SEORANG KAWAN yang sebenarnya hatinya baik ngajak chat, langsung nembak: “Orang Ahmadiyah itu gila ya?”… O-o-o, kujawab singkat: “Hm justru karena penasaran sebagai jurnalis-sarjana-muslim, aku yang dari Bekasi ke kampus Ahmadiyah di Parung Bogor. Jauuuh, maklum dari Pondok Gede ke Pondok Udik….Usai klarifikasi (tabayyun) Kesimpulan sementara: tampaknya orang Ahmadiyah tidak gila.”….
Tapi mungkin sebenarnya memang ada sejenis kegilaan. Nah, seberapa gila kaum Ahmadiyah itu?
Inilah kisah, laporanku, suatu testimoni dan opini sementara……
LATAR BELAKANG:
Karena aktifnya aku melakukan advokasi atas kaum Ahmadiyah di jejaring sosial Facebook, banyak orang yang menduga aku seorang penganut Ahmadiyah, atau dalam istilah teknis mereka ‘seorang Ahmadi’. Aku bukan Ahmadi, namun mengapa memberikan advokasi? Jawabnya mudah: Kulakukan advokasi karena kulihat mereka menderita kezaliman, akibat seringnya mendapat serangan verbal dan nonverbal. Kekerasan verbal-nonverbal yang belakangan mereka derita itu menurutku berpangkal pada adanya fatwa sesat dan kafir dari MUI th 1984 dan 2005. Bentuk kekerasan itu berlanjut sampai ke tahapan terbitnya SKB yang nyata-nyata bertentangan dengan prinsip kebebasan yang sudah dijamin dalam konstitusi, UUD 1945. Sayangnya penolakan MK (Ketua: Prof Mahfud MD) atas tuntutan pembatalan atas UU PNPS juga memperkuat nunasa provokatif, karena lalu dijadikan pembenaran bagi kekuatan anti-Ahmadiyah untuk melakukan serangan-serangan berikutnya.
Fatwa MUI itu sendiri berpijak pada rekomendasi sesat dan kafirnya Ahmadiyah yang dikeluarkan Liga Islam Dunia (Rabithah al-‘Alam al-Islami) ketika mengadakan pertemuan th 1974 di Saudi Arabia. Selain itu, di dalam negeri sendiri sudah muncul pula fatwa sesat dan kafir, dikeluarkan oleh organisasi muslim, Muhammadiyah th 1934 dan NU (belum jelas tahun berapa?) Sayangnya, belakangan ini ucapan dan perilaku pejabat di jajaran pemerintahan kita yang terkait juga menunjukkan adanya ‘bias’, dan mengarah kepada langkah lebih gawat-fatal: pembubaran Ahmadiyah, yang justru menunjukkan kedangkalan visi kenegarawanan dan visi kemanusiaan, bahkan visi keagamaan.
Sambil memberikan advokasi semampuku dari sudut nilai-nilai akhlaqul-karimah dalam al-Qur’an dan as-Sunnah terkait perbedaan paham, dan sudut pandang HAM, dan terdorong anjuran untuk amr ma’ruf nahy munkar, menolong yang zalim agar tidak zalim, menolong yang dizalimi agar mendapat perlakuan lebih baik, maka kulakukan 2 (dua) langkah:
1) Kubaca lagi sejumlah buku yang kumiliki dan
2) Kuniyatkan : pada suatu saat aku harus menemui mereka melakukan konfirmasi atas beberapa hal.
Bagiku, yang kulakukan ini bukan semata-mata untuk memenuhi hasrat kepenasaranku saja, tetapi memenuhi sikap jurnalistikku, sikap kesarjanaanku, dan sikap kemuslimanku, agar dapat bersaksi dengan adil, sesuai kemampuanku.
BACA SEJUMLAH LITERATUR:
Secara teologis kasus Ahmadiyah memang menarik. Tentang Ahmadiyah ini saya cuma punya beberapa literatur, al.: ‘Ahmadiyah dan Pembajakan al-Qur’an’ (M. Amin Djamaluddin, LPPI, 1992), ‘Menusuk Ahmadiyah’ (Wawan H. Purwanto, CMP Press, 2008), ‘Mengapa Saya Keluar dari Ahmadiyah’ (Ahmad Hariadi, 2008), ‘M irza Ghulam Ahmad dari Qadian’ ‘(Ian Adamson, Pustaka Marwa, 2010) juga beberapa karya orang Ahmadiyah juga, al. : ‘Perlukah al-Qur’an Diturunkan’ (H. Mirza Bashiruddin Ahmad, Yayasan Wisma Damai, 1992), ‘Kristianologi Qur’an’ (KH Simon Ali Yasir, Darul Kutubil Islamiyah, 2005). Ada juga, Ensiklopedia Islam, terbitan CV Toko Buku Ichtiar Van Hoeve, Jakarta, 1979, di sana terdapat entri : Ahmad, Mirza Ghulam. Selebihnya saya baca di perpustakaan.
Tuduhan berat yang dilontarkan ke alamat Ahmadiyah adalah ‘sesat’, ‘kafir’ dan ‘bukan Islam’. Dua tuduhan pertama, tidaklah mengherankan, karena klaim kaum Ahmadiyah memang tampak, terasakan oleh kaum Sunni kita sebagai klaim yang ‘keluar’ dari jalur yang umum mereka pahami. Tetapi tuduhan ketiga: ‘bukan Islam’, menurutku justru aneh. Kalau kita baca buku ‘Perlukah al-Qur’an Diturunkan’ (H. Mirza Bashiruddin Ahmad, Yayasan Wisma Damai, 1992), terasalah tuduhan itu aneh, karena tulisan dalam buku itu kental dengan semangat keislaman. Kedua, setiap kali ada serangan ditujukan kepada properti fisik kaum Ahmadiyah seperti madrasah/sekolah, masjid yang nyata dilengkapi kaligrafi kalimah tahlil atau syahadatain, tampak juga al-Qur’an yang berbahasa Arab yang semuanya itu menunjukkan identitas keislaman, yang jelas terekspos dalam setiap pemberitaan dengan gambar visual. Maka bagaimana mungkin muncul tuduhan dari kalangan pembenci di masyarakat dan kalangan pejabat negara bahwa kaum Ahmadiyah itu berada di luar Islam, ‘bukan Islam’, sampai muncul tuntutan untuk tidak menggunakan atribut keislaman, atau agar menyetakan diri agama baru. Aneh, dan sekilas tampak tuntutan itu mencerminkan kebodohan.
KUNJUNGAN KE KAMPUS AHMADIYAH
Usaha membuka peluang untuk mengunjungi kaum Ahmadiyah kulakukan melalui kontak kawan-kawan Facebook kalangan Ahmadiyah, namun entah mengapa tidak berbuah. Namun, ketika akan ada pertemuan diskusi di UIN yang diselenggarakan oleh Forum Mahasiswa Semarang di Jakarta, hari Rabu 30 Maret 2011, bung Dildaar Ahmad Dartono aktivis Facebook yang adalah Ahmadi menawarkan undangan untuk hadir. Maka kusambut tawaran itu. Sayangnya, undangan yang ia kirimkan melalui email selalu gagal, entah mengapa. Namun hikmah positifnya adalah aku putuskan menjemput undangan itu: Selasa, 29 Maret 2011 berkunjung ke Kampus Ahmadiyah di Pondok Udik, Kemang, Parung, Bogor.
Kantor Desa Pondok Udik ternyata ada di tepian jalan. Setiba di depannya, mengingat situasi-kondisi yang dialami kaum Ahmadiyah, lantas kupikir tidak langsung begitu saja bertanya-tanya tentang kampus Ahmadiyah kepada orang-orang di sekitar situ. Lagi pula perjalanan jauh tanpa makan dulu membuat badan lelah dan lapar. Bagusnya di depan kantor desa ada warung asinan dan minuman kelapa muda. Maka aku masuk pesan asinan sayur dan buah, dan kelapa muda sebutir. Asinan itu ternyata segar dan enak sekali. Kelapa muda juga sungguh segar alamiah. Bagusnya pula sang penjual suami istri dan anaknya cukup menjadi informan yang ramah. Bang Bisan tinggal di Jl. Empang, Kemang, Parung itu juga. Jalan ke rumahnya terletak di depan kantor desa. Dia sekeluarga sudah bisnis warung itu selama 7 tahun, waktu yang cukup panjang. Dan tentu saja, dia mengalami kasus penyerangan terhadap kampus Ahmadiyah th 2005 lalu. “Oh kalau mau masuk ke kampus bapak jalan kaki saja, menyeberang masuk jalan sebelah sana…” Dia unjukkan dan aku langsung paham. “Kalau dulu sih pas di seberang depan warung saya ini keadaannya terbuka. Dulunya gerbang besar, tiap orang dapat bebas masuk dari situ…” “Ooh bang Bisan menyaksikan kejadian serangan itu…bagaimana ?” “Oh mengerikan…kok orang-orang sampai begitu buas-beringas….” Hm takperlu kutanya apakah dia sekeluarga penganut Ahmadiyah…
Menjelang habis makanan dan minuman itu, lantas kutelepon bung Dildaar. Kuberitahu posisiku di warung. Lantas dia berbaik hati menjemput. Ternyata dia berjalan kaki. “Assalamu’alaykum…”. “Wa’alaykumussalam..”. Kami bersalaman, lalu bareng berjalan ke arah kampus melalui jalan samping yang ternyata cukup lebar, sekitar 4-5 meter dan teraspal baik. Dia tunjukkan posisi kampus di mana. Secara keseluruhan tampak kampus tertutup pagar tinggi dan ditumbuhi pohon dan semak-semak hijau segar. Terasa sepi. “Sepi ya….” “Ya kami sedang masa liburan, anak-anak tidak ada di kampus…” Hm kulayangkan pandangan ke kampus dan sekelilingnya. Posisinya bagus, di tengah daerah yang belum begitu terbuka, penuh pepohonan hijau, terasa susasana sejuk-segar. Suasana alam yang demikian, kiranya mendukung proses belaja-mengajar di kampus itu. “Kenapa gerbang besar di depan, ditutup?” “Ya tadinya terbuaka bebas… maklumlah setelah kejadian serangan itu, kami tutup saja agar-supaya orang-orang tidak dapat sembarangan masuk. Lagi pula dalam posisi sekarang, ya agar kami merasa aman”. Aku pun mengangguk. Di belakang ada gerbang masuk seukuran 3-4 meter ditutup pintu setinggi 2 meteran, dan ada pos jaga kecil. “Maaf pak mesti unjuk KTP atau apa, untuk didaftar sebagai tamu…” kata bung Dildaar lembut ”Oh begitu ya…oke.”
Ya aku bisa memaklumi. Apabila suatu komunitas mengalami serangan massal seperti mereka, tentu akibatnya akan lahir sikap waspada terhadap setiap orang ‘asing’ dari luar komunitas itu. Dildaar lalu membawaku masuk. Ooh kampus ini besar. “Ada sekitar 2 hektar”, katanya. Di depan ada lapangan sepak bola. Di arah kanan ada bangunan, agaknya tempat tinggal para petugas kampus. Di ujung lapangan ada bangunan besar. Itu rupanya masjid dan ruang kantor dan ruang belajar, digabung menjadi bangunan dua tingkat. “Tidak kelihatan sebagai masjid ya…” “Oh tadinya mau pasang kubah dan menara…tapi ada desakan agar kami tidak pasang itu….” “Oh tidak apa, itu bukan bagian penting masjid….” Kukatakan demikian, karena teringat kasus polemik di Prancis mengenai larangan membangun gedung dengan menara yang dimaksudkan sebagai penanda bangunan Islam. Sejak itu kuperiksa tulisan mengenai menara dan kubah. Ternyata itu memang bagian arsitektur yang ditambahkan belakangan. Menara lebih dahulu ditambahkan, ketika menbangun masjid di Basra th 665, pada masa Khalifah Bani Umayyah: Muawiyah-I. Konon motifnya: untuk menyaingi menara lonceng gereja. Artinya, menara justru lebih dahulu merupakan budaya Kristiani. Kubah baru ditambahkan sebagai bagian masjid pada abad-XV, masa Kesultanan Utsmaniyah, mengadopsi bagian arsitektur di Anatolia. Ini merupakan pengaruh budaya Bizantium. Ada juga keterangan bahwa kubah berasal dari Iran zaman pra-Islam. Desakan agar kaum Ahmadiyah tidak menggunakan kubah dan menara juga menunjukkan bagaimana masyarakat kita beragama cenderung formalistik.
Di Ujung barat ada bangunan rendah, menyatu ke gedung itu, ruangan kamar mandi dan ruang wudhu yang memanjang sampai bertemu dengan bangunan tempat tinggal petugas kampus itu. Bung Dildaar membawaku ke lobi memanjang sekitar 60-an m dan lebar 20-an m. Di kedua ujung ada pintu besar untuk masuk. Ternyata yang kiri untuk perempuan dan yang kanan untuk kaum lelaki, tetapi tanpa penyekat ruang pembeda lelaki-perempuan itu. “Lelaki-perempuan tidak berjabatan tangan?” “Tidak. Tapi berinteraksi biasa saja”. Aku teringat kondisi serupa di kalangan pesantren Persis di jl Pejagalan Bandung. Dan teringat juga masa bersekolah agama di Madrasah Muslimin afiliasi ke NU, di sana malah laki-perempuan bersalaman, bersinggungan tidak masalah. Hanya saja kalangan NU menganggap persinggungan kulit lelaki-perempuan itu membatalkan wudhu, tapi orang Persis tidak, juga Muhammadiyah. Berarti dalam hal itu, kaum Ahmadiyah dekat ke Persis dan Muhammadiyah. Kita tahu perkara ini pernah menjadi berita besar ketika Menkominfo Tifatul Sembiring bersalaman dengan Michele Obama, yang menjadi berita utama di media masa nasional, bahan jadi bahan lelucon di media televisi AS..
Aku minta izin mau solat Asar dulu. Bung Dildar menunjukkan ruang wudhu itu. Aku masuk, ternyata bersih, tertata rapih. Airnya sejuk, meresap ke kulit ke otot, membuat rasa segar ke badan dan ke batin. Lalu, aku naik ke ruang solat di atas, masjid. Ruangan hening, karena para santri/siswa sedang liburan pulang kampong. Meskipun gedungnya permanen dengan lantai beton yang luas, sekitar panjang 100-an m dan lebar 60-an m, interior masjid amat sederhana. Kuambil beberapa foto dengan kameraku. Di depan tampak kaligrafi ‘Laa ilaaha illallaah, Muhammadur-Rasuulullaah’, ‘Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad Utusan Allah’. Lha kaligrafi semacam inilah yang kita sering lihat ketika ada pemberitaan di televisi tentang masjid atau madrasah mereka mendapat serangan kelompok anti-Ahmadiyah. Padahal para penyerang yang buas-beringas itu menyerang sambil meneriakkan ‘Allahu Akbar’. Aneh sekali, apakah kelompok penyerang buta ajaran yang melarang menyerang kelompok yang sama-sama meyakini ‘Laa ilaaha illallaah, Muhammadur-Rasuulullaah’, ‘Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad Utusan Allah’. Ada hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim memuat pesan Kanjeng Nabi yang menyebutkan bahwa pengecaman-penghinaan kepada sesama keyakinan demikian itu fasik dan menyebabkan kematiannya adalah perbuatan kafir. Kalaupun penyerangan didasarkan prasangka adanya kesesatan di pihak Ahmadiyah, maka itupun jelas-jelas fasik, karena seharusnya prasangka diklarifikasikan (tabayyun). Apakah mereka buta juga masalah it? Hmm. Tetapi kita tahu, meskipun mengalami serangan yang kasar demikian, kaum Ahmadiyah tidaklah menunjukkan sikap defensif yang membabi-buta juga. Gila. Mengapa demikian.
Masjid an-Nashr (Pertolongan). Tidak ada gambar Mirza Ghulam Ahmad, bahkan tidak ada kaligrafi namanya di dinding manapun di ruang masjid itu. Ini berbeda dari yang mungkin disangkakan orang. Aku ingat ketika masuk masjid kaum Syi’ah di Singapura. Di dalam ruangan terpampang kaligrafi lima tokoh idola mereka satu paket: Muhammad-Ali-Fathimah-Hasan-Husein, terpampang dalam tulisan Arab mengambil pola lingkaran. Di sini tidak ada kaligrafi Mirza Ghulam Ahmad.
Karena kosong, ‘bismillah…’ aku langsung saja solat di atas sajadah imam di sisi mimbar. Tahiyatul-masjid dulu, lalu solat Asar. Lalu dzikir. Kemudian berdiri melongok ke dalam mimbar. Kulihat ada dua kitab: al-Qur’an terbitan Yayasan Wisma Damai. Kubuka sekilas, isinya seperti yang kita kenal saja. Lalu, ada kitab Riyadlush-Shalihin, jilid II, penyusunnya Imam Nawawi. Usai solat, kulihat bung Dildaar ada di pintu. Dia sekali lagi memperlihatkan al-Qur’an tadi dan kitab hadis itu. Aku minta kepadanya alamat di mana bisa beli al-Qur’an terbitan Yayasan Wisma Damai itu. Untuk kubaca selanjutnya. Dia berjanji memberitahu, atau mengusahakan aku memperolehnya.
Keluar dari masjid An-Nashr itu, aku menuruni tangga. Di ujung bawah pojok terdapat papan komunikasi dengan beberapa kertas edaran yang ditempelkan. Terdapat di situ Daftar Khatib Jum’at, Daftar Imam Tahajjud. Melihat daftar-daftar itu kok teringat kasus Bupati Kuningan mengunjungi masjid Ahmadiyah di sana. Menurut berita koran, tentu saja kunjungan itu disambut oleh pengurus masjid, yang mengatakan “Ini kunjungan pertama pejabat ke mmasjid kami”. Sayangnya, para tamu berusaha untuk tampil menjadi imam solat, yang tentu saja ditolak. Kupikir memang itu buruk. Bukan saja rombongan para tamu itu pertama kali datang, juga sudah ada daftar imam solat. Lagi pula dalam ajaran etika solat juga, cara demikian tidaklah diperkenankan karena diutamakan tuan rumah yang diterima jamaah masjid. Celakanya, rombongan tamu lalu bikin solat dengan jamaah baru, sehingga muncul berita ‘solat dua imam’…Padahal apabila ada jamaah solat, dilarang bikin jamaah baru, kecuali harus bergabung. Bagaimana pula ini?
KULIHAT BUKU ‘TADHKIRAH’ YANG MENGHEBOHKAN ITU
Kami lalu turun. Lalu, kuminta izin masuk perpustakaan. Kami masuk. Di situlah bung Dildaar memperlihatkan buku yang menghebohkan, ‘Tadhkirah’. Buku ini tertulis dalam bhs Inggris. Penulisannya ‘Tadhkirah’ (dengan ‘dh’), bukan ‘Tadzkirah’ (dengan ‘dz’). “Ini buku semacam catatan harian Mirza Ghulam Ahmad, bukan kitab suci, apalagi pengganti al-Qur’an”. Bung Dildaar mengunjukkan beberapa kalimat. Aku mengangguk. Jadi rupanya sumber kesalahpahaman terletak di penafsiran atas kalimat-kalimat itu. “Karena isinya juga catatan pengalaman spiritual beliau, orang juga boleh percaya boleh tidak”. Aku mengangguk, lalu kutimpali. “Ya paham. Artinya juga, kalau toh isinya ini dusta, Mirza Ghulam Ahmad pula yang akan kena azab Allah, apalagi bila kedustaan itu diikuti orang-orang lain pengikutnya.” Kuambil foto beberapa halaman ‘Tadhkirah’ itu. Gila, mengapa pula sampai timbul kehebohan seolah-olah kaum Ahmadiyah membikin kitab suci sendiri.
TIGA POLA SIKAP FUTURISME:
Dalam hati timbul pertanyaan. Kalau berdasarkan bukunya semacam ini, lantas siapa dulu th 1974 yang menyimpulkan kaum Ahmadiyah ‘sesat’ dan ‘kafir’ dalam sidang Liga Islam Dunia itu. Besar kemungkinan semuanya kaum Sunni. Karena rasanya tidak mungkin kaum Syi’ah karena pola nalarnya sebenarnya ada keserupaan dengan kaum Syi’ah. Bedanya kaum Syi’ah member label idola mereka itu Imam, dan rekrutmennya terbatas kepada Ahlul-Bayt dan keturunannya, kaum Ahmadiyah memberi label idolanya itu ‘Nabi biasa’ yaitu Nabi tanpa syariat baru. Artinya kedua kaum ini sejatinya sama saja mengikuti syariat Nabi Muhammad saw. Perbedaan lainnya, kaum Syi’ah dalam posisi menunggu kedatangan Imam al-Mahdi yang juga Isa al-Masih itu, kaum Ahmadiyah meyakini al-Mahdi dan al-Masih itu sudah datang ialah Mirza Ghulam Ahmad itu. Soal terkahir ini biar kudengar nanti.
Namun, sebenarnya kurasa aneh juga kalau kaum NU, yang bagian dari Sunni, ikutan menuduh mereka ‘sesat’ dan ‘kafir’, karena di kalangan NU tumbuh berbagai aliran tarekat kesufian yang mengenal konsep orang-orang suci yang mereka sebut Wali, yang sering juga mengalami mimpi-mimpi ajaib bahkan mengaku bertemu Nabi Muhammad di dalam mimpi. Namun kupahami bila pelabelan ‘sesat’ dan ‘kafir’ itu muncul di forum Liga Islam Dunia bermarkas di Saudi Arabia yang resminya menganut paham Wahhabi, yang tidak menyukai pola keagamaan ala sufi atau tarekat, atau konsep kewalian yang berbau mistis itu. Maka kupahami apabila kaum Muhammadiyah menelurkan fatwa demikian tahun 1933. Pandangan kaum Salafi, di mana termasuk di situ Wahhabi, dan Persis serta Muhammadiyah berada di kelompok ini juga cenderung dinilai oleh kaum Syi’ah dan penganut sufi tarekat sebagai pandangan yang tekstualis, yang menuntut kemurnian dalam paham keagamaan, murni sebagaimana berlangsung di masa hidup Nabi. Mereka beragama dengan tampak saja alias ‘zhahiriyyah’ saja, padahal perlu juga secara ‘bathiniyah’ menyelam sampai ke makna di balik yang zhahir itu. Tetapi di mata kaum Salafi, mereka adalah penganut pandangan agama yang mencampurbaurkan kepercayaan lokal bahkan sampai bernuansa syirik, khurafat dan bidah. Kesamaan lain kaum Syi’ah dengan Ahmadiyah ini, sama-sama menganut paham adanya konsep khilafat dalam Islam. Pada kenyataannya, di Iran berlangsung konsep itu namun karena Imam terakhir ‘menghilang’ dan bakal muncul suatu saat kelak nanti, dalam posisi menunggu ini yang menjalankan Khilafat itu adalah para Imam seperti Imam Khomeini dst. Jadi ada unsur futurism yang mistis di sini. Di lingkungan kaum Ahmadiyah, Khilafat itu tentu dimulai dengan Mirza Ghulam Ahmad, yang lalu generasi berikutnya dipilih dalam suatu pertemuan untuk itu, dan ini bedanya dari kaum Syi’ah, kaum Ahmadiyah tidaklah mengasumsikan imamnya dari kalangan Ahlil-Bayt.
“Menurut ajaran Al-Qur’an, sepeninggal nabi ummat Islam harus dipimpin oleh khalifah-khalifah yang dipilih dari antara orang-orang Islam yang paling tinggi keruhaniannya. Sesudah Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. Imam Mahdi, Masih Mau’ud wafat, dipilihlah Hadhrat Hakim Nuruddin r.a. sebagai Khalifatul Masih I. Berikutnya, dipilih Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad r.a. sebagai Khalifatul Masih II. Beliau ini adalah putera dari Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. Kemudian, dipilihlah Hadhrat Mirza Nasir Ahmad M.A. sebagai Khalifatul Masih III. Lantas, yang dipilih: Hadhrat Mirza Tahir Ahmad sebagai Kalifatul Masih IV. Jika Kalifatul Masih IV wafat maka akan dipilih pula seorang lain untuk menjadi Kalifatul Masih V karena khilafat harus tetap ada sampai hari kiamat.” “ Tujuan didirkannya jemaat Ahmadiyah ialah, sebagaimana dikatakan oleh pendirinya, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. : Menghidupkan agama dan menegakkan Syariat Islam.” “Untuk mencapai tujuan itu kami menyebarkan muballigh untuk mengajarkan Islam seluas–luasnya ke seluruh dunia dan memajukan pendidikan dan pengajaran Islam sebesar-besarnya di kalangan kaum Muslimin sendiri. Di luar negeri di Negara Eropa dan Amerika kami merintis pembangunan berbagai masjid dan pusat-pusat keislaman. Bahkan di negeri Fiji, hanya ada satu masjid, dan itu kami yang mendirikannya.”
Kaum Persis, Muhammadiyah dan sejenisnya mempercayai akan datangnya pembaharu yang mengenalkan pandangan-pandangan keagamaan yang memperbaiki paham yang ada, mereka menyebutnya ‘mujaddid’. Meskipun begitu mujaddid ini tidaklah dilekati sifat-sifat bernuansa kewalian, melainkan sifat kecendekiaan, ketinggian dan keluasan wawasan dalam keagamaan. Kaum Persis, Muhammadiyah juga meyakini akan datangnya Isa al-Masih di akhir zaman sebagai Imam Mahdi yang ditunggu-tunggu. Maka di sini kita melihat ada tiga pola sikap futurism yang berbeda, walaupun pada dasarnya basis argumennya hadis kedatangan Isa al-Masih, Dajjal atau Imam Mahdi yang sama juga.
SOLAT BERJAMAAH:
Usai dari perpustakaan, kami duduk mengobrol lagi di lobi. Oh ya, di lobi ini terpampang semboyan “Akan Kusampaikan dakwah sampai ke seluruh pelosok dunia” di atas peta dunia yang terpasang di dinding Timur di belakang punggung. Di depan mata ada ruang-ruang kantor-kantor, di atasnya ada tulisan ‘Dakwah Kepada Allah’…
Tidak berapa lama, beberapa orang berdatangan, baik dari pintu masuk lelaki maupun pintu perempuan. Oh sebentar lagi solat magrib. Tadinya sudah mau pamitan. Tetapi seiring perjalanan waktu, tibalah waktu magrib. Kupikir ini kesempatan menyaksikan bagaimana mereka melakukan solat. Aku naik lagi ke atas, masuk ke ruang solat. Kulihat beberapa orang melakukan tahiyatul-masjid. Aku juga melakukannya. Sementara itu terdengar seseorang tampil mengumandangkan adzan. Masyaallah. Aku yang dulunya muadzin, menyimak, ternyata pengucapannya (makhroj) baik sekali. Langgamnya khas lokal kita tapi bagus juga. Yang penting isi kalimat-kalimat adzannya sama dengan yang kita kenal, termasuk tentu saja ucapan syahadatain itu: “Asyhadu a(n)laa ilaaha illallaah !!!” “Asyhadu anna Muhammadar-Rasuulullaah!!!’ Gila. Sama persis. Tidak ada embel-embel lainnya. Gila. Padahal ada juga isyu, kaum Ahmadiyah punya syahadat tersendiri.
Maka kamipun mulai solat. Jamaahnya tidak banyak karena para santri-siswa sedang liburan itu. Yang hadir Cuma beberapa petugas kampus dan tetangga. Hanya dua saf saja. Ingin kuambil foto selagi solat, tetapi aku terlanjur masuk saf di belakang-kanan Imam solat. Seorang tampil sebagai imam solat, pakaiannya kemeja putih-bersih berpeci hitam. Persis penampilan seorang Persis atau Muhammadiyah. Kalau NU kebanyakan tampil dengan baju koko putih atau gamis panjang dan berpeci haji atau serban. Kusimak betul-betul. Tidak ada bisik-bisik baca password “usholli…..” seperti biasa dilantunkan kaum NU. Bahkan di kalangan NU ada yang berulang-ulang bertakbir sambil mencari posisi khusyu batin… Persislah dengan solatnya kaum Persis dan Muhammadiyah. Orang Jamaah Tabligh mengenal dua cara, yang ‘password’nya keras dan yang berbisik dalam hati. Lalu, imam langsung baca al-Fatihah. Berarti ucapan password ‘bismillahirrahmanirrahim’ di awalnya tidak dikeraskan (tidak zhahr) melainkan dibisikkan saja (sirr). Bacaan al-Fatihah- nya bagus sekali langgamnya dan pelafalannya. Yang menarik, setiba di ujung ayat: ‘walaa dhdhaaalliiiin’ mereka tidak meneriakkan ‘Aaminn’ melainkan Cuma berbisik dan sekejap, tidak panjang-panjang. Pada rakaat kedua juga nantinya begitu. Lalu disusul dengan bacaan surah as-Syamsu. Bacaannya lantang, fasih. Pada rakaat kedua bacaan surahnya al-Fil digabung dengan al-Lahab. Nah, antara dua surah ini bacaan ‘bismillahirrahmanirrahim’ dikeraskan. Ternyata solat magribnya sama saja dengan yang kita kenal, tiga rakaat, dengan dua tasyahud. Gila, jadi apa yang beda?
Usai solat kusaksikan mereka berdzikir, persis seperti kaum Persis dan Muhammadiyah, mereka lakukan dengan diam-diam dan perorangan. Berbeda dengan cara dzikr kaum NU yang keras-keras dipimpin imam atau petugas lain, paket dzikr dan do’anya pun panjang. Kebiasaan ini terkadang kurasa mengganggu ketika rombongan masbuq, karena mengganggu fokus solat. Parahnya, kalau datang rombongan baru untuk solat jamaah karena bacaan imam seperti balapan dengan bacaan dzikr dan do’a yang keras itu. Bahkan banyak masjid kaum NU yang mengeluarkan bacaan-bacaan dan dzikr dan doa ke luar masjid melalui speakernya, yang bagi sebagian orang bisa menjadi gangguan, terutama bagi nonmuslim Lagi pula, mengapa harus diperdengarkan keras, sampai ke luar masjid, padahal kalau kita pikirkan sama-sekali tidak relevan.
PENGAJIAN HADIS USAI SOLAT MAGRIB:
Ketika akan pamitan, karena untuk pulang masih harus menempuh jarak amat jauh, bung Dildaar memberitahu, usai dzikir-do’a semua orang selesai biasa ada pengajian hadis. “Hm boleh juga…sampai tiba waktu Isya?” “Oh tidak Cuma 10-an menit…” “Oke …” Maka akupun duduk, siap menyimak. Ternyata yang tampil ialah sang imam tadi. Dan yang dibacakan, adalah hadis tentang bagaimana menangani urusan jenazah dan keutamaan mereka yang ikut melibatkan diri dalam penanganan itu. Betul, Cuma sekitar 10 menitan. Sesudah itulah orang-orang banyak menoleh kepadaku dan bersalaman, sambil bertanya “Dari mana nih…” Haha, memang aku orang asing di situ. Kuperkenalkan diri, juga kutanyakan beberapa nama. Lalu sang imampun mundur bergabung, dan begitu saja terbentuklah pola lingkaran kecil. Kami mulai mengobrol yang menjurus ke diskusi. Imam itu bernama Ust Ama Qomaruddin, asal Lombok rupanya. “Oh ustadz yang tadi dibacakan itu Riyadhlush-Shalihin?” “Ya”… Nah, kitab ini sering kita temukan dalam pengajian kaum Persis dan Muhammadiyah. Gila, dalam hal ini mereka sama saja dengan kaum Persis dan Muhammadiyah. Kaum Jamaah Tabligh menyukai baca Fadhilah Amal, juga kaum NU. “Wah selama solat tadi rupanya saya saja yang gak pake tutup kepala…” “Oh iya ya, pakailah, kami mengharuskan pakai peci atau tutup kepala lain…” Kuunjukkan topi yang kuletakkan di atas atas laptop. “Nah pake itu saja, tinggal balik ke belakang, oke”. Hm dalam hal tutup kepala ini malah mereka dekat ke paham NU yang malah hamper mewajibkan memakai topi haji yang putih. Dalam hal ini justru kaum Persis dan Muhammadiyah amat longgar. Kalau kita melihat orang solat di masjid dengan baju biasa, bukan baju koko atau sejenisnya, dan tanpa peci atau tutup kepala seperti haji dan sejenisnya dapat dipastikan mereka itu kaum Persis atau Muhammadiyah.
DISKUSI SEBELUM SOLAT ISYA
—PERIHAL KENABIAN MIRZA GHULAM AHMAD:
Ustadz Qamaruddin menjelaskan pandangan Ahmadiyah. “Menurut sabda Nabi Muhammad saw. dalam Sahih Muslim, Isa yang akan diturunkan itu berpangkat Nabi, Sesuai dengan itu Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s adalah nabi.” Menurut Al-Qur’an setiap nabi adalah rasul dan sebaliknya setiap rasul adalah nabi. Seoarang dikatakan nabi karena ia mendapat khabar ghaib dari Allah swt. yang mengatakan ia adalah ‘Nabi’. Dan ia disebutkan rasul karena diutus oleh Allah swt, kepada manusia. Selaras dengan itu Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s, adalah nabi dan rasul”.
“Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. ialah Imam Mahdi dan Almasihul Mau’ud (al-Masih yang dijanjikan ). Nabi Muhammad saw. berjanji bahwa di akhir zaman akan datang Imam Mahdi dan Isa Almasih. Dalam hadis Nabi Muhammad saw, juga disebutkan bahwa Imam Mahdi dan Isa Almasih itu hanya satu orang juga dan orang itu dating dari ummat Islam sendiri. Sesuai dengan janji-janji Nabi Muhammad saw itu dan atas perintah Allah swt. Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s mendakwakan diri beliau sebagai Imam Mahdi dan Al-Masihul al-Mau’ud”.
“Nabi Isa dari Bani Israil, yang disebutkan dalam Al-Qur’an, hanya untuk Bani Israil saja. Beliau dipaku di palang salib oleh kaum Yahudi, tetapi tidak sampai mati, hanya pingsan. Sesudah sembuh beliau menyingkir dari Palestina ke daerah-daerah timur, di mana bertebaran sepuluh suku Israil lainnya. Akhirnya beliau sampai di Kashmir di mana beliau wafat dan dikuburkan di Khan Yar Street, Srinagar. Sampai kini kuburan itu masih ada” Ooh dulu, aku yang penggila baca buku tentang Kristologi, sempat baca buku kecil ‘Nabi Isa meninggal di Kashmir’ kalau tidak salah tulisan Safi R. Batuah. Jadi beliau seorang Ahmadi rupanya. “Menurut Al-Qur’an, nabi atau rasul ada dua macam : Pertama, ‘pembawa syariat baru’ seperti Nabi Muhammad saw. Kedua, ‘pengikut dan pelaksana syariat yang ada’, seperti nabi-nabi dalam Bani Israil mulai dari nabi Harun a.s. sampai nabi Isa a.s. yang mengikut syriat Nabi Musa a.s. Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s tergolong dalam nabi atau rasul macam kedua, yaitu yang tidak membawa syariat baru dan hanya mengikuti dan menjalankan syariat Nabi Muhammad saw, yaitu Islam. Ahmadiyah berpendapat, berdasar pada Al-Qur’an, bahwa mengangkat nabi-nabi adalah salah satu sunnah Tuhan. Siapa dan dimana nabi baru akan diutus, Tuhan sendiri yang mengetahuinya. Sunnah Tuhan itu senantiasa berlaku.”
“Kalau keadaan manusia sudah sangat kalut dan kedatangan seorang nabi dianggap perlu oleh Tuhan, maka Dia akan mengutus seorang nabi. Begitulah halnya sekarang. Karena di waktu ini manusia tidak mementingkan agama lagi, maka Tuhan telah mengutus Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. sebagai nabi.” “Begitu pula kalau nanti manusia jatuh kembali ke dalam kekacauan sehingga perlu pula kedatangan seorang nabi baru, maka Tuhan akan mengutus lagi seorang nabi baru. Begitulah seterusnya. Tetapi semua nabi itu hanya akan menjalankan syariat Islam dan sebagai pembantu bagi Nabi Muhammad saw, seperti halnya dengan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s.” “Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s, lahir di Qadian pada tanggal 13 Pebruari 1835. beliau hidup 73 tahun. Sesudah berjuang membela dan menyebarkan agama Islam, menerbitkan sekitar 84 buah buku, beliau wafat pada tanggal 26 Mei 1908 di Lahore dalam keadaan biasa dan dikuburkan di Qadian.” Hm jadi kaum Ahmadiyah meyakini keberlangsungan pewahyuan, kedatangan nabi atau rasul berapa orangpun sampai kiamat nanti, walaupun tidak membawa syariat baru hanya mengikuti syariat bawaan Nabi Muhammad saw. Sebenarnya konsep ini bagiku juga bukanlah hal yang aneh. Kata kuncinya terletak pada kata ‘wahyu’. bagaimana al-Qur’an menggunakan kata ini. Yang jelas ada kata kerja ‘mewahyukan’ yang diaplikasikan kepada hewan semacam lebah…”Ku-wahyukan kepada lebah agar membuat sarang….” (surah an-Nahl) tetapi terjemahannya justru bukan ‘Ku-wahyukan’ tetapi ‘kuilhamkan’, padahal kata ‘ilham’ senerikat oleh paham ‘wahyu sudah berakhir, makadiri ada kemunculan di tempat lain…Hm harus kuburu nanti. Jadi perlu kuburu juga penggunaan kata kerja ‘mewahyukan’ pada ayat-ayat lain, yang karena penerjemah masa lalu terikat oleh pendapat bahwa ‘pewahyuan sudah berakhir pada diri Muhammad saw’ lalu menerjemahkannya ke kata lain, dalam contoh lebah tadi ‘kuilhamkan’….
“Menurut kepercayaan Ahmadiyah, berdasarkan ajaran Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. sendiri, Nabi yang mempunyai kalimat Syahadat hanya Nabi Muhammad saw saja, itulah salah satu keunggulan beliau dibanding dengan seluruh nabi-nabi lain. Selain beliau tak ada nabi lain yang mempunyai kalimat syahadat. Di kalangan ummat Islam ada pendapat – pendapat bahwa beberapa nabi mempunyai pula syahadat. Ahnadiyah menentang pendapat ini. Menurut Ahmadiyah semua nabi lainnya, baik yang dulu maupun yang kemudian, tidak dan tidak akan mempunyai kalimat syahadat sendiri. Jadi, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad tidak mempunyai kalimat syahadat sendiri. Kalimat syahadat beliau ialah kalimat Syahadat Nabi Muhammad saw.”
“Kadangkala ada pertanyaan tentang keimanan Ahmadiyah. Sama saja, kami mempercayai sepenuh-penuhnya rukun iman yang enam : Percaya pada Allah, Percaya pada Malaikat, Percaya pada kitab-kitab Suci, Percaya pada Nabi-Nabi, Percaya pada hari Kiamat, Percaya pada Qada dan Qadar.” “Seluruh rukun Islam yang lima: Syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji dijalankan oleh orang–orang Ahmadiyah. Orang-orang Ahmadiyah yang sanggup diwajibkan pergi haji ke Mekkah. Kalau solat, kami juga berkiblat ke Ka’bah di Makkah.” “Oh kami naik haji juga ke Mekkah. Bukankah para Khalifah kami juga semuanya haji.” Tapi tidak kukembangkan pertanyaan tentang larangan naik haji oleh pemerintah Saudi Arabia. Toh aku tahu dari buku-buku yang mereka tulis, penulisnya bertitel Haji. Yang kukenal penulis dari kalangan Ahmadiyah misalnya H. Syafii A. Batuah.Ustadz atau H. Saleh A. Nahdi, dsb. Penulis ‘Perlukah al-Qur’an diturunkan”, juga Mirza H. Bashiruddin Ahmad.”
“Salah satu pendapat yang ditentang keras oleh Ahmadiyah ialah pendapat nasikh dan mansukh. Menurut pendapat umum diantara ayat-ayat Al-Qur-an ada yang membatalkan ( nasikh ) ayat-ayat lain dan ada ayat-ayat yang dibatalkan ( mansukh ). Menurut Ahmadiyah tak ada ayat Al-Qur-an yang dibatalkan dan seluruh ayat tetap berlaku, baik tentang bentuk maupun tentang hukumnya.” Dalam hal pendapat nasikh-mansukh ini tampaknya kyai Husein Muhammad dari Cirebon memiliki pandangan yang sama: tidak ada nasikh-mansukh dalam ayat-ayat al-Qur’an.
—TIDAK BERPOLITIK :
Ustadz Qamaruddin menerangkan selanjutnya. “Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. tidak membawa kitab syariat baru. Kitab syariat beliau ialah Kitab Syariat Nabi Muhammad saw, sendiri yaitu Al-Qur’an Suci yang berisi 114 surah dan terbagi dalam 30 juz. “Salah satu keyakinan Ahmadiyah ialah bahwa Al-Qur-an tidak berubah dan tidak dapat diubah. Malahan satu-satunya kitab suci diseluruh dunia yang tidak berubah isinya hanyalah Al-Qur-an Suci saja. Al-Qur-an Ahmadiyah tetap bermula dengan surah ‘Al-Faatihah’, berakhir dengan surah An- Naas. Karena itu Ahmaddiyah tidak mempunyai kitab lain selain Al-Qur-anul Hakim.”
Ustadz Qamaruddin menjelaskan soal posisi buku ‘Tadhkirah’ yang menghebohkan itu. “Ini himpunan pengalaman spiritual Mirza Ghulam Ahmad, di antaranya beberapa ayat yang dibacakan dalam mimpinya, lalu beliau tulis semuanya disertai pengalaman lainnya. Beliau sendiri tidak mengetahui ada kitab ini. Ketika semasa hidupnya ada usulan untuk membukukannya, juga beliau menolak takut menjadi fitnah. Tetapi sepeninggal beliau ada beberapa pengikutnya yang merasa perlu menghimpun semua pengalaman yang beliau tulis tersebar dalam 84 jilid buku, namun penghimpunan itu khusus pengalaman mimpi-mimpi yang beliau alami termasuk pengalaman gaib lainnya, dalam satu buku yaitu ‘Tadhkirah’. Dalam hal ini kaum Ahmadiyah Lahore tidak memiliki pemikiran itu, jadi mereka tidak punya buku ‘Tadhkirah’ itu karena mereka tidak menganggap penting. Memang ada kesalahan di antara penyusunnya yang menyatakan itu sebagai kitab suci, namun sebenarnya itu ungkapan ingin menghormati semua pengalaman beliau yang suci.”
Hmh ya, aku bisa memahami psikologi itu. Bukankah kaum Syi’ah juga sangat mengagungkan himpunan hadis yang bersumber dari mulut tokoh Ahlul-Bayt, terutama Ali bin Abi Thalib? Sampai-sampai posisi Ali bin Abi Thalib terkesan melebihi Nabi Muhammad sendiri. Aku maklum juga bagaimana cara kaum NU menghormati para kyai atau ulama sikap dan cara takzim (pengagungan) yang luar biasa itu. Atau juga bagaimana para murid tarekat kesufdian amat mengagungkan guru mursyidnya dengan sikap dan cara takzim yang luar biasa pula. Gila. Bagiku itu sih gejala psikologi yang sama saja. Basis argumennya ya sama saja. Dalam hal ini kaum Persis dan Muhammadiyah atau Wahhabi atau Salafy tampaknya jauh lebih rasional, mereka membenci sikap pengagungan individu berlebihan.
“Isyu mengenai Tadhkirah sebagai kitab suci Ahmadiyah itu cuma ada di Indonesia sini…” “Oh di Pakistan bagaimana?” “Tidak ada masalah itu” “Lantas mengapa dikategorikan agama minoritas non-Islam?” “Itu ada kisahnya. Kami dikhianati. Kami sebetulnya tidak berpolitik. Kala pemilihan umum, ada tokoh politisi bernama Zulfikar Ali Bhuto mencalonkan diri dan kampanye, yang pada suatu saat ternyata suaranya kurang dan mendatangi kami meminta suaranya diberikan kepada partainya. Kala itu posisinya imbang dengan lawan politik lainnya, dan suara kami menentukan dia kalah atau menang. Janjinya, apabila suara diberikan dan Ali Bhuto memenangkan pemilu, dia akan memberi perlindungan kepada jemaat Ahmadiyah. Dengan janji itu kami berikan suara, dan dia memenangkan pemilu. Tetapi kemudian dia pulalah yang menetapkanj Ahmadiyah sebagai minoritas non-Islam. Namun, kita lihat nasibnya kelak penuh malapetaka, sampai ke anak keturunannya juga. Dan malapetaka itu sudah teramalkan dalam mimpi Mirza Ghulam Ahmad yang tercatat dalam Tadhkirah. Kami meyakini banyak kasus-kasus serupa dalam Tadhkirah yang akan berulang kembali di masa-masa depan.” Begitu kata Ustadz Qamaruddin. “Di Indonesia, kami mengalami berbagai serangan itu belakangan saja. Dan kita kemudian tahu peristiwa ini adalah politisasi, kita tahu siapa yang melakukannya”. Mungkin maksudnya kelompok FPI atau FUI atau mereka yang mengancam pemerintah apabila tidak membubarkan Ahmadiyah mereka akan menggulingkan pemerintah SBY. Tetapi tidak kukembangkan pertanyaan berikutnya.
Walaupun begitu, aku sih punya pendapat sendiri. Begini, kaum Sunni juga sebenarnya tidak perlu murka seandainya ada juga upaya pembuatan kitab suci lain, sekalipun mencontoh al-Quran. Haha aneh? Yang aneh justru yang marah itu. Al-Qur’an sendiri menantang pembacanya, jinn atau manusia, apabila mampu untuk membikin kitab tandingan, bahkan meskipun cuma satu surah. Nah kalaulah ada kabar bahwa di kalangan Ahmadiyah ada kitab baru, suruh saja mereka menampilkannya. Begitu juga, ada isyu bahwa di kalangan Syi’ah ada al-Qur’an versi Fathimah. Demi kebenaran, sebaiknya tampilkan semua, agar nanti jelas di mana keunggulan al-Qur’an. Pesan penting yang ingin kupegang, mengingat ayat-ayat tantangan dalam al-Qur’an yang begitu terbuka, terbuka tidak membatasi zaman, terbuka tidak membatasi kepada kalangan tertentu, maka kita umat Islam harus siap menerima kemunculan itu apabila memang terjadi. Dan itu jangan diartikan mencela atau menghina al-Qur’an, justru sebaliknya akan merusak martabat si peniru itu sendiri, dan menambah keagungan al-Qur’an.
Yang terjadi justru menyedihkan. gara-gara emosi tidak terkendali, lalu terjadi penyerangan fisik ke madrasah ke masjid kaum Ahmadiyah, al-Qur’an yang sejatinya sama, kaum penyerang campakkan-rusakkan dengan semena-mena. Papan nama dan kaligrafi bertulisan kalimah thoyyibah mereka rusak tanpa membaca-meneliti terlebih dahulu lebih cermat. Gerangan azab macam apa akan Allah berikan kepada mereka.
”Jemaat Ahmadiyah sebagai organisasi tidak berpolitik. Jadi jemaat Ahmadiyah bukan partai politik. Jemaat Ahmadiyah tidak boleh berpolitik karena : Pertama, perjuangan Ahmadiyah bukan hanya satu segi saja tetapi melingkupi segala kehidupan, di dunia dan di akhirat. Kedua, Ahmadiyah bukan hanya terdapat dalam satu Negara saja melainkan meliputi seluruh dunia.” Tetapi orang–orang Ahmadiyah sebagai perseorangan warga negara dapat melakukan tindakan politik atau memilih dalam pemilihan umum. Dengan sendirinya dalam melakukan hak pilih itu seorang Ahmadiyah itu akan mendasarkan tindakannya sesuai dengan ajaran Islam dan untuk kepentingan negara.” Di sini aku teringat tuduhan bahwa Mirza Ghulam Ahmad itu antek kaki tangan Inggris. Di kala orang berjuang melawan penjajajahan Inggris beliau malah propenjajah. Kini aku paham bahwa masalahnya bukan berarti bahwa karena dia tidak berpolitik lalu beliau itui propenjajah atau lebih buruk lagi menjadi kaki tangan Inggris. Kalau hanya itu, artinya dalam hal pengambilan sikap organisasi misalnyai ‘kooperatif’ atau ‘nonkooperatif’ di dalam sejarah Indonesia juga kita temukan sikap kooperatif Belanda yang ditunjukkan kaum Muhammadiyah pada masa awal berdirinya, apalagi motifnya hanya untuk menjamin perolehan bantuan dana pemerintah masa itu. Memang sikap kooperatif Muhammadiyah itu mengundang juga kritik. Tetapi tidak berarti Muhammadiyah buatan Belanda, atau kaki-tangan Belanda.
Ustadz Qomaruddin yang ternyata pernah sekitar 7 tahunan belajar di pusat Ahmadiyah di India, berkisah tentang perjuangan Mirza Ghulam Ahmad yang sudah sejak remaja menyukai pengkajian agama ketimbang mengurusi harta-kekayaan orangtuanya yang berlimpah seluas beberapa desa. Beliau berceritera juga tentang kasus-kasus mubahalah dengan orang-orang yang membencinya yang berakhir dengan malapetaka di pihak lawan. Kudengar semua sambil merefleksikannya ke bacaan tentang itu, dalam buku “Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian” (Ian Adamson, Pustaka Marwa, 2010)
—-DANA PERJUANGAN
Ustadz Qamaruddin melanjutkan. “Tidak aneh soal ini, menurut Al-Qur-an tiap nabi dan rasul selalu minta pengorbanan besar dari para pengikutnya. Lihatlah para sahabat seperti Abu Bakar ra. Dkk. Demikian pula untuk mencapai tujuan Ahmadiyah – penyaran Islam ke seluruh dunia – Hadhrat Imam Mahdi dan Masih Mau’ud a.s minta pengorbanan harta dan tenaga para pengikut Amadiyah. Setiap Ahmadi berjanji akan membayar iuran bulanan berkisar dari 1/16 sampai 1/3 dari penghasilannya. Tapi juga, ia berjanji membayar suatu jumlah tertentu sesukanya untuk setahun yang dapat dicicil. Iuran bentuk ini namanya iuran Tahrik Jadid. Di samping itu dimintakan iuran se- waktu-waktu untuk keperluan tertentu. Dengan aneka pengurbanan inilah kegiatan dakwah dijalankan oleh Ahmadiyah.” “Apakah para anggota tidak merasakan berat kewajiban iuran seperti itu. Bukankah itu mirip dengan konsep persepuluhan dalam sistem iuran gereja Kristiani. “Ustadz Qamaruddin melanjutkan: ” Sebenarnya sepertinya berat, tetapi anehnya gejalanya adalah para anggota justru kehidupan ekonominya membaik sejak menjadi anggota…”
Tiba waktu Isya. Seseorang tampil adzan. Ini kesempatan kedua kusimak adzan mereka. Ternyata sang muadzin itu langsung saja mengumandangkan adzan. Ini seperti muadzin kalangan Persis dan Muhammadiyah. Sering muadzin dari kalangan Nu menambah embel-embel bacaan berupa ayat tentang solawat, bahkan ada lagi menambahkan bacaan solawat Nariyah. Tambahan-tambahan semacam ini yang dipandang kaum Persis dan Muhammadiyah sebagai bidah. Dalam hal ini lagi-lagi kaum Ahmadiyah seperti kaum Persis dan Muhammadiyah. Kali ini aku solat dengan topi yang kubalikkan arahnya ke belakang. Ustadz Qomaruddin tampil lagi sebagai imam. Bacaannya bagus. Kali ini surah yang beliau baca adalah do’anya Nabi Ibrahim yang berisi harapan agar Negara ini aman-tenteram dan diberkati dengan aneka macam buah-buahan…(Aku terharu mengingat segala perlakuan kaum buas-beringas, termasuk pemasungan hak-hak kemerdekaannya dengan SKB 3Menteri yang secara legalitas dan filsafat hukum sebenarnya melawan HAM, dan bahkan melawan semangat pluralism dan toleransi dalam al-Qur’an dan as-Sunnah…). Rakaat ke dua, surah lanjutannya, do’a berisi harapan kemuliaan bagi para anak-keturunan pada generasi-generasi berikut. (Hm ayat-ayat do’a yang sungguh relevan). Dan, akhirnya solat Isya selesai, sama dengan yang kiita kenal, 4 rakaat. Dua rakaat peryama dengan bacaan keras, ada tasyahud, lalu dua rakaat berikutnya tanpa bacaan keras, sunyi-senyap, semua terasa fokus, khusyu.
Akhirnya akupun pamitan. Oh, ternyata bung Dildaar menyediakan hidangan kecil: bubur kacang hijau dengan roti sekepal. Kunikmati itu sambil berseloroh, “Wah ini bubur kacang ijo Pondok Udik’? atau ‘bubur kacan ijo Ahmadiyah?” Bung Dildaar orang serius, hanya senyum saja. Lalu aku berjalan ke gerbang jaga di belakang ditejmani Ustadz Qomaruddin. Kuterima kembali KTP yang dititipkan di sekuriti. Lalu usai salaman dengan Ustadz Qoamaruddin kuucapkan salam kepada semua yang ada di sekitar situ. “Assalamu’alaykum”…dan kembalilah jawaban lengkap “Wa’alaykumussalam warahmatullah wabarokaatuhu!”.
RENUNGAN DI JALAN PULANG
Di perjalanan pulang,aku teringat obrolan lain di perpustakaan. “Jumlah kami sedikit sebenarnya, cuma sekitar 200,000~ 250,000 orang…” “Oh lebih sedikit dari jemaatnya Persis…” “Oh mereka berapa? “Hm gak tahu pasti, tapi mungkin sekitar 2 jutaan juga kurang…” Itulah, populasi sedikit itu. Nampaknya penyebabnya ada beberapa faktor: Pertama, mungkin faktor paham kenabiannya tokoh bernama Mirza Ghulam Ahmad itu, yang jelas berbeda dengan paham yang umum diterima. Kedua, faktor etnisitas sang tokoh itu yang lebih kental nuansa India atau Persia, ketimbang Arab. Kita kenal tokoh Walisongo itu banyak yang berdarah Arab. Ketiga, persyaratan keanggotaan yang berat. Betul berat.
Kubuka prospectus atau liflet yang kuterima dari bung Dildaar tentang prosedur seseorang menjadi anggoat Jemaat Ahmadiyah. Aku membelalakkan mata. Gila, persyaratannya ketat sekali. Bahkan para anggota DPR yang konon menyusun kode etik, niscaya keberatan dalam memenuhi persyaratan itu. Memang, gila. Setahuku persyaratan masuk NU atau Muhammadiyah, dua organisasi besar kita, juga tidaklah seberat itu. Akupun merasakan betapa dahsyat dan beratnya persyaratan itu. Lihat saja, isinya selengkapnya kukutipkan di sini :
Orang yang masuk Ahmadiyah harus berjanji dengan hati yang jujur bahwa:
- Di masa yang akan datang hingga masuk ke dalam kubur, senantiasa akan menjauhi syirik (mempersekutukan Allah Taala dengan sesuatu yang lain)
- Senantiasa akan menghindarkan diri dari segala corak bohong, zina, pandangan birahi terhadap bukan muhrim, perbuatan fasiq, kejahatan, aniaya, khianat, mengadakan huru hara, dan memberontak: serta tidak akan di kalahkan oleh hawa nafsunya meskipun bagaimana juga dorongan terhadapnya (Jadi, dalam hal tidak akan memberontak, sikap ini bukan hanya dalam konteks kooperatif dengan pemerintah jajahan Inggris dulu)
- Senantiasa akan mendirikan sembahyang lima waktu dengan tidak ada kecuali sesuai dengan perintah AllahTaala dan Rosul-Nya dengan sekuar tenaganya (perhatikan ini!) dan setiap saat akan membiasakan memohon ampun bagi dosa-dosa dan mengucapkan pujian dan sanjungan terhadap Allah Taala dengan mengingat kurnia-kurnia-Nya dengan hati yang penuh rasa cinta, berikhtiar senantiasa akan mengerjakan sembahyang tahajjud (sholat tengan malam sesudah tidur, berlanjud hingga azan subuh) dan membaca salawat terhadap junjungan-Nya yang mulia Rasullah Muhammad saw.
- Tidak akan mendatangkan kesusahan apapun yang tidak pada tempatnya terhadap makhluk Allah seumunnya dan kaum Muslimin khususnya, karena dorongan hawa nafsu biar dengan lisan atau dengan tangan atau dengan cara apapun juga (perhatikan semangat pasifisme, sikap damai ini!)
- Akan tetap setia terhadap Allah Taala dalam segala keadaan susah, ni’mat atau senang duka atau suka, ni’mat atau musibah: pendeknya akan ridha atas putusan Allah Taala dan senantiasa akan bersedia menerima segala kehinaan, kesusahan di dalam jalan Allah Taala ketika ditimpa suatu musibah bahkan akan terus melangkah ke muka
- Akan berhenti dari adat yang buruk dan dari menurutkan hawa nafsu dan betul-betul akan menjunjung perintah Qur’an Suci (Perhatikan ini!) Firmah Allah dan Rosul itu akan jadi pedoman baginya dalam tiap langkah.
- Betul-betul akan meninggalkan takabbur dan sombong, akan hidup dengan merendah diri, beradat lemah lembut, berbudi pekerti yang halus dan sopan santun.
- Akan menghargai agama, kehormatan agama dan mencintai Islam lebih dari pada jiwanya, harta bendanya, anak-anaknya dan dari segala yang dicintainya.
- Akan selamanya menaruh belas kasihan terhadapmakhluk Allah seumumnya dan sebisa-bisanya akan mendatangkan faedah kepada ummat manusia dengan kekuatan dan ni’mat yang dianugrahkan Allah Taala.
- Akan mengikat tali persaudaraan dengan Masih Mau’ud a.s semata mata karena Allah dengan pengakuan thaat dalam hal ma’ruf (segala hal yang baik) dan akan berdiri di atas perjanjian ini hingga mautnya. Dalam tali persaudaraan ini begitu tinggi hendaknya sehingga tidak akan diperoleh bandingannya, baik dalam ikatan persaudaraan dunia, maupun dalam kekeluargaan atau dalam segala macam hubungan antara hamba dengan tuannya.”
Akhirnya, tertulis sbb. : “Seseorang yang telah memeriksa segala pendakwaan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. Dan kemudian membenarkan harus menggabungkan diri pada jemaat yang beliau dirikan yaitu Jemaat Ahmadiyah Indonesia, ia harus melakukan baiat di tangan pemimpin Jemaat Ahmadiyah pada masanya (dewasa ini Khalifatul Masih IV Hadhrat Mirza Tahir Ahmad atba). Baiaat itu boleh pula di lakukan dengan perantara orang orang yang bertugas: para Mubaliqh dan para pengurus Ahmadiyah. Baiaat (perjanjian) di lakukan secara lisan dan tulisan di muka orang yang berwewenang itu, dan boleh pula hanya secara tulisan dengan mengisi formulir yang di tentukan untuk itu, kalau muballiqh dan pengurus jauh dari tempat orang yg akan baiaat.”
PENUTUP:
Kini, setelah beberapa hari berlalu, usai kususun laporan sementara ini, aku teringat tiga status yang kutulis dalam facebook:
“SERING karena semangat lalu org berlebihan, seperti status ini: ‘Menurut ulama sedunia, Ahmadiyah itu ‘Kafir’ lebih berat dari Kristen, Hindu, Budha, Katholik, dll.”. Hmm berapa sih jumlah orang ulama dari umat Islam yang sekitar 2 milyar-an orang ini ?… Kala Liga Islam Dunia (1974) bikin rekomendasi ‘sesat’, yg hadir cuma 200-an orang ulama, jadi cuma ‘segelintir ulama’. Pembandingan tingkat kesesatan-kekafiran dengan agama lain pun tidak ada. Berlebihan itu, buruk.”
“KONGRES AS dilanda isyu ‘diskriminasi kepada kaum muslim yg minoritas’…Eits stop ribut, stop reaksi emosional…Yuuk mawas diri dulu, sudahkah mayoritas kita tulus-ikhlas-bersih-murni melepaskan sikap anti diskriminasi terhadap minoritas? Konon, sikap simetris: ‘adil kpd pihak lain dan pihak diri sendiri’ itu nilai luhur penting dalam al-Qur’an (QS.004:135) emosi benci pun tidak boleh menjadi penyebab ketidak-adilan (QS.005:008)”
“SEORANG pemudi cantik, berbulu mata lentik: “Gmn kabar Ahmadiyah?” “Kok tanya aku?” “Mereka sebaiknya terbuka kalo diajak dialog, membaur saja jika yakin aqidahnya sama kita. Banyak orang menilai mereka ngeyel, susah dibaca jalan pikirannya, tidak seperti faham/ pemikiran lain. Selalu menjengkelkan” ”Hm kalau emosi, berarti kamu tidak bisa kendali diri. Yakinilah agama/ keyakinanmu, apapun yang mereka lakukan, takkan menjadikanmu emosi…”…
Dan kini, dalam hati aku berkata: akankah bung Dildaar memenuhi janjinya: memberi tahu di mana bisa kubeli ‘al-Qur’an’ terbitan Yayasan Wisma Damai’, dan mau juga memberikan ‘Tadhkirah’ selain soft copy-nya ? Aku menunggu dengan penuh harap.
Kutulis tadi ini adalah ‘;laporan sementara’, karena masih ada beberapa pertanyaan yang harus kutemukan jawabannya, atau klarifikasinya, dan itu baru terjawab antara lain bila aku sudah baca ‘al-Qur’an’ terbitan Yayasan Wisma Damai’, dan ‘Tadhkirah’ itu, secara lebih leluasa.
Bekasi, 1 April 2011.
Penulis : Arif Maulany
- Retrieved from : facebook.com/arifmaulany
- Disclaimer : tulisan di atas berkenaan dengan Ahmadiyah Qadian atau Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) — admin ahmadiyah.org
Comment here