ArtikelDiskursus

Fatwa Sesat Ahmadiyah dan Bhineka Tunggal Ika

Sajian “Editorial” media Metro TV tanggal 06 Februari 2016 pagi cukup menarik perhatian saya. Dari rangkaian pembicaraan yang dapat saya tangkap, sebenarnya topik pembahasannya adalah tanggapan upaya “Peleburan Perbedaan” di sebuah negara yang berbasis “Bhineka Tunggal Ika”, serta menyoroti kelayakan kebijakan MUI yang memfatwakan “Ahmadiyah Sesat”.

Berangkat dari daya pikir dan pengetahuan yang terbatas, saya memberanikan diri untuk membuat catatan sederhana.

Di pandang dari sudut bernegara, kebijaksanaan MUI secara langsung maupun tidak langsung, disadari atau tidak telah melanggar Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, dimana Mukadimah tersebut mewajibkan semua warga negara menjunjung kehormatan kepribadian manusia yang setinggi-tingginya, sehingga penjajahan, yang meliputi penjajahan lahir atau batin harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.

Basis Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Bhineka Tunggal Ika, yang maknanya “berbeda-beda” tapi “satu” tidak terpenuhi dalam fatwa MUI tentang Ahmadiyah, karena MUI ternyata tidak mengayomi adanya perbedaan tersebut namun justru memvonis dengan menjatuhkan hukuman berupa fatwa “Ahmadiyah Sesat”. Apa yang dilakukan MUI dengan mem-fatwa “Ahmadiyah Sesat” pada dasarnya melanggar hak manusia yang sangat mendasar yang harus ada pada diri setiap insan yang lahir di muka bumi, yaitu Hak Asasi Manusia.

Para Pendiri dan Pembentuk Negara saat itu tidak pernah menghukum “sesat” kepada salah satu aliran atau paham. Tetapi, justru merangkul mereka yang berbeda ke dalam satu barisan “Damai dalam Perbedaan” untuk membangun sebuah “kekuatan”. Kebijakan tersebut mengundang kesadaran dari berbagai lapisan maupun golongan. Mereka datang bergulung-gulung bagai ombak untuk membangun “satu barisan” Bhineka Tunggal Ika. Seperti dari pulau Jawa dengan Jong Jawa. Dari Kalimantan ada Jong Kalimantan. Dari Sumatera ada Jong Sumatera. Dari Sulawesei ada Jong Selebes. Mereka datang atas kesadaran sendiri tanpa ada satu tekanan atau paksaan.

Kebijakan yang dilakukan MUI terhadap sesama Muslim, di negara yang telah menjadi anggota Perserikatan Internasional, yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) karena telah mendaftarakan dirinya atas kemauan sendiri sebagai anggata Perserikatan Internasional tersebut, dimana MUI berada dibawah naungan Pemerintah, secara diam-diam telah melanggar kesepakatan yang digariskan Badan Internasional tersebut, yang semestinya dihormati, yaitu apa yang termaktub pada Pasal 18 Universal Declaration of Human Right yang diterima oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948 tentang “KEBEBASAN BERAGAMA”. Bahwa “Tiap orang bebas berfikir, berangan-angan maupun beragama. Hak itu meliputi kebebasan berganti agama atau kepercayaannya dan kebebasan, baik sendiri-sendiri maupun bersama dengan orang lain dan di muka umum atau dengan sendirinya menyatakan agama atau kepercayaan dalam perbuatan mengajarkannya, praktek, ibadah dan perbuatan menjalankannya.

Dalam perspektif Islam, Penetapan fatwa MUI, bahwa “Ahmadiyah Sesat”, yang sejatinya sama-sama penganut ajaran yang sama yakni ajaran Islam dan memiliki pandangan hidup yang bersumber dari Al-Qur’anul-Karim, adalah sangat memprihatinkan. Ajaran Islam yang menghormati adanya kebebasan dalam memeluk agama, maknanya Islam memberi kebebasan dalam memilih pandangan hidup sendiri-sendiri (QS 2:256).

Islam mengajarkan bahwa untuk membangun keyakinan atau pendapat harus melalui perenungan yang dalam dan dilandasi dasar-dasar yang pantas, yang maknanya harus berlandaskan pengetahuan, hukum, norma atau kaedah maupun sejarah serta hal-hal yang dipandang memiliki korelasi positif dengan permasalahannya (QS 24:53).

Pemecahan persoalan tentang perbedaan pemahaman atau keyakinan tidak dapat dilakukan dari satu sudut pandang atau sekilas, kemudian menarik satu kesimpulan. Sebab masalahnya sangat kompleks dan rumit. Sehingga harus dilakukan dengan jiwa yang tulus dan mulia serta dengan cara yang terhormat, seperti berembug, bermusyawarah, berdiskusi atau simposium, yang hasilnya dirumuskan sebagai jalan keluar dalam satu kesimpulan pemahaman yang benar dan telah disepakati bersama.

Pekerjaan seperti itu harus dilakukan secara kontinyu dan berkesinambungan, Jadi bukan merupakan pekerjaan sambilan dan tidak dapat dilakukan dengan cara arogan. Pengambilan keputusan yang demikian cepat tanpa didasari landasan sebagaimana dianjurkan Al Qur’an menjadikan permasalahan bertambah rumit. Karena membangun kesadaran batin tidak semudah membalik pisang dalam penggorengan.

Kecuali bila terjadi pelanggaran terhadap ketertiban umum, seperti mempengaruhi dengan paksa, mengadakan pengrusakan, melakukan perayuan, mengadakan kontak fisik, atau bersinggungan maupun hal-hal lain yang serupa sebagaimana diatur dalam Hukum Pidana. Maka hal itu adalah tingkah laku dari “oknum”.

Dikatakan bahwa pembuktian yang paling sah harus dilakukan melalui Pengadilan. Akan tetapi terhadap perbedaan pemahaman keagamaan seperti halnya yang terjadi pada Ahmadiyah tidak dapat diadili melalui Pengadilan Pidana atau Perdata atau Pengadilan serupa yang lain. Karena yang berlaku di sini adalah Hukum Tuhan. Dimana nantinya Tuhan akan memperlihatkan catatan kehidupan dari masing-masing manusia.

Sehingga membangun kekuatan yang berbasis ke-“Bhineka-an” namun “Tunggal Ika” tidak harus dengan cara memaksakan kehendak seperti melalui fatwa “Ahmadiyah Sesat” karena memaksakan kehendak adalah perbuatan tidak adil bagi orang lain dan tidak adil bagi diri sendiri. Jadi, amat keliru apabila kita membangun persatuan dengan cara “melebur perbedaan”. Walahualam bish-shawab.[]

 

Penulis : Fathurrahman Irshad

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here