Artikel

Kembali Pada Gerakan Spiritual

“Kembali Pada Gerakan Spiritual” | Term of Reference Jalsah Salanah GAI | 24-26 Desember 2021

Suatu peristiwa telah terjadi di tahun dimana Nabi Suci Muhammad saw. lahir. Yakni penyerbuan Raja Abrahah ke Ka’bah, di Mekah. Peristiwa itu seakan-akan memberi isyarat tentang apa yang akan terjadi dalam masa kerasulan Muhammad saw.

Peristiwa itu seolah juga sekaligus mengisyaratkan tentang kesudahan peperangan antara materialisme, yang menjadi aspek terpenting dalam keagamaan kristen yang berbasis pada kemusyrikan (trinitas), dilambangkan oleh Pasukan Abrahah yang megah dan gagah, dan spiritualisme Islam, yang berbasis pada ketauhidan, yang diwakili oleh bangunan Ka’bah yang sederhana.

Qur’an berulang kali memberi tahu bahwa kekristenan akan terus berusaha untuk menyerang ketauhidan, bahkan terus berusaha menyeret orang-orang beriman kepada kekafiran kembali (QS 2:109, 120; 3:100; dll.). Itulah makanya beratus-ratus ayat Qur’an membahas kekristenan dalam hampir semua aspeknya, antara lain menyangkut etnis (ya’juj wa ma’juj), historis (ashabul kahfi), dan ideologis (ar-raqim).

Sejarah menjadi saksi bahwa spiritualisme Islam mampu menumbangkan arogansi materialisme, dan berjaya paling tidak selama tiga generasi permulaan. Hingga generasi itu dinyatakan oleh Nabi Suci sebagai generasi terbaik (khaira ummah, QS 3:110).

Ini adalah suatu masa yang oleh kaum Ahmadi sering disebut sebagai zaman kemenangan Islam yang pertama.

Bahwa Islam ditaqdirkan sebagai agama yang menang atas semua agama, secara eksplisit dinyatakan oleh Qur’an di tiga tempat, yakni QS 9:33; 61:9, dan 48:28. Tetapi di QS 32:5-6 diisyaratkan bahwa setelah mengalami masa kejayaan, Islam kemudian akan mengalami kemunduran dalam jangka waktu seribu tahun.

Apakah ini berarti Islam tidak lagi mampu melakukan perlawanan terhadap agresivitas materialisme yang semakin dahsyat? Tentu bukan demikian. Yang terjadi adalah justru Islam yang telah “diubah” oleh pengikutnya dari sistem nilai (nilai-nilai kebenaran fitriah [30:30]) menjadi sistem ritual yang mekanis dan formalistis. Dari agama perbuatan menjadi agama kepercayaan.

Pendek kata, Islam telah kehilangan spiritualitasnya, yang dalam redaksi Hadits Nabi dinyatakan, “iman telah terbang ke bintang Tsuraya.”

Kondisi seperti ini telah dinubuatkan oleh Nabi Suci jauh sebelum hal itu terjadi, bahwa umat beliau akan sampai kepada suatu masa dimana “Islam tinggal namanya, Qur’an tinggal tulisannya, masjid-masjid makmur tapi sunyi dari petunjuk.”

Kondisi ini pula yang menggelisahkan Nabi Suci, hingga beliau mengadukannya kepada Allah, “Ya Rabb, sesungguhnya kaumku telah memperlakukan Qur’an sebagai barang yang ditinggalkan” (QS 25:30).

Allah adalah Ar-Rahman, yang kemurahannya bagaikan matahari yang tidak pernah berhenti memancarkan cahayanya ke segala penjuru. Dengan disebutkannya bilangan seribu tahun sebagai masa kemunduran Islam dalam QS 32:5, memberi petunjuk bahwa Islam akan kembali mengalami zaman kemenangan, setelah masa “seribu tahun” itu.

Dapat dipastikan bukan Islam yang telah kehilangan spiritualitasnya, melainkan Islam  yang telah diperbarui (tajdid), oleh seseorang yang “ditunjuk” oleh Allah Ta’ala untuk mengembalikan ruh (daya hidup) Islam, dengan menggapai iman yang menggantung selama seribu tahun di bintang Tsuraya.

Dialah Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, yang kebangkitannya telah dinubuatkan oleh Nabi Suci (H.R. Tirmidzi, dan juga diisyaratkan dalam QS 62:3). Dialah yang diberi otoritas untuk melakukan reinterpretasi sejumlah persoalan keagamaan Islam, hingga mampu menjawab tuntutan keadaan dan tantangan zaman.

Bahwa Qur’an memiliki kekuatan yang dahsyat, paling tidak dinyatakan secara eksplisit di dua tempat, yakni dalam QS 13:31 dan 59:21. Dan ini pula yang menjadi senjata rahasia kemenangannya.

Kendati rintangan terus menghalang, gerakan Mujaddid Hazrat Mirza Ghulam Ahmad terus berkembang, hingga tidak terhitung orang yang sebelumnya memiliki gambaran dan pengertian buruk tentang Islam, berubah total, dan bahkan tidak sedikit yang masuk ke dalam barisan Islam.

Konsep keberagamaan yang dibangun oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad adalah “menjunjung tinggi agama melebihi dunia” yang implementasinya dirumuskan dalam 10 Janji Ahmadi.

Minhajjurrahman Djojosugito dan kawan-kawan mendirikan GAI dengan mengadopsi ide-ide pembaharuan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (dalam perspektif Ahmadiyah Lahore), pada tahun 1928. Berbagai hal yang dilakukan sebagai upaya dakwah antara lain dengan penerbitan buku-buku ke-Islaman dan mendirikan sekolah-sekolah sebagai wahana persemaian kader-kadernya.

Tetapi sayang, dalam beberapa tahun terakhir ini kedua lembaga tersebut mengalami kemunduran. Penerbitan buku hampir tidak bisa dilakukan lagi, sedangkan sekolah-sekolah yang diinisiasi berdirinya oleh GAI, yang pengelolaannya diserahkan kepada Yayasan PIRI, juga mengalami kemunduran, baik jumlah sekolah maupun jumlah siswa di tiap sekolah, khususnya di Yogyakarta.

Hampir dapat dipastikan bahwa kemunduran GAI dan lembaga amal usahanya itu bukan disebabkan karena ide-ide tajdidnya sudah tidak relevan lagi, melainkan karena telah kehilangan daya, ruh atau spirit hidupnya. Daya hidup itu, menurut QS 8:24 dan 42:52, adalah Qur’an itu sendiri.

Jadi, bukan disebabkan ide-ide pembaharuan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad tidak lagi relevan dengan tuntutan keadaan, melainkan boleh jadi karena komitmen kita terhadap ide-ide pembaharuan yang diwariskan oleh Imamuzzaman telah tergerus begitu rupa, sehingga tidak lagi memiliki daya hidup (spirit) yang kuat untuk melawan hegemoni materialisme.

Jalsah adalah forum ruhaniah, yang bukan saja menjadi ajang silaturahmi bagi warga dan simpatisan GAI, melainkan sekaligus menjadi media untuk muhasabah atau introspeksi diri, saling ingat-mengingatkan (tawashau) dalam kebaikan.

Semoga, melalui taushiah dari para tokoh GAI yang otoritatif, semoga jalsah tahun ini menjadi permulaan bagi kebangkitan GAI. Amin.[]

 

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here