Sentuhan Rohani

Meraih Kenikmatan Shalat

Orang yang malas mengerjakan shalat dan melalaikannya, boleh jadi karena mereka tak tahu kenikmatan yang Allah Ta’ala sajikan dalam shalat. Mengapa mereka tak tahu dan tak pernah merasakan kenikmatan itu? Karena di hatinya terdapat penyakit!

Maka hendaklah mereka berdoa kepada Allah Ta’ala dengan penuh gairah, agar mereka bisa merasakan nikmatnya shalat dan ibadah lainnya, sebagaimana mereka bisa merasakan nikmatnya makan buah-buahan dan lainnya, serta selalu bisa mengingat kenikmatan itu. Sebab, bila seseorang melihat suatu keindahan dengan suka cita, maka dia akan selalu mengingat sesuatu itu dengan baik.

Menurut orang yang tak pernah mengerjakannya, shalat adalah hukuman. Karena untuk shalat subuh, misalnya, orang harus bangun pagi sekali, mengurangi waktu istirahat dan menghentikan nyenyak tidurnya, dan dalam cuaca dingin harus bersentuhan dengan air dan berwudlu.

Sungguh, ketaksukaan mereka mengerjakan shalat, karena mereka tak memahami kenikmatan yang terkandung di dalamnya. Lantas, bagaimana cara meraih kenikmatan dalam salat?

Seorang pemabuk tak mungkin menemukan kenikmatan minuman keras dalam sekali tenggak, dia akan terus minum segelas demi segelas hingga akhirnya ia mabuk. Dari hal ini kita dapat mengambil hikmah. Kita seharusnya mengerjakan shalat terus menerus sehingga akhirnya kita mabuk di dalamnya. Selain itu, hendaklah ada dalam angan-angan kita bahwa kita akan menemukan kenikmatan dalam shalat.

Kita berdoa dengan tulus dan penuh harap agar kelezatan dalam shalat bisa dicapai. Lantas pada saat shalat pun kita perlu memperhatikan bagaimana cara untuk memperoleh manfaat yang terkandung di dalamnya, dan memandang shalat itu sebagai sarana mencapai kebaikan (ihsan).

“Dan tegakkanlah shalat pada dua ujung siang hari dan pada bagian permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan baik itu ((yakni salat) melenyapkan perbuatan buruk.” (QS Hud, 11:114).

Maka kita hendaklah menghadirkan kebaikan dan kenikmatan itu dalam hati, kemudian berdoa agar mencapai shalat seperti shalatnya orang-orang tulus dan orang-orang yang berbuat baik.

“Sesungguhnya shalat itu mencegah (manusia) dari perbuatan keji dan buruk.” (Qs Al-‘Ankabut, 29:45).

Ada memang orang yang masih melakukan keburukan meskipun mereka menjalankan shalat. Sebabnya, mereka menjalankan shalat itu tanpa semangat ketulusan. Mereka menjalankan shalat hanya karena menuruti adat kebiasaan dan sebagai pertunjukan belaka. Karenanya, Allah Ta’ala tidak menyebut shalat mereka itu sebagai kebaikan, seperti yang dimaksudkan dalam ayat di atas.

Shalat bukanlah sebutan kesopan-santunan. Inti dan ruh salat adalah doa yang di dalamnya ada kelezatan. Sesungguhnya rukun shalat adalah kesopan-santunan ruhani. Manusia harus berdiri di hadapan Allah Ta’ala dengan adab (kesantunan) sebagai hamba. Selanjutnya rukuk, menunjukkan kesiapan, yakni benar-benar tunduk untuk melaksanakan semua hukum Ilahi. Kemudian sujud dengan khuduk dan khusyuk, mengungkapkan maksud dan tujuan ibadah. Inilah tata cara yang Allah Ta’ala tetapkan sebagai peringatan.

Jasmani ditentukan agar ikut serta dengan cara ruhani. Apabila dalam cara-cara lahiriah (yang merupakan cerminan dari cara-cara batiniah) itu orang hanya meniru seperti pemain sandiwara, dan dia menganggap salat itu sebagai beban yang berat serta berusaha untuk melepaskannya, maka tidak mungkin ada kenikmatan di dalamnya.

Selama tidak ada kenikmatan dan kesenangan dalam salat, bagaimana mungkin hakekat atau esensinya akan terbukti? Hakekat salat akan menjadi kenyataan, apabila ruh menyungkur di hadapan Allah dengan penuh penyerahan dan kerendahan hati, dan apa yang lisan ucapkan ruh pun mengucapkannya. Pada waktu itulah dicapai kenikmatan, cahaya dan kedamaian.

(Hazrat Mirza Ghulam Ahmad | disarikan dari Malfuzat Ahmadiyyah, jilid 1, hlm. 28-30, oleh Yatimin AS).

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »