Tentang cinta Allah, Allahlah yang lebih tahu. Namun pengetahuan tentang sesuatu, bisa kita peroleh dari sesuatu yang lain. Misalnya, jika di bawah sebuah pohon kelihatan ada buah yang terjatuh, maka dapat dikatakan bahwa mungkin sekali ada buah yang menggantung pada pohon itu. Tetapi jika di bawah pohon tidak ada buah, maka kita tidak mungkin bisa meyakini tentang adanya buah pada pohon itu.
Demikian pula, hubungan dan cinta manusia dengan saudara-saudaranya, yang Allah tanamkan; dari hal itu dapat diduga bahwa manusia semestinya juga cinta dengan Allah Ta’ala. Jadi orang yang menjaga hak-hak manusia dan menjaga hubungan baik dengan saudaranya, tentu ada cinta Allah Ta’ala padanya.
Lihatlah, hidup di dunia hanya sementara. Cepat atau lambat semua manusia akan mati. Pintu kubur selalu terbuka. Setiap manusia akan memasukinya pada waktu dan gilirannya masing-masing. Tidak ada jaminan umur, dan tidaklah kekal kehidupan ini. Orang mengharap bisa tetap hidup hingga enam bulan atau tiga bulan. Tetapi tidak ada yang bisa meyakinkan bahwa harapan itu pasti terjadi. Tidak ada yang meyakinkan, apakah kita akan tetap hidup atau tidak setelah melangkah satu langkah menuju langkah kedua. Inilah keadaan manusia yang tidak mengetahui kapan saat kematiannya. Kematian adalah hal yang pasti dan tidak bisa disangkal lagi. Manusia yang bijaksana wajib selalu siap untuk itu setiap waktu. Untuk itu, Allah berfirman dalam Quran Syarif:
walaa tamuutunna illaa wa antum muslimuun
“Dan janganlah kamu mati kecuali sebagai orang Islam.” (Ali ‘Imran, 3:102).
Sepanjang waktu, selama manusia belum bersih urusannya dengan Allah Ta’ala, dan belum memenuhi kedua macam hak, yakni hak Allah (haqullah) dan hak-hak hamba atau manusia (haququl ‘ibad), dia tidak akan berhasil.
Hak-hak hamba (manusia) ada dua macam. Pertama, hak manusia yang telah menjadi saudara seagama. Kedua, hak manusia pada umumnya, yang kita wajib bersimpati padanya.
Mengenai hak Allah Ta’ala, hak-Nya yang paling besar adalah, ibadah yang hanya untuk-Nya. Ibadah ini bukan berdasarkan tujuan pribadi. Bahkan seandainya tidak ada neraka dan surga, orang tetap beribadah kepada-Nya. Cinta sejati yang semestinya ada dari Sang Khalik kepada makhluk tidak berubah. Karena itu, dalam pemenuhan hak-Nya seharusnya tidak ada pertanyaan tentang neraka dan surga.
Dalam bersimpati dengan sesama manusia, selama seseorang tidak mau mendoakan untuk seorang musuh sekalipun, berarti hatinya tidak bersih sepenuhnya.
Ud’uunii astajib lakum, “Berdoalah kepada-Ku, Aku akan mengijabahi (doa) kamu.” (40:60). Dalam firman Allah ini, Allah Ta’ala tidak memasang penghalang, bahwa doa untuk musuh tidak akan dikabulkan. Sebaliknya, aku yakin, mendoakan musuh itu termasuk sunnah Nabi Muhammad saw. Umar bin Khattab r.a. menjadi muslim, karena Nabi Muhammad saw. sering berdoa untuk beliau. Oleh karena itu, janganlah dengan kebakhilan (doa) ada permusuhan pribadi dengan seseorang.
Sungguh, janganlah kita menjadi orang-orang yang merugikan dan menyusahkan. Allah Ta’ala sangat benci pada orang yang merugikan dan memusuhi orang lain dengan cara yang tidak benar, sebagaimana Dia tidak ingin disekutukan dengan siapa pun atau apa pun. Orang-orang yang menolak pun perlu didoakan, karena dengan cara itu bisa membersihkan hati dan meningkatkan keberanian. Oleh sebab itu, selama jemaat kami tidak mengupayakan cara itu, maka tidak akan ada bedanya dengan yang lain.
(Disarikan dari Malfuzat Ahmadiyyah, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, jld. 3a, hlm. 63-65).
Comment here