkan puji syukur kita ke hadirat Allah atas limpahan rahmat dan karunianya, sehingga kita diberi panjang umur, dan dapat kembali memasuki bulan Ramadhan, bulan yang kita Yakini penuh berkah ini.
Pada kesempatan yang mulia ini marilah kita juga senantiasa tingkatkan kualitas iman dan takwa kita, antara lain dengan berusaha melaksanakan berbagai rangkaian ibadah di bulan Ramadhan ini dengan sebaik-baiknya. Dan di dalam rangka meningkatkan iman dan takwa itu pula, kami mengajak kita sekalian untuk merenungi satu firman Allah sebagaimana yang tadi telah kami bacakan di mukadimah khutbah.
Di dalam mukadimah khutbah tadi, saya membacakan firman Allah yang termaktub dalam Quran Suci Surat Al-Baqarah ayat ke-188. Ayat tersebut seolah menjadi ayat penutup atau closing statement dari rangkaian ayat di dalam ruku ke-23 dari Surat Al-Baqarah, yang berbicara tentang ibadah puasa di bulan Ramadhan, sebagaimana yang tengah kita jalani bersama hari-hari ini.
Dalam ruku ke-23 dari Surat Al-Baqarah ini, terdapat 6 ayat, yakni ayat 183, 184, 185, 186, 187, dan 188, yang secara berurutan berbicara tentang syariat puasa, sekaligus makna dan tujuan dari mengapa puasa ini disyariatkan.
Dalam ayat pertama dari rangkaian ruku tentang puasa di surat Al-Baqarah, yakni ayat 183, kita ditunjukkan mengenai siapa yang dikenai kewajiban puasa, dan mengapa puasa itu diwajibkan kepadanya.
Lantas tiga ayat berikutnya, yakni ayat 184, 185 dan 187, mendeskripsikan mengenai kapan kewajiban puasa itu harus dilakukan, bagaimana aturan mainnya, dan bagaimana pula tata aturan jika kewajiban itu tidak memungkinkan untuk dilakukan.
Sementara itu, ayat 186 menggambarkan mengenai capaian apa yang bisa diraih oleh seseorang yang melakukan kewajiban puasa dengan sebaik-baiknya.
Capaiannya apa? Yakni keakraban dengan Allah. Sehingga karena keakraban itu, dinyatakan dalam ayat 186 itu, Allah berkenan memenuhi segala apa yang dimohonkan oleh hamba-Nya yang telah memenuhi seruannya untuk menjalankan kewajiban puasa.
Dan lalu, mengakhiri rangkaian ayat tentang puasa itu, yakni di dalam ayat ke 188, Allah Ta’ala berfirman:

“Dan janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah pula kamu menyuap dengan harta itu kepada para pihak yang berwenang dalam suatu perkara, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”
Hadirin rahimakumullah
Dalam ayat keenam atau ayat terakhir dari rangkaian ayat tentang puasa di ruku ke-23 dari Quran Surat al-Baqarah ini, kita seakan ditunjukkan suatu cara evaluasi untuk melihat hasil dari puasa yang kita laksanakan.
Ayat ini memerintahkan kita, yakni orang-orang yang menjalankan kewajiban puasa, untuk juga menjalankan suatu kewajiban lain, yang sama-sama harus dijalankan, yakni “tidak memakan harta sesama manusia secara batil.”
Ayat-ayat sebelum ayat 188 ini, yakni ayat 183 hingga 185, membicarakan tentang indikator puasa yang baik seperti takwa, bersyukur dan lain-lain. Akan tetapi indikator-indikator ini sifatnya masih abstrak sehingga sulit untuk diukur.
Berlainan halnya dengan penggalan ayat 188 ini yang menunjukkan secara terang-terangan indikator kualitas puasa yang dilakukan oleh seseorang. Dengan membaca ayat ini, kita menjadi tahu, bahwa siapa saja yang masih memakan atau mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah maka secara otomatis puasa yang dikerjakannya juga adalah tidak sah.
Secara ringkas, pesan yang hendak disampaikan dalam ayat ini adalah bahwa orang-orang beriman yang terbiasa menjalani puasa, adalah sangat tidak etis atau tidak patut bila ia juga terbiasa mengambil apa yang bukan menjadi haknya dari antara saudaranya sesama manusia.
Sehingga boleh dikata, selagi masih ada yang memakan atau mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah, berarti puasa yang dilakukannya selama bulan Ramadan hanyalah sebatas seremonial atau ritual belaka tanpa makna, tanpa arti, dan tanpa tujuan.
Seorang ulama dari negeri Hindustan, yang hidup pada awal abad 20 yang lalu, bernama Maulana Muhammad Ali, dalam kitab terjemah dan tafsirnya, memberi komentar atau tafsir atas ayat 188 dari surat Al-Baqarah ini sebagai berikut:
“Larangan Allah agar manusia tidak mengambil hak orang lain secara tidak sah adalah perintah yang tepat sesudah perintah puasa. Sebab, puasa menjadikan orang dapat menguasai hawa nafsunya. Sehingga, semakin manusia dapat menguasai hawa nafsunya, maka semakin berkuranglah keserakahan orang untuk mengambil hak orang lain dg jalan yang tidak sah.”
Hadirin rahimakumullah
Puasa secara syariat berlaku sejak terbit hingga tenggelamnya matahari. Tetapi secara hakikat ia berlaku sepanjang hari: ya di siang hari, ya juga di malam hari.
Sehingga orang yang berpuasa seharusnya dapat menahan diri dan mengendalikan diri tidak hanya di siang hari saja, tetapi juga terus hingga malam berlalu.
Jika seorang yang berpuasa bisa menahan diri untuk tidak makan-minum apapun saja sejak subuh hingga maghrib, maka Ketika gilirannya ia berbuka puasa, ia juga tidak akan lantas kemaruk dengan cara memasukkan segala sesuatu yang ada ke dalam mulutnya secara ugal-ugalan.
Pelaku puasa yang sejati, sadar betul akan aturan universal yang ditetapkan Allah dalam soal makan-minum: kuluu wasyrobuu walaa tusrifuu. Makan minumlah tetapi jangan berlebih-lebihan.
Sehingga meskipun di hadapannya terdapat meja makan dengan rupa-rupa makanan, dia hanya akan mengambil dan memakan apa yang secukupnya perlu ia makan, tidak lantas menghabiskan seluruh hidangan yang ada di meja makan, persis sekali lahap sesaat adzan maghrib dikumandangkan.
Pelaku puasa tidaklah sama dengan serigala berbulu domba, yang berlaku sabar dan setia dalam lapar dan dahaga di dalam gelap sepi sembari menunggu mangsa keluar. Tetapi manakala mangsa itu keluar, serigala itu menanggalkan bulu dombanya dan berubah menjadi makhluk beringas dan haus darah, yang siap melumat mangsanya habis-habisan.
Pelaku puasa yang sejati adalah dia yang tetap dapat mengendalikan diri baik saat ia berpuasa maupun saat ia berbuka. Sehingga manakala adzan maghrib berkumandang, ia tetap menjadi manusia, dan tidak berubah wujud menjadi makhluk beringas pemakan serba segala.
Hadirin Rahimakumullah
Dan tentu bukan secara kebetulan, bukan pula secara tidak sengaja, Allah menggunakan kata “kuluu” artinya “makan” dalam ayat 188 dari surat al-Baqarah ini, dalam rangka melarang orang berpuasa untuk tidak memakan harta yang bukan haknya, harta yang tidak halal baginya.
Mungkin sama persis seperti idiom yang biasa kita gunakan sehari-hari kepada pejabat atau aparat yang korup dengan istilah “pemakan uang haram”, “pemakan aspal”, dan lain sebagainya
Sehingga, diksi atau pilihan kata “makan” ini digunakan oleh Allah seolah hendak menunjuk kepada sifat tamak, rakus, atau kemaruknya manusia, yang diilustrasikan dengan makan serba segala, yang itu sejatinya bertentangan dengan sifat seorang pelaku puasa.
Dengan kata lain, jika ada yang turut serta berpuasa pada bulan Ramadan ini, tetapi ia masih mau mengambil harta secara illegal (tidak sah), maka dapat dipastikan bahwa puasa yang dilakukannya tidak berkualitas atau bahkan puasanya secara otomatis tertolak oleh Allah Ta’ala.
Hadirin rahimakumullah
Melalui riyadlah puasa, terhadap makanan atau minuman yang kita punya, yang adalah hak kita dan halal adanya, kita diperintahkan untuk menahan diri. Sehingga tentunya, terhadap apa yang bukan hak kita, terhadap apa yang tidak halal bagi kita, tentu kita tidaklah mungkin akan berani menjamahnya.
Puasa mengajarkan kepada kita, bahwa bahkan terhadap barang atau perkara halal yang kita punya hak atasnya saja, kita disuruh menahan diri, apalagi terhadap barang atau perkara yang bukan hak kita. Puasa mengajarkan kita untuk tidak serakah, tidak kemaruk, bukan hanya terhadap apa yang bukan hak milik kita, tetapi bahkan terhadap apa yang jelas-jelas itu adalah hak milik kita sendiri.
Sehingga boleh dikata, pesan moral dari ayat 188 dari surat al-Baqarah, yang menjadi penutup rangkaian ayat tentang puasa ini, menunjukkan bahwa meminimalisir nafsu serakah dalam menguasai harta harus dimulai dari faktor internal yang terdapat dalam diri setiap pribadi kita, yakni nilai-nilai luhur kebaikan yang harus tertanam jauh dalam sanubari kita.
Kecenderungan nafsu kita terhadap harta dapat dinetralisir melalui ibadah puasa, karena salah satu tujuan dari ibadah puasa adalah menahan hawa nafsu yang selalu mengarahkan manusia kepada hal-hal yang tidak baik.
Karena itu, jika di bulan puasa saja kita dilatih untuk tidak sembarang memakan harta yang sah dan halal, maka secara otomatis kita juga akan terbiasa untuk tidak memakan harta orang lain secara tidak sah.
Mudah-mudahan kita mendapatkan hikmah yang berharga dari puasa yang kita jalani, dan juga mendapat keberkahan di bulan Ramadhan ini. Amîn yâ rabbal ‘âlamîn.
Barakallaahulii walakum bil qur’aanil adziim. Wanafa’nii waiyyaakum bimaa fiihi minal aayati wadzikril hakiim. Fastaghfiruuhu innahuu huwal ghafuururrahiim.[]
- Khutbah Jumat Masjid Margi Utami, Pare, Kediri | 15 Maret 2024 M | Oleh: Asgor Ali
Comment here