Esok atau lusa, insya Allah kita akan bertemu dengan hari raya yang kita nanti penuh suka cita. Hari Raya Idul Fitri. Setidak-tidaknya, kita bisa memaknai Idul Fitri melalui tiga aspek: lingual, sosial, spiritual.
Pertama, secara lingual, idul fitri artinya kembali kepada keadaan semula, kembali kepada aktivitas normal sebelum Ramadhan. Prinsipnya, perkara halal yang oleh karena memenuhi syariat dilarang selama di bulan Ramadhan, boleh kembali dilakukan sesudah memasuki Idul Fitri. Kita diperkenankan kembali makan-minum di sembarang waktu di siang hari, bergaul dengan istri/suami, dan lain sebagainya.
Dalam kaitan dengan pemaknaan secara lughawi ini, ada analogi sederhana yang dapat menggambarkan keadaan kita sebelum dan sesudah Ramadhan. Apa kita akan menjadi seperti ulat, yang sesudah memasuki kepompong Ramadhan bertransformasi menjadi kupu-kupu yang indah dan disenangi banyak orang; atau menjadi seperti ular, yang memasuki masa puasa hanya berganti kulit dan lantas semakin ganas dan beringas.
Kedua, secara sosial, idul fitri kita maknai sebagai ritus budaya, yang mewujud dalam tradisi mudik, silaturahmi, saling mengunjungi keluarga dan handai tolan, sungkeman, ziarah kubur, hingga saling berbagi makanan atau hadiah. Bahkan hingga sebulan sesudah idul fitri, tradisi reunian dibalut nuansa halal bi halal terus berlangsung.
Bangsa kita menyebut tradisi idul fitri semacam ini dengan istilah lebaran. Kita bersuka cita menyambut lebaran dengan berbagai persiapan yang tak sederhana. Jauh sebelum lebaran, kita sudah disibukkan dengan belanja ini itu. Bahkan ghalibnya, di sepuluh hari ramadhan saat seharusnya kita lebih khusyuk dalam ibadah, sebagian kita disibukkan dengan urusan beli baju baru, membikin kue-kue, belanja bahan masakan yang istimewa, mendekorasi ulang rumah, dan lain sebagainya. Sebagian lainnya sibuk dengan urusan mudik. Orang berkerumun di stasiun kereta api, di terminal, atau terjebak macet di jalan, karena berlomba cepat sampai di kampung halaman.
Tak heran, kita sering mendengar satire, bahwa di penghujung Ramadhan, shaf shalat tarawih di masjid dan mushola mengalami kemajuan. Di sepuluh hari pertama shaf shalat full dan meriah, di sepuluh hari kedua fifty-fifty, lantas di sepuluh hari terakhir tinggal tersisa satu dua baris penonton yang tersisa.
Tapi boleh jadi praktek perayaan idul fitri dalam aspek sosial budaya tahun ini akan menjadi sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, dengan adanya pandemi covid-19 yang tengah kita hadapi. Karena wabah corona, kita semua dibatasi oleh aturan social distancing, pembatasan sosial, dan protokol kesehatan, yang mengharuskan kita menahan diri untuk tidak melakukan kebiasaan-kebiasaan atau tradisi lebaran yang sudah-sudah.
Kita mungkin tidak bisa menyelenggarakan ritual shalat idul fitri seperti biasanya, tidak bisa mudik, tidak bisa saling berkunjung, tidak lagi bisa reunian dengan mantan dengan alibi halal bihalal, dan lain sebagainya.
Berbagai aturan dan peraturan sejak yang dibuat secara official melalui kebijakan pemerintah pusat dan daerah, seperti pemberlakuan PSBB di beberapa wilayah, hingga aturan-aturan sporadis atas inisiatif sendiri di tingkat RT, misalnya dengan membuat portal-portal menutupi gang-gang kampung hingga jalan-jalan desa, membuat kita tak bisa bergerak secara leluasa.
Mari kita berhusnudzan, bahwa pemerintah dari tingkat pusat hingga tingkat RT sekalipun, memberlakukan peraturan dan segala pembatasan itu, diniati semata demi kebaikan kita bersama. Kita pahami peraturan ini sebagai sikap antisifatif untuk memutus rantai penyebaran virus corona, dan dalam upaya mengurangi penyebarluasan wabah. Dalam hal ini, berlaku kaidah fiqih, dar’ul mafasid muqaddamu ‘ala jalbil mashaalih, mencegah kerusakan lebih utama ketimbang mengupayakan kemaslahatan.
Kendati bagaimana pun, kita harus berpikir positif dan mengambil hikmah dari berbagai keadaan. Kita tidak boleh gampang kecewa dan putus asa, tapi selalu berupaya mencari cara dan solusi dalam berbagai situasi.
Kalau tidak bisa mudik bulan ini, toh kita bisa mudik bulan depan, atau bersabar hingga tahun berikutnya, dengan harapan situasi kritis akibat pandemi ini sudah mulai reda. Mungkin juga kita bisa mensiasati praktek budaya silaturahmi tatap muka secara fisik diganti dengan tatap muka secara online, via telfon, whatsapp, video call, dan media sosial lainnya.
Kita hanya perlu beralih dari budaya konvensional ke budaya teranyar (the new normal) dengan memanfaatkan sarana-sarana teknologi yang ada. Ya, meskipun situasi batiniyah atau emosionalitas pertemuan offline itu boleh jadi belum bisa tergantikan oleh pertemuan-pertemuan online. Bukankah kita tidak mungkin bisa bersalaman atau berpelukan secara online?
Tapi mungkin juga memang di Idul Fitri kali ini kita tengah diajak untuk beranjak dari perayaan idul fitri yang bersifat ritual dan artifisial yang berlaku dalam dua aspek di atas, menuju perayaan idul fitri dalam aspek ketiga, yang lebih bermakna religus atau spiritual. Idul Fitri yang sejati, idul fitri yang sesungguh-sungguhnya, yang lebih personal.
Secara spiritual, hakikat hari raya Idul Fitri adalah perayaan kemenangan iman dan ilmu atas nafsu di medan jihad Ramadhan. Setelah berhasil menundukkan nafsu, kita dapat kembali ke fitrah. Kembali ke asal kejadian, seperti saat kita dilahirkan.
Kita semua terlahir tanpa beban kesalahan atau dosa apa pun. Tiap kita lahir suci tanpa noda dan dosa. Dengan demikian, memasuki Idul Fitri, kita harus kembali mensucikan diri dengan cara menebus dosa-dosa kita yang telah lalu dengan kebaikan-kebaikan, dan tidak mengulanginya lagi di masa yang akan datang.
Idul Fitri adalah momentum kemenangan kita melawan hawa nafsu kita sendiri, sehingga layak mendapatkan rahmat, barakah, dan maghfirah yg dijanjikan Allah di bulan Ramadhan. Karena itu, Idul Fitri secara spiritual juga dapat diartikan sebagai bentuk ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas kemenangan besar yang diperoleh setelah menjalankan ibadah puasa dengan segala rangkaiannya di bulan Ramadan.
Hari Raya Idul Fitri bukan ajang untuk bersorak sorai, berpesta pora dan hura-hura, atau bermewah-mewahan dan saling memamerkan keberlimpahan yang kita punya. Hari Raya adalah ajang kesyukuran atas nikmat iman dan rahmat karunia Allah Ta’ala.
“Katakanlah: Dengan karunia Allah dan rahmatNya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmatNya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS 10:58)
Laysal ‘id bi libasul jadiid, walaa kinnal ‘id bitha’aatil yaziid. Idul Fitri bukanlah ajang unjuk gigi, pamer baju baru dan perkakas baru. Idul fitri adalah soal ketaatan dan kesalehan yang bertambah, dan terus bertambah.
Karena itu Idul fitri harus menjadi momentum untuk memperbaiki diri, dan memperbaiki hubungan vertikal dengan Allah, di samping juga hubungan horizontal dengan sesama manusia. Mari kita sempurnakan hubungan dengan Allah (hablun minallah), melalui peningkatan iman dan taqwa, sebagaimana yg menjadi tujuan puasa (la ‘allaqum tattaquun), yang selama bulan Ramadhan ini kita amalkan.
Kualitas taqwa dinilai dari semakin istiqomahnya kita dalam pengabdian kepada Allah, dengan jalan menjauhi larangan dan menaati perintahNya. Dan di bulan syawal nanti kita berupaya meningkatkan kwalitas iman taqwa itu, karena hakikat syawal adalah peningkatan kualitas diri.
Idul fitri juga harus menjadi momentum memperbaiki hubungan dengan sesama manusia (hablun minnannas). Rangkaian ibadah di bulan Ramadhan, seperti puasa, zakat, sedekah, dan lain sebagainya, mengajarkan kita untuk berempati kepada sesama. Ikut menghayati penderitaan orang lain, dan membuat kita tergerak untuk sedapat mungkin mengulurkan tangan membantu atau menolong mereka yang kesusahan.
Terlebih di masa pandemi seperti sekarang ini. Kita harus semakin meningkatkan empati, sikap tenggang rasa, dan berupaya saling bahu membahu, bergotong royong membantu yang tengah berkesusahan. Mari kita bertenggang rasa dengan pemerintah, aparat, dan para petugas medis yang berjibaku dalam menangani virus corona. Bahkan kita ketahui bersama, tidak sedikit korban tenaga kesehatan yang meninggal dunia dalam menjalankan tugasnya.
Mari kita juga tengok keadaan orang-orang di sekitar kita, famili atau kerabat kita, tetangga kita, yang mungkin kehilangan pekerjaan, kehilangan mata pencaharian, di-PHK, tidak bisa berdagang atau bekerja. Atau bahkan ada angota keluarganya yang sakit bahkan meninggal tertular virus corona. Mari kita ulurkan tangan, mulai dari lingkungan terdekat kita, mungkin dari lingkaran sanak famili, kita membantu dengan apa yang kita mampu, kita menolong dengan apa yang kita bisa.
Setidak-tidaknya, dalam selemah-lemahnya iman, Kita saling mendoakan satu sama lain agar diselamatkan dari bencana, dari ganasnya wabah corona beserta dampak sosial yang menyertainya.
Melalui pemaknaan atas idul fitri yang bersifat spiritual, yang lebih sejati, semoga kita bisa meraih kesuksesan dunia akhirat, sebagaimana do’a yang biasa kita ucapkan di hari raya ‘idul fitri: minal a’idin wal faizin, mudah-mudahan kita termasuk yang kembali ke fitrah dan menjadi orang-orang yang beruntung.
Demikian pula, marilah kita berdoa, agar supaya kita semua dapat melewati ujian dan cobaan, dalam bentuk wabah corona ini. Semoga wabah ini segera berakhir, dan kita bisa kembali melaksanakan aktivitas ibadah, baik ibadah ritual (mahdlah) maupun ibadah sosial (muamalah), dengan sebaik-baiknya, lebih baik lagi dan lebih berkualitas lagi.
Dan sekali lagi, marilah kita selalu mensyukuri segala keadaan, betapa pun sulitnya keadaan itu, sebagai takdir atau ketentuan Allah yang berlaku atas kita. Karena sungguh, Allah Ta’ala berjanji bagi barangsiapa yang bersyukur, Ia akan menambahkan nikmat karunia kepadanya. Dan barangsiapa kufur, maka sungguh adzab allah itu amatlah pedih. La insyakartum la aziidan nakum wala inkafartum inna ‘adzabii lasyadiid.
Barakallaahu lii walakum.
Oleh: Asgor Ali | Ditulis ulang dari materi Khutbah Jumat di Masjid Margi Utami, Pare, 22 Mei 2020 M/28 Ramadhan 1441 H
Comment here