ArtikelKristianologi Qurani

Hari Natal Dalam Perspektif Al-Quran

merry christmas sign

Al-Qur’an sebagai Mushaddiq dan Mufashshil serta Mubayyin terhadap kitab-kitab sebelumnya, khususnya Injil, mengoreksi penyimpangan dan kekeliruan Injil tentang natalitas dan mortalitas Isa Almasih serta kebangkitannya kembali (di hari kemudian). Al-Qur’an menjelaskan hal-hal yang samar-samar tentang natalitas dan mortalitas Isa Almasih dalam Perjanjian Baru.

Demikian Firman Allah,“Dan damai sejahtera atas aku pada hari aku dilahirkan dan pada hari aku meninggal, dan pada hari aku dibangkitkan kembali.” (QS 19:33). Ayat suci ini meski singkat, tetapi makna yang terkandung di dalamnya amat dalam.

Tanggal 25 Desember yang oleh umat Kristen awam diyakini sebagai Hari Natal Yesus Kristus (Dies Natalis Christi), oleh kaum cendekiawannya dipelintir sebagai Peringatan Natal Yesus Kristus. Saya katakan dipelintir karena hari-hari sebelum tanggal 25 Desember, mulai minggu terakhir November, tetapi disebut sebagai masa Advent, yakni masa-masa menanti kelahiran Sang Kristus.

Jadi tanggal 25 Desember benar-benar diyakini sebagai hari natal atau kelahiran Yesus Kristus yang sebenarnya adalah hari raya kaum kafir atau pagan Yunani dan Romawi (Lihat QS 9:30). Hari Pesta Dewa Sol Invectus atau Dewa Matahari yang tak terkalahkan.

Dies Natalis Christi tanggal 25 Desember Tahun 1 Masehi, bertepatan dengan berdirinya kota Roma ke-754. adalah ketetapan rahib Dionysius Exigius, seorang pendeta ahli astronomi bangsa Scythian, pada tahun 525 Masehi, 45 tahun sebelum Nabi Muhammad saw. dilahirkan.

Penetapan itu ternyata salah besar, baik tanggal maupun tahunnya. Yesus dilahirkan pasti bukan pada tanggal 25 Desember, sebab tanggal itu adalah permulaan musim dingin (winter) untuk daerah Yudea yang terletak pada garis 330 lintang utara.

Menurut Lukas, pada waktu Yesus dilahirkan, para penggembala sedang menjaga kawanan dombanya di Padang Effrata, di luar kota Betlehem. Lantas mereka itu kedatangan Malaikat yang mewartakan kelahiran Mesias. Matius juga menulis tentang kelahiran Yesus. Menurut dia, pada saat Yesus dilahirkan, orang-orang Majusi ahli bintang melihat Bintang Betlehem.

Keadaan semacam ini tak mungkin terjadi pada tanggal 25 Desember, karena curah hujan di daerah itu sangat tinggi. Paling cepat keadaan semacam itu terjadi pada awal bulan Mei sampai paling lambat sebelum musim gugur (autumn), bulan Oktober.

Gambaran Lukas dan Matius di atas justru selaras dengan isyarat Al-Qur’an: “Lalu mengandunglah dia dan ia menyingkir dengan dia ke tempat yang jauh. Lalu rasa sakit karena akan melahirkan menggerakkan dia menuju batang kurma. Ia berkata: “Aduhai, sekiranya aku mati sebelum ini, dan jadilah aku barang yang dilupakan sama sekali”, maka suara memanggil-manggil dia dari arah bawah, “Janganlah merasa susah, sesungguhnya Tuhan dikau telah menyiapkan air yang mengalir di bawah engkau. Dan goyangkanlah batang kurma ke arah engkau, itu akan menjatuhkan buah kurma segar-segar yang sudah masak di hadapan dikau, lalu makanlah dan minumlah dan sejukkanlah matamu.” (19:22-26)

Ayat suci di atas sarat dengan muatan teologis, maka tak menyebut kapan tanggal dilahirkan Isa Almasih dan di mana beliau dilahirkan ibunya. Tetapi meski sambil lalu, ada petunjuk yang terang bahwa beliau dilahirkan di musim kurma. Sehingga, kurma segar yang masak meranum itu disebut sebagai makanan Maryam setelah melahirkan di tengah perjalanannya yang jauh itu.

Di dalam ayat itu dinyatakan pula bahwa Maryam merasa sakit tatkala melahirkan, sampai-sampai ia berputus asa, yang segera mendapat kabar baik dari malaikat. Ini tentu bukan sekedar riwayat mengenai peristiwa alamiah persalinan Maryam saja, tetapi juga mengandung arti teologis. Ayat ini secara tersirat mengecam dogma kristen tentang dosa waris dan penebusan dosa.

Menurut dogma Gereja, sakit tatkala melahirkan adalah upah dosa yang diwariskan oleh Adam dan Hawa (Kejadian 3:16). Dogma ini salah besar, sama kelirunya dengan dogma Ketuhanan Yesus. Maka dari itu keyakinan Kristen tentang adanya jaminan pasti masuk surga oleh Al-Qur’an disebut sebagai amânîy, artinya lamunan atau angan-angan kosong (2:111), karena landasannya adalah dogma-dogma yang paganistik. Demikian pula dengan dosa waris yang penebusannya lewat kepercayaan kematian Yesus disalib.

Sehingga, ucapan Isa Almasih “wassalâmu alaiyya yauma wulidtu wa yauma amûtu wa yauma ub’atsu hayya” dalam QS 19:33 di atas itu merupakan bantahan halus, tapi tajam bagai sembilu, terhadap teologi Kristen dan Yahudi, yang menyimpang dari kebenaran. Sebab, Yahudi juga melemparkan tuduhan keji terhadap Isa Almasih, baik mengenai natalnya maupun kematiannya dan kebangkitannya kembali (4:156-159).

Natal Sebagai Tradisi

Di atas adalah tinjauan ayat Natal Isa Almasih dari aspek akidah atau teologi. Lalu tinjauan dari aspek syariatnya bagaimana?

Berkenaan dengan Natal dan Peringatannya atau apapun yang terkait dengannya dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, yang bersifat ritual yang tak terpisahkan dengan akidah dan teologi Kristiani yang paganistik. Dalam perkara ini, umat Islam diharamkan untuk mengikutinya, karena tak ada perintah, baik dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Jadi umat Islam diharamkan untuk mengikuti ritual Natal, kalau ada atau diselenggarakan.

Kedua, yang bersifat kultural, yang menyangkut masalah sosial dan humanitas, umat Islam diperbolehkan atau diizinkan untuk berpartisipasi, karena tiada larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Misalnya menghadiri peringatan Natal yang diselenggarakan oleh umat Kristiani, atau mungkin diselenggarakan oleh umat Islam sendiri sebagai manifestasi imannya terhadap Isa Almasih.

Demikian pula mengucapkan Selamat Natal tak ada larangan, meski akidah umat Kristen berbeda, bahkan bertentangan dengan akidah umat Islam. Jika menghadiri Peringatan Natal itu sebagai ritual atau ibadah adalah haram, demikian pula mengucapkan Selamat Natal. Tetapi jika hal itu hanya sebagai kultural yang tak ada kaitannya dengan akidah boleh-boleh saja, tidak diharamkan.

Kalau harus dilandasi akidah, sudah barang tentu berdasar akidah kita sendiri, yakni akidah Islam yang notabene bertentangan dengan Kristen. Jadi, jika di antara kita mengucapkan Selamat Natal kepada saudara kita umat Kristiani tak berarti kita sependapat dengan akidah mereka.

Banyak kata atau istilah yang sama antara Islam dan Kristen, tetapi secara konseptual berbeda, misalnya iman, Taurat, Injil, dan sebagainya. Umat Islam perlu tahu konsep mereka, agar dapat berkomunikasi dan berinteraksi sosial dengan mereka, lalu dengan yang sebaik-baiknya dapat menjelaskan yang samar dan meluruskan yang bengkok serta membetulkan (mengoreksi) yang salah dalam agama mereka, mengingat fungsi Al-Qur’an terhadap kitab suci sebelumnya adalah sebagai Mushaddiq dan Mubayyin.

Jika mengucapkan “Selamat Natal” dianggap membahayakan akidah umat Islam, sebenarnya ada yang lebih berbahaya lagi, yaitu ucapan salam yang dikaitkan dengan matahari: selamat pagi, selamat siang, selamat malam dan sebagainya.

Apa dan di mana keberbahayaannya? Kita harus tahu ajaran Kitab Suci umat Kristen tentang salam dan sejarah pembudayaannya.

Dalam kitab Nabi Yesaya ada ayat yang menubuatkan salam sebagai berikut:

“Sebab beginilah firman Tuhan: Kamu dijual tanpa pembayaran, maka kamu akan ditebus tanpa pembayaran juga. Sebab beginilah firman Tuhan Allah: Dahulu umat-Ku berangkat ke Mesari untuk tinggal di situ sebagai orang asing, lalu Asyur memeras dia tanpa alasan. Tetapi sekarang, apalagi urusan-Ku di sini? Demikianlah firman Tuhan: Umat-Ku sudah dirampas begitu saja. Mereka yang berkuasa atas dia memegahkan diri, demikianlah firman TUHAN, dan nama-Ku terus dihujat sepanjang hari.” (Yes 52:3-5)

Nubuat di atas terpenuhi pada permulaan abad keempat Masehi. Setelah Konstantin Agung berhasil menetapkan dogma Trinitas Konsili Nicea (325 M) lalu memerintahkan agar agama Kristen dibersihkan dari unsur-unsur Yahudi yang telah dipropagandakan Romawi sejak tahun 70 Masehi.

Yang dieliminasi antara lain Sabbat, hari yang dikuduskan hari Sabtu diganti hari Ahad yang telah dirayakan oleh kaum Paganis Yunani dan Romawi dan ucapan salam, dari salam atau assalamu’alaikum diganti dengan salam paganis yang terkait dengan matahari: jika waktu pagi selamat pagi, jika waktu siang selamat siang, dan seterusnya. Inilah yang dimaksud menghujat Allah sepanjang hari. “Nama-Ku terus dihujat sepanjang hari” (ayat 5).

Penghujatan itu hanya berlangsung untuk sementara waktu saja karena kedatangan pembawa berita, yang mengabarkan berita damai (assalam). Pembawa berita ini adalah umat Islam yang senantiasa memperdengarkan as-salam kepada siapa saja. Yesaya bernubuat:

“Betapa indahnya kelihatan dari puncak bukit-bukit kedatangan pembawa berita, yang mengabarkan damai (assalam) dan memberitakan kabar baik, yang mengabarkan berita selamat (assalam).” (Yes 52:7)

Salam Islam yang selengkapnya bunyinya sebagai berikut: “assalâmu’alaikum warahma-tullâhi wabarakâtuh”. Oleh karena itu Allah menyatakan, “waidzâ huyyityum bitahiyyatin fahayyû bi-ahsana minka auruddûha”, dan jika kamu diberi hormat dengan suatu penghormatan, maka balaslah dengan penghormatan yang lebih baik daripada itu atau yang sepadan dengan itu”. (4:86).

Atas dasar ayat ini, jika seorang Muslim menerima salam “Assalâmu’alaikum”, jawabannya “Wa’alaikumus-salâm warahmatullâhi wabarakâtuh”, atau setidak-tidaknya “Wa’alaikumussalâm” saja. Ucapan salam demikianlah yang membahana di Yerusalem dan sekitarnya sejak tahun 636 Masehi menggantikan salam paganistik selamat pagi, selamat siang, dan sebagainya.

Nah, dengan demikian persoalannya menjadi jelas, jika kita mengucapkan salam “Selamat Pagi” atau “Selamat malam” atas dasar Kitab Bibel, tepatnya Kitab Suci Yesaya 52:5, berarti menghujat Allah sepanjang hari.

Menghujat Allah adalah dosa besar, maka diharamkan. Tetapi jika kita mengucapkan salam paganistik itu tanpa didasari Kitab Suci, hanya sekedar budaya semata, boleh-boleh saja, tidak haram, dan ini yang kita lakukan selama ini.

Perbedaan akidah yang sering menjadi sumber perpecahan atau sebagai racun yang membahayakan keharmonisan hubungan dan interaksi sosial, sebenarnya justeru sebaliknya merupakan obat mujarab bagi penyakit tafarruq dan ikhtilaf. Lawan akidah adalah kawan dialog, dan lawan pendapat adalah kawan berfikir. Dialog dan berfikir yang melahirkan thâ’atun ma’rûfatun (24:53).

Ketaatan kepada apa yang benar atau ketaatan yang pantas, yakni ketaatan yang dibenarkan oleh akal dan hukum adalah ruh masyarakat madani yang kita cita-citakan bersama. Inilah rahasianya, mengapa Rasulullah saw. bersabda bahwa ikhtilâfi ummatî rahmat, perbedaan di antara umatku adalah rahmat. Pandangan dan sikap inilah yang melahirkan akhlaqul-karimah, sebagaimana dicontohkan oleh Isa Almasih a.s.[]

Oleh: Simon Ali Yasir

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »