DiskursusEdisi KemerdekaanKlipingSejarahTokoh

HOS Tjokroaminoto dan Ahmadiyah

HOS Tjokroaminoto merupakan tokoh nasional pejuang kemerdekaan dengan latar Islam. Tahun 1912 Sarekat Dagang Islam (SDI), sebuah lembaga koperasi yang menaungi para pedagang batik dari monopoli etnik China dalam perdagangan saat itu. Kesuksesan SDI membuat organisasi ini beralih menjadi Sarekat Islam (SI) dan orientasinya bukan lagi pada isu dominasi China dalam perdagangan, namun juga pada otoritas Hindia Belanda dan kelas priyayi yang dimanfaatkan oleh pemerintah penjajah. Malahan, tujuan sekunder ini kemudian menjadi tujuan utama dan SI pada gilirannya menjadi sebuah organisasi penentang penjajahan di masa itu. Disini HOS Tjokroaminoto tampil sebagai ketua.

Anggota SI sebagian besar merupakan masyarakat petani dan buruh yang bertopang pada kepemimpinan karismatik. Salah satu penyebab berkembangnya SI adalah pandangan masyarakat kalau telah hadir Ratu Adil yang akan menyelamatkan rakyat dan Ratu Adil ini adalah HOS Tjokroaminoto. Setiap ia berkunjung untuk berceramah, masyarakat datang berduyun-duyun dan sebagian berusaha menjamah tubuhnya untuk mendapatkan berkah. Ia juga dipandang sebagai anak langsung dari Nabi Muhammad yang turun dari surga atau sebagai Gatotkotjo. Kharisma Tjokroaminoto yang besar ini membuat SI memperoleh anggota hampir 1 juta orang di tahun 1918 dan mencapai dua juta anggota pada tahun 1919 (May, 1978:45)

Pada awalnya, pemerintah Hindia Belanda memandang SI sebagai organisasi biasa namun setelah anggota SI tumbuh begitu besar dengan pola pikir yang irasional bagi perspektif mereka, pemerintah menjadi khawatir. Entah karena tekanan penjajah atau tidak, pada tahun 1921, Tjokroaminoto mengatakan kalau dirinya bukanlah Ratu Adil dan Ratu Adil yang sesungguhnya hadir dalam bentuk sosialisme. Penjelasan paling mungkin adalah pernyataan tersebut dibuat atas dasar kesadaran sendiri karena pada tahun tersebut, ia menjadi pimpinan CCI (Central Committee of al-Islam), sebuah organisasi yang dibentuk sebagai usaha pemasyarakatan Wahabi yang sedang tumbuh di Arab Saudi dan menyebar ke Indonesia.

Walau begitu, di tahun yang sama, ia dipenjara pemerintah Hindia Belanda selama hampir setahun tanpa melalui persidangan. Cabang SI di luar Jawa, pada saat penghukuman ini, mengalami kemunduran dan baru kembali bersinar ketika Tjokroaminoto dibebaskan dan membangun kontak baik lewat surat maupun secara langsung ke basis-basis SI di luar Jawa.

HOS Tjokroaminoto, bersama dengan Soekiman, Natsir, Kahar Muzakkar, dan Agus Salim, adalah salah tokoh nasional yang memiliki pemikiran mengenai demokrasi dan sosialisme dalam Islam. Tjokroaminoto memandang kalau kerajaan-kerajaan muslim di Indonesia salah dalam menafsirkan kepemimpinan tauladan Nabi dan sahabatnya. Bagi beliau, para Khulafaurrasyidin merupakan sebuah bentuk demokratis sosialisme Islam (Danesjvara, 2006:203). Gagasan sosialisme dalam Islam lebih lanjut ditegaskannya dalam buku Islam dan Sosialisme yang terbit di tahun 1924 (Mujiburrahman, 2011:50).

Selain terpengaruh oleh sosialisme dan demokrasi, Tjokroaminoto juga terpengaruh oleh Ahmadiyah. Beliau secara diam-diam menerjemahkan tafsir Maulana Muhammad Ali, presiden Ahmadiyah Lahore, ke dalam bahasa Melayu. Selain itu, beliau memiliki hubungan pribadi dengan Wali Ahmad Baig. Menurut Lamardy (2011:653), pengaruh Ahmadiyah inilah yang membentuk semangat nasionalisme-religius dalam pemikiran Tjokroaminoto. Hubungan dengan Ahmadiyah ini diketahui dan membuat Muhammadiyah berpandangan negatif pada Sarikat Islam (SI) yang dipimpinnya, padahal Tjokroaminoto sendiri berlatar Muhammadiyah.

Tahun 1927, kampanye kemerdekaan Tjokroaminoto dinyatakan dalam beberapa kutipan berikut (Lamardy, 2011:654): ”Janganlah kita pernah lupa, ide kesatuan nasional. Janganlah kita membuat jarak antar-ras dan golongan, orang Sumatera, Bali, Jawa, orang Sulawesi dan Borneo, sebab mereka semua adalah orang Indie. … Kita tidak akan mudah memeluk Agama Islam secara penuh, sejauh para penganutnya tidak bebas di tanah mereka.”

Dalam kesempatan lain yang masih berdekatan, ia juga menyampaikan: ”Kita harus menggapai kesatuan dengan muslim negara lain (foreign muslim). Lalu kita akan menjadi kuat yang dengan itu berarti kita segera akan mencapai kemerdekaan, dan Islam di sini akan pertama kali disucikan. … Hanya dalam kemerdekaan, para penganut (Islam) dapat menjalankan kewajibannya secara penuh. Hanya kita tidak dapat melakukan hal itu sekarang. Kita akan dapat melakukannya hanya jika kita merdeka.”

Dalam kongres SI tanggal 26-29 Januari 1928 di Yogyakarta, Tjokroaminoto ditentang keras karena menerjemahkan tafsir Ahmadiyah ini. Agus Salim secara lantang mendukung Tjokroaminoto dengan berargumen kalau tafsir Ahmadiyah merupakan yang terbaik dalam memberikan kepuasan pada pemuda-pemuda Indonesia yang terpelajar.

Walaupun berpandangan demokrat-sosialis, Tjokroaminoto berpendapat bahwa Indonesia semestinya merupakan negara Islam atau setidaknya Islam harus menjadi landasan UUD. Gagasan ini diturunkan dari pandangan awalnya kalau Khulafaurrasyidin merupakan model pemerintahan yang ideal.

Pandangan pluralis yang dimiliki Tjokroaminoto tergolong unik. Beliau menggabungkan pandangan Islam, Ahmadiyah, Sosialisme, Nasionalisme, Demokrasi, dan bahkan Sinkretisme. Wacana fantastis ini tampaknya hanya mungkin dapat muncul dalam alam Hindia Belanda di masa fajar kaum terpelajar. Kata-kata dan frasa-frasa utopisnya menciptakan korpus baru mengenai rekoleksi dan ingatan tentang masa depan, sebuah dunia hasrat yang belum tercapai. Ini adalah salah satu bahan bakar bagi para pejuang generasi selanjutnya seperti Soekarno.

Ketika pengaruh Tjokroaminoto memudar seiring tudingan Muhammadiyah maupun pemurnian dirinya dari sebagai Ratu Adil, masyarakat menjadi kehilangan arah dan menjadi apatis dan fatalis. Inilah yang memotivasi Soekarno untuk terjun sepenuhnya dalam usaha memerdekakan Hindia Belanda. Hal ini juga didukung oleh kedekatannya dengan HOS Tjokroaminoto. Sewaktu beliau di sekolah menengah, beliau tinggal di rumah Tjokroaminoto dan mendapat pengalaman pertamanya terhadap kondisi politik di masyarakat dan bagaimana mengorganisasikan perlawanan terhadap pemerintah kolonial.

 

Penulis: Widia Pebriana, 21 September 2012

Referensi

  • Danesjvara, A. 2006. Demokrasi: Masih (Perlukah) Dicari? Jurnal Konstitusi, 3(2), 199-204
  • Lamardy, J.H. 2011. Belajar Kembali Menjadi Bangsa; Pengalaman Ahmadiyah. Dalam Elza Peldi Taher, Merayakan Kebebasan Beragama: Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendy, hal.648-674
  • May, B. 1978. The Indonesian Tragedy. Singapore: Graham Brash
  • Mujiburrahman. 2011. Legitimasi dan Kritik: Pemikiran Keagamaan Djohan Effendi. Dalam Elza Peldi Taher, Merayakan Kebebasan Beragama: Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendy, hal.46-64
Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »