ArtikelIslamologi

Bukti-bukti Sayyidah Aisyah Berusia 19 Tahun saat dinikahi oleh Nabi Muhammad saw

Kitab-kitab hadis telah menegaskan bahwa ketika Sayyidah ‘Aisyah (ra) memasuki rumah Rasulullah ? sebagai pengantin, usianya adalah sembilan tahun dan bahwa akad nikah (nikah) telah dilangsungkan pada tahun kesepuluh kenabian (4 tahun sebelum Hijrah (SH)) ketika usianya enam tahun. Maka, jika riwayat ini benar-benar sahih, bagaimana mungkin seorang Muslim meragukan validitas atau hikmahnya?

Namun, jika kita mempertimbangkan persoalan ini dengan mengkaji berbagai riwayat, maka gambaran yang berbeda akan muncul, dan kebenaran akan terlihat bahwa ketika Sayyidah ‘Aisyah (ra) masuk ke rumah Rasulullah ? sebagai istri, usianya tidak kurang dari sembilan belas atau dua puluh tahun.

Sebelum membantah keyakinan keliru bahwa beliau berusia enam tahun saat menikah, kita akan melihat pandangan dua ahli sejarah modern ternama agar kedua sisi argumen dapat disajikan. Mereka adalah Sayyid Sulaiman Nadwi dan Sayyid Abul A‘la Maududi, dua ulama besar yang diakui keilmuannya secara luas.

  1. Sayyid Sulaiman Nadwi, dalam karya ilmiahnya The Life of ‘A’ishah (ra) menulis:

“Kitab-kitab sejarah dan biografi tidak menyebutkan secara pasti tanggal kelahiran Sayyidah Aisyah (ra). Ibnu Sa‘d menulis, dan banyak ulama mengikuti pendapatnya, bahwa Sayyidah ‘Aisyah (ra) lahir pada awal tahun keempat kenabian (10 SH) dan menikah pada tahun kesepuluh kenabian (4 SH) saat usianya enam tahun. Namun hal ini tidak bisa benar, karena jika beliau lahir di awal tahun keempat kenabian, maka pada tahun kesepuluh beliau seharusnya berusia tujuh tahun, bukan enam. Faktanya, ada beberapa hal yang diterima secara luas dan logis, yaitu bahwa tiga tahun sebelum hijrah, pada usia enam tahun beliau menikah; lalu pada bulan Syawwal tahun pertama Hijriyah (622 M), ketika beliau berusia sembilan tahun, pernikahan tersebut disempurnakan (rukhsati), dan ketika beliau berusia delapan belas tahun, yakni pada bulan Rabi‘ul Awwal tahun kesebelas Hijriyah, beliau menjadi janda.

Maka, tanggal kelahiran beliau yang sebenarnya kemungkinan besar adalah pada akhir tahun kelima kenabian, atau dalam istilah lain, bulan Syawwal tahun kesembilan sebelum Hijrah, yaitu tahun 614 Masehi.

Untuk memahami peristiwa-peristiwa sejarah selanjutnya, kita harus mengetahui bahwa dari 23 tahun masa kenabian, sekitar 13 tahun dihabiskan di Makkah dan 10 tahun di Madinah. Ketika Sayyidah ‘Aisyah (ra) lahir, empat tahun masa kenabian telah berlalu dan tahun kelima sedang berjalan. (10-9 SH)”

  1. Maulana Maududi menulis di majalah Tarjumanul Qur’an edisi September 1974 (hlm. 20) di bawah subjudul “Tanggal Pernikahan Sayyidah Aisyah (ra)”:

“Dari Imam Ahmad, Thabrani, dan Ibnu Jarir ath-Thabari serta riwayat panjang dari al-Baihaqi, jelas bahwa pernikahan Sayyidah Aisyah terjadi sebelum Sayyidah Saudah, yakni tiga tahun sebelum Hijrah, pada bulan Syawwal tahun kesepuluh kenabian (4 SH), ketika Rasulullah ? melakukan akad nikah dengan beliau. Saat itu, usianya enam tahun. Maka muncul pertanyaan: jika beliau berusia enam tahun pada Syawwal tahun kesepuluh kenabian (4 SH), maka saat Hijrah, seharusnya usianya sembilan tahun. Dan menurut banyak riwayat sahih, ketika beliau diboyong ke rumah Rasulullah ? pada Syawwal tahun kedua Hijriyah usianya seharusnya sebelas tahun — padahal semua riwayat sepakat bahwa nikah dilakukan saat beliau enam tahun dan rukhsati saat usia sembilan tahun.

Menjawab kontradiksi ini, banyak ulama menyatakan bahwa rukhsati terjadi tujuh bulan setelah Hijrah, dan ini juga menjadi pendapat Hafiz Ibnu Hajar. Namun, Imam Nawawi dalam Tahdzibul Asma’ wal Lughât, Hafiz Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah, dan Allamah Qastalani dalam Mawahib al-Ladunniyyah menyatakan dengan tegas bahwa rukhsati terjadi pada tahun kedua Hijriyah, Hafiz Badruddin al-‘Aini dalam Umdatul Qari juga menulis bahwa rukhsati terjadi setelah Rasulullah ? kembali dari Perang Badar. (Tahun ke 2 H)

Imam Nawawi dan Allamah ‘Aini menyebut pendapat bahwa rukhsati terjadi tujuh bulan setelah Hijrah sebagai pendapat yang lemah dan tidak dapat diandalkan.

Dari sini, muncul pertanyaan logis kedua: jika rukhsati terjadi pada tahun kedua Hijriyah, bagaimana dengan keabsahan riwayat bahwa Sayyidah Aisyah (ra) menikah pada usia enam tahun dan disempurnakan pada usia sembilan tahun? Jawaban dari pertanyaan ini terdapat dalam hadis riwayat Sahih al-Bukhari dari ‘Urwah bin Zubair yang menyatakan bahwa tiga tahun sebelum Hijrah, Sayyidah Khadijah (ra) wafat, dan setelah selang waktu sekitar dua tahun, Rasulullah ? menikahi Sayyidah Aisyah (ra). Kemudian, ketika beliau berusia sembilan tahun, pernikahan tersebut disempurnakan. Maka, jelas bahwa pernikahan terjadi pada usia enam tahun, sekitar satu tahun sebelum Hijrah, dan rukhsati terjadi pada tahun kedua Hijriyah.”

Kedua ulama besar ini sepakat bahwa Sayyidah Aisyah (ra) menikah pada usia enam tahun. Menurut Sayyid Sulaiman, beliau lahir pada tahun kelima kenabian (9 SH), menikah pada tahun kesepuluh (4 SH), dan rukhsati pada Syawwal tahun pertama Hijriyah. Sementara menurut perhitungan Sayyid Maududi, beliau lahir pada tahun keenam kenabian (8 SH) menikah pada tahun kedua belas (2 SH), dan rukhsati pada Syawwal tahun kedua Hijriyah

Sejauh yang saya ketahui, orang pertama yang menyuarakan penolakan terhadap riwayat bahwa Sayyidah Aisyah (ra) menikah di usia enam tahun adalah Maulana Muhammad Ali dari Lahore, dalam bukunya yang berbahasa Inggris Muhammad the Prophet (1924). Di bawah subjudul “Usia Aisyah”, ia menyampaikan pandangannya sebagai berikut:

Usia Aisyah

Kesalahpahaman umum tentang usia Sayyidah Aisyah perlu diluruskan. Bahwa beliau belum mencapai usia baligh memang benar, tetapi bahwa beliau baru berusia enam tahun juga tidak tepat. Pertama, jelas bahwa beliau sudah berada pada usia di mana pertunangan dapat dilakukan secara umum, yang berarti beliau mendekati usia baligh.

Selain itu, dalam kitab al-Ishabah disebutkan bahwa Fatimah, putri Nabi, lebih tua sekitar lima tahun dari Sayyidah Aisyah. Dan diketahui secara pasti bahwa Fatimah lahir saat Ka‘bah sedang dibangun kembali, yakni lima tahun sebelum kenabian (17 SH). Maka, Sayyidah Aisyah (ra) lahir pada awal kenabian atau sedikit sebelumnya, dan tidak mungkin beliau berusia kurang dari sepuluh tahun saat menikah dengan Nabi ? pada tahun kesepuluh kenabian.(4 SH)

Kesimpulan ini dikuatkan oleh kesaksian Sayyidah Aisyah sendiri, yang mengatakan bahwa saat Surah Al-Qamar (surah ke-54) diturunkan, beliau masih gadis kecil yang sedang bermain, dan beliau mengingat ayat-ayat yang diturunkan saat itu. Karena Surah ke-54 itu tidak mungkin diturunkan setelah tahun kelima kenabian (9 SH), maka tidak masuk akal jika beliau baru berusia enam tahun saat menikah pada tahun kesepuluh kenabian (4 SH) , sebab itu berarti beliau baru lahir pada saat surah itu diturunkan.

Semua pertimbangan ini menunjukkan bahwa beliau tidak mungkin berusia kurang dari sepuluh tahun saat menikah. Dan karena jeda antara akad dan rukhsati tidak kurang dari lima tahun — karena rukhsati terjadi pada tahun kedua Hijriyah — maka beliau tidak mungkin berusia kurang dari lima belas tahun saat itu.

Riwayat populer yang menyebut usia enam tahun saat nikah dan sembilan tahun saat rukhsati jelas tidak tepat, karena mengandaikan jarak antara akad dan rukhsati hanya tiga tahun, padahal secara historis itu tidak akurat” (hlm. 183–184).

Maulana juga mengungkapkan pandangan serupa tentang usia Sayyidah Aisyah dalam bukunya Prophet of Islam, terjemahannya atas Al-Qur’an dalam bahasa Urdu Bayanul Qur’an, terjemah dan komentarnya atas Sahih al-Bukhari berjudul Fazlul Bari, serta buku terkenalnya dalam bahasa Inggris Living Thoughts of Prophet Muhammad.

Menanggapi kritik Maulana Muhammad Ali ini, Sayyid Sulaiman Nadwi dalam edisi ketiga bukunya The Life of ‘A’ishah menulis:

“Beberapa orang yang tidak jujur, yang menganggap pernikahan Sayyidah Aisyah di masa kanak-kanak sebagai sesuatu yang tidak pantas, telah mencoba untuk menyatakan bahwa beliau tidak menikah pada usia enam tahun, tetapi enam belas. Namun semua upaya ini tidak berdasar dan klaim mereka tidak memiliki pijakan. Tidak ada satu pun kitab hadis atau sejarah yang mendukung teori mereka.”

Mencari Kebenaran

Berdasarkan tulisan dari tiga ulama besar ini, dapat disimpulkan bahwa tidak ada yang mengetahui secara pasti sejarah kelahiran Sayyidah ‘Aisyah (ra). Bahkan mengenai tahun kelahirannya pun terdapat perbedaan pendapat, tidak ada kesepakatan mengenai tahun pernikahannya, dan masih terdapat keraguan tentang waktu terjadinya pernikahan secara lengkap (rukhsah/berumah tangga). Oleh karena itu, masih terbuka ruang untuk menelaah penjelasan dari ketiga ulama ini dan membuka tabir yang menyembunyikan kebenaran.

 

Bukti Sejarah

Pertama-tama, penting untuk memperhatikan apa yang ditulis oleh Sayyid Sulaiman Nadwi mengenai alasan mengapa Rasulullah ? menikahi Sayyidah ‘Aisyah (ra). Dalam bukunya Life of ‘A’ishah (hal. 24), ia menulis:

“Setelah wafatnya istri tercinta beliau, Sayyidah Khadijah (ra), yang menjadi penghibur hati beliau, Rasulullah ? mengalami masa kesedihan yang dalam. Rasa sepi yang sangat ini menjadikan hidup beliau sangat sulit, dan para sahabat yang mencintai beliau merasa sangat prihatin. Pada tahun kedua Hijriyah, salah seorang sahabat Rasulullah ? yang terkenal adalah Utsman bin Maz‘un. Istrinya, Khawlah binti Hakim, mendatangi Rasulullah ? dan menyarankan agar beliau menikah lagi. Rasulullah ? bertanya, ‘Dengan siapa?’ Khawlah menjelaskan bahwa ada beberapa janda maupun gadis muda, dan terserah Rasulullah ? untuk memilih. Beliau bertanya, ‘Siapa saja mereka?’ Khawlah menjawab bahwa ada Saudah binti Zam‘ah dan seorang gadis muda, ‘Aisyah, putri dari Abu Bakar ash-Shiddiq (ra). Rasulullah ? berkata, ‘Sebaiknya engkau berbicara kepada keluarganya mengenai hal ini.'”

Menurut Sayyid Sulaiman Nadwi, alasan utama Rasulullah ? menikah lagi adalah karena duka mendalam atas kepergian Sayyidah Khadijah (ra) dan kesendirian yang beliau alami. Namun ada dua alasan tambahan lainnya: pertama, meningkatnya beban tugas rumah tangga menjadi penghalang dalam menjalankan misi kenabian. Selain itu, di rumah terdapat dua anak perempuan, yaitu Sayyidah Fatimah dan Sayyidah Ummu Kultsum, yang memerlukan perhatian dan pengasuhan. Keadaan ini membutuhkan seorang istri yang cerdas, dewasa, dan bijaksana, serta terampil dalam urusan rumah tangga untuk menjadi pendamping seumur hidup. Bukan seorang anak perempuan berusia enam tahun yang belum mampu mengelola rumah tangga.

Seorang anak berusia enam tahun tidak akan mampu menjadi penghibur hati Nabi ?, mengatur rumah tangga, dan mengasuh anak-anak perempuan tersebut. Sebaliknya, karena masih muda dan belum matang, ia malah bisa menjadi beban tambahan. Dalam kondisi demikian, tidak mungkin Rasulullah ? mempertimbangkan untuk menikah dengan seorang anak kecil. Demikian pula, tidak mungkin seorang wanita yang berpengalaman dan bijaksana seperti Khawlah mengusulkan hal semacam itu kepada beliau.

Kita juga harus mencatat bahwa ketika Khawlah mengusulkan agar Rasulullah ? menikahi Sayyidah ‘Aisyah (ra), tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau menolak karena ‘Aisyah (ra) masih terlalu muda. Sebaliknya, beliau menerima usulan itu tanpa ragu. Hal ini menunjukkan bahwa Sayyidah ‘Aisyah (ra) telah mencapai usia matang dan dianggap oleh Rasulullah ? mampu mengurus rumah tangga beliau. Demikian juga, ketika Khawlah menyampaikan niat itu kepada Abu Bakar (ra), beliau tidak menolak dengan alasan ‘Aisyah (ra) masih terlalu muda untuk menikah. Bahkan, sebelumnya ‘Aisyah (ra) sudah dilamar oleh anak Jabir bin Mut‘im. Setelah menerima lamaran dari Rasulullah ?, Abu Bakar membatalkan lamaran sebelumnya dan menikahkan putrinya dengan Nabi ?.

Apakah semua ini mungkin terjadi jika ‘Aisyah (ra) masih berusia enam tahun dan masih bermain dengan boneka? Ataukah ia sebenarnya sudah menjadi gadis yang matang dan cerdas?

Bukti dari Sumber Sejarah

1. Ibnu Jarir ath-Thabari

Sejarawan terkenal masa awal Islam menulis dalam Tarikh al-Umam wal Muluk:

“Pada masa Jahiliyah, Abu Bakar (ra) menikahi dua perempuan: Fatilah binti Abdul Uzza, yang melahirkan Abdullah dan Asma, lalu Ummu Ruman, yang melahirkan Abdurrahman dan ‘Aisyah. Semua anak ini lahir sebelum Islam datang.”

Abu Bakar (ra) menikahi Ummu Ruman pada usia 28 tahun. Rasulullah ? dua tahun lebih tua dari beliau. Jika Abdurrahman dan ‘Aisyah lahir pada empat atau lima tahun pertama pernikahan mereka, maka ‘Aisyah lahir lima atau enam tahun sebelum bi’tsah (kenabian) saat Nabi berusia sekitar 34 atau 35 tahun. Abdurrahman ikut dalam Perang Badar di pihak musyrikin. Jika saat itu ia berusia 21 atau 22 tahun, berarti ia lahir sembilan atau sepuluh tahun sebelum bi’tsah (13 SH). Jika ‘Aisyah tiga atau empat tahun lebih muda darinya, maka ia pun lahir sekitar lima atau enam tahun sebelum bi’tsah (13 SH)

2. Al-Hafizh Ibnu Katsir

Dalam Al-Bidayah wa an-Nihayah, Ibnu Katsir menulis:

“Asma (ra) wafat pada tahun 73 H dalam usia 100 tahun. Ia 10 tahun lebih tua dari ‘Aisyah (ra).”

Jika Asma berusia 100 tahun pada tahun 73 H, maka saat hijrah ia berusia 27 atau 28 tahun. Maka ‘Aisyah berusia 17 atau 18 tahun pada saat itu. Kurangi 13 tahun masa dakwah di Makkah, maka saat bi’tsah (13 SH), ‘Aisyah berusia 4 atau 5 tahun. Artinya, pada tahun kedua Hijriyah (saat pernikahan dengan Nabi ?), usianya sekitar 18 atau 19 tahun.

3. Riwayat dari Mishkat al-Masabih

Syekh Waliuddin, penyusun kitab Mishkat al-Masabih, dalam Akmal fi Asma’ir Rijal menulis bahwa usia Sayyidah ‘Aisyah (ra) saat rukhsah tidak kurang dari 18 atau 19 tahun. Pendapat ini sejalan dengan Ibnu Katsir.

4. Pandangan Sayyid Sulaiman Nadwi

Dalam bukunya Life of ‘A’ishah, Sayyid Nadwi sendiri menuliskan:

  1. “Bagian akhir dari kekhilafahan Amir Mu’awiyah bertepatan dengan bagian akhir kehidupan Sayyidah ‘Aisyah, saat ia berusia 67 tahun.” (hal. 153)
  2. “Sayyidah ‘Aisyah (ra) hidup sebagai janda selama 40 tahun.” (hal. 111)

Jika beliau wafat pada usia 67 tahun dan menjadi janda sejak Rasulullah ? wafat (40 tahun sebelumnya), maka usia beliau saat wafatnya Nabi ? adalah 27 tahun. Kenabian berlangsung selama 23 tahun. Kurangi 23 dari 27, maka saat bi’tsah, ‘Aisyah berusia 4 tahun. Ini berarti ia lahir saat Rasulullah ? berusia 36 tahun. Fakta bahwa ia dinikahi sebelum Sayyidah Fatimah (ra) juga menunjukkan bahwa ‘Aisyah lebih tua dari Fatimah (ra), yang lahir saat renovasi Ka’bah, ketika usia Nabi ? sekitar 35 tahun (18 SH)

Renungkanlah dengan saksama, dan dalam terang bukti-bukti ini, tanyakan pada dirimu sejauh mana engkau dapat menaruh kepercayaan dan keyakinan pada klaim Sayyid Sulaiman Nadwi dan Sayyid Abul A‘la Maududi. Selanjutnya, jika umat Islam menerima bahwa Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha telah menikah dan menjalani hubungan suami istri dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat usianya sembilan tahun, bukan delapan belas atau sembilan belas tahun, maka bayangkanlah betapa besar keberatan yang akan diarahkan terhadap agama Islam, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan kehidupan Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Kesaksian dari Riwayat

Para pembaca telah melihat bukti-bukti sejarah. Sekarang marilah kita fokus pada perkataan Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, kedalaman ilmunya, dan peristiwa-peristiwa dalam hidupnya. Namun sebelum itu, mari kita simak kutipan berikut dari almarhum Sayyid Sulaiman Nadwi. Beliau menulis:

“Secara umum, pada setiap zaman, anak-anak berusia tujuh atau delapan tahun tidak memiliki banyak pemahaman tentang urusan sosial dan belum mampu memahami secara mendalam suatu persoalan. Namun, Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dapat mengingat setiap kata dari masa kecilnya, menyampaikannya kembali, bahkan lebih dari itu, mampu menyimpulkan hukum dan prinsip dari kejadian-kejadian tersebut. Ia biasa menceritakan alasan di balik berbagai peristiwa yang dialaminya di masa kecil. Bahkan, jika saat sedang bermain ia mendengar ayat Al-Qur’an dibacakan, ia akan mengingatnya juga. Sebagai bukti, beliau mengatakan bahwa ketika ayat dalam surat Al-Qamar (54:46) diturunkan di Makkah, beliau sedang bermain. Saat peristiwa Hijrah, usianya tujuh atau delapan tahun. Namun, meski masih sangat muda, kesadaran dan daya ingatnya begitu tajam sehingga ia mengingat tidak hanya peristiwa Hijrah, melainkan setiap rinciannya. Bahkan, tak ada sahabat lain yang mengingat peristiwa Hijrah secara rinci dan runtut seperti beliau.” (hal. 23)

Tidak diragukan bahwa Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha adalah seorang wanita yang sangat cerdas, bijaksana, dan memiliki pemahaman mendalam. Namun, sesuai dengan hukum alam, pada usia tujuh atau delapan tahun, ia tetaplah seperti anak-anak lain seusianya. Bahkan, dengan menjadikan usia muda Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha sebagai dasar dan titik tolak penelitiannya, Sayyid Sulaiman Nadwi menarik beberapa kesimpulan. Padahal, dari peristiwa-peristiwa dalam kehidupan Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, tampak jelas bahwa beliau bukanlah anak kecil, melainkan seperti anak-anak sebayanya di zaman itu. Seperti halnya perbedaan tingkat kecerdasan antara anak-anak yang seusia dalam setiap generasi, demikian pula halnya dengan Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang berbeda dari anak-anak lain seusianya. Namun, tidak benar jika dikatakan bahwa anak usia empat atau lima tahun memiliki pemahaman setara dengan anak usia sembilan atau sepuluh tahun.

Surah Al-Qamar dan Usia Sayyidah ‘Aisyah

Menurut pernyataan Sayyid Sulaiman Nadwi, terdapat sebuah riwayat dari Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dalam Kitab Tafsir. Riwayat tersebut menyatakan: “Aku masih seorang gadis ketika ayat berikut dari Surah Al-Qamar diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Makkah. (‘Hari Kiamat telah dekat, dan bulan pun terbelah’ – QS. Al-Qamar: 1).”

Pertama-tama, dalam hadis tersebut, Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menyebut dirinya sebagai seorang “gadis” ketika ayat itu diturunkan. Penyebutan dirinya sebagai “gadis” tidak bisa dikatakan sebagai seorang anak kecil. Selain itu, semua mufassir Al-Qur’an sepakat bahwa Surah Al-Qamar diturunkan lima tahun setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menerima wahyu pertama. Pada masa itu, Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha masih bermain bersama anak-anak perempuan lainnya. Ia juga mengetahui bahwa saat itu, ayat-ayat tersebut diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam oleh Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Dan sebagaimana ditulis oleh Sayyid Sulaiman Nadwi, “Hingga usia tujuh atau delapan tahun, anak-anak belum sepenuhnya menyadari suatu persoalan,” maka harus kita akui juga bahwa saat itu Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berusia sembilan atau sepuluh tahun, dan beliau lahir empat atau lima tahun sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menerima wahyu. (13 SH)

Jika Sayyid Sulaiman menerima bahwa Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha lahir pada akhir tahun kelima kenabian (hal. 21), atau jika ia percaya bahwa beliau lahir di akhir tahun keempat kenabian dan tahun kelima sedang berjalan (hal. 21), maka harus diterima pula bahwa saat Surah Al-Qamar diturunkan (tahun kelima kenabian/10 SH), usia Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha paling tua hanya beberapa bulan. Maka, baik riwayat dalam Shahih Bukhari tentang turunnya Surah Al-Qamar yang dikaitkan dengan Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tidak tepat, atau kelahiran Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha sebenarnya terjadi empat atau lima tahun sebelum kenabian (17-18 SH).

Pertentangan Dua Riwayat Bukhari

Akhirnya, bagaimana kita dapat menyelaraskan pandangan Sayyid Sulaiman Nadwi, Sayyid Abul A‘la Maududi, dan mereka yang sepaham dengan dua riwayat dari Shahih al-Bukhari ini?

  1. Pada tahun kelima kenabian, Surah Al-Qamar diturunkan, dan Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha saat itu sedang bermain dengan anak-anak perempuan lainnya, dan ayat, “Hari Kiamat telah dekat, dan bulan pun terbelah” diturunkan (Bukhari: Kitab Tafsir, Surah Al-Qamar).
  2. Sayyidah Khadijah radhiyallahu ‘anha wafat pada bulan Ramadhan di tahun kesepuluh kenabian, yakni tiga tahun sebelum Hijrah ke Madinah, dan satu bulan setelah Hijrah, tepatnya bulan Syawwal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha (riwayat dari ‘Urwah, dalam Shahih Bukhari).

 

Maka, jika pernikahan terjadi saat usia Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha enam tahun, maka menurut penelitian Maulana Abul A‘la Maududi, seharusnya beliau bahkan belum lahir. Sebab, menurutnya, Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha baru lahir satu tahun setelah turunnya Surah Al-Qamar.

Dengan adanya dua riwayat dari Shahih Bukhari ini—bahwa Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menikah dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di usia enam tahun pada tahun kesepuluh kenabian (4 SH), dan bahwa beliau lahir di tahun kelima kenabian (9 SH)—sementara pada saat itu beliau juga dikisahkan sedang bermain dan mendengar ayat-ayat Surah Al-Qamar yang diturunkan, bagaimana mungkin semua ini bisa cocok secara kronologis?

Bukti Inferensial dari Berbagai Peristiwa

Telah diterima secara umum bahwa berbagai rincian mengenai kondisi kehidupan di Makkah serta situasi seputar peristiwa Isra’ Mi’raj dan Hijrah yang disampaikan oleh Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tidak ditemukan dalam riwayat para sahabat lainnya. Mengharapkan seorang gadis berusia tujuh atau delapan tahun saat peristiwa Hijrah untuk mampu mengingat dan menjelaskan detail sebanyak itu tentu adalah hal yang tidak masuk akal. Maka, dari hal ini jelas bahwa pada saat Hijrah, Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha adalah seorang gadis remaja berusia tujuh belas atau delapan belas tahun yang telah matang dalam bahasa, kecerdasan, daya pengamatan, daya ingat, dan pemahamannya terhadap peristiwa-peristiwa penting.

Perawatan Sayyidina Abu Bakar Saat Sakit

Ketika Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu sampai di Madinah, beliau jatuh sakit cukup parah. Meskipun ibunda Sayyidah ‘Aisyah dan kakak perempuannya juga hadir, tanggung jawab untuk merawat ayahnya jatuh kepada Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Ia meriwayatkan bahwa setiap kali ia menanyakan kondisi ayahnya, sang ayah membacakan bait-bait syair kepadanya seperti:

> “Selamat pagi wahai keluarga, namun kematian lebih dekat dari tali sepatu seseorang.”

Jika pada tahun pertama Hijrah Sayyidah ‘Aisyah baru berusia delapan tahun, dan tahun berikutnya pernikahannya disempurnakan pada usia sembilan tahun, mengapa ia diberi tanggung jawab merawat ayahnya yang sakit, padahal masih ada anggota famili yang lebih tua lainnya? Dan mengapa Sayyidina Abu Bakar membacakan syair kepada anak kecil? Fakta menunjukkan bahwa beliau pada saat itu sudah dewasa, berusia sekitar tujuh belas atau delapan belas tahun, dan telah menguasai bahasa syair yang rumit.

Tradisi Al-Ashaabah dan Kronologi Pernikahan

Telah disebutkan bahwa menurut riwayat dalam Al-Ishaabah, Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dilahirkan saat Ka’bah sedang dibangun kembali , ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berusia sekitar tiga puluh lima tahun (18 SH), dan bahwa beliau empat atau lima tahun lebih muda dari Sayyidah Fatimah radhiyallahu ‘anha. Namun dari catatan sejarah diketahui bahwa pernikahan Sayyidah ‘Aisyah dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terjadi pada tahun kesepuluh dari kenabian (4 SH). Sebelum itu, pertunangannya dengan putra Jubair bin Muth‘im telah dibatalkan, dan pernikahan Sayyidah Fatimah dengan Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhuma baru terjadi lima tahun kemudian di Madinah, tahun kedua Hijrah.

 

Diriwayatkan bahwa pada saat itu Sayyidah ‘Aisyah membantu menyiapkan rumah baru Sayyidah Fatimah, menambal dinding rumah dengan tanah liat, merapikan tempat tidur, menggiling kulit kurma untuk dijadikan bantal, menjamu tamu dengan kurma dan kismis, serta menggantung kulit air di tempat yang disiapkan. Bukankah dari semua ini tampak jelas bahwa Sayyidah ‘Aisyah lebih tua atau setidaknya seumuran dengan Sayyidah Fatimah, dan bahwa keduanya lahir pada masa pembangunan kembali Ka’bah?

Perang Uhud dan Pengabdian kepada Mujahidin

Dalam Perang Uhud (3 H), banyak perempuan yang mengabdi di jalan Allah dengan memanggul kantong air di pundak mereka, termasuk Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Riwayat menyebutkan bahwa pada waktu itu beliau berusia sepuluh tahun. Mereka mengangkut air dari Madinah menuju kaki Gunung Uhud, sejauh sekitar tiga mil, untuk menghilangkan dahaga para mujahidin (HR. Bukhari, Kitab al-Jihad wa as-Siyar). Apakah tugas ini mampu dilakukan oleh anak perempuan berusia sembilan atau sepuluh tahun yang masih bermain boneka?

Argumen bahwa beliau sudah menikah pada usia enam dan mampu menjalankan tugas sebagai istri pada usia sembilan tidak mempertimbangkan beban tanggung jawab sebagai Ummul Mukminin. Apakah ikut dalam Perang Uhud dan membantu para tentara di medan jihad adalah pekerjaan anak kecil? Bukankah ini membuktikan bahwa beliau telah dewasa dan usianya mendekati dua puluh atau dua puluh satu tahun?

Ilmu Nasab dan Kemampuan Bahasa

Telah disepakati oleh para ulama bahwa dalam hal ilmu nasab, syair, sastra, kritik sastra, tafsir Al-Qur’an, fiqih, hadis, dan pengobatan, Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tidak ada tandingannya. Bahkan hingga kini, beliau tetap menjadi teladan keilmuan di kalangan wanita. Sayyid Abul A‘la Maududi mengakui hal ini dalam tulisannya:

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah utusan Allah Ta‘ala yang diberi amanah untuk membawa perubahan besar dalam kehidupan umat manusia. Sayyidah ‘Aisyah, dengan kecemerlangan akalnya, turut menjalankan misi besar itu bersama beliau – sebuah pencapaian yang tak mampu diraih oleh wanita lain di masanya, termasuk para istri Rasulullah yang lain. Bahkan dapat dikatakan tanpa berlebihan, bahwa tidak ada istri mursyid manapun yang memberikan kontribusi sebesar yang dilakukan Sayyidah ‘Aisyah kepada Rasulullah.”

Tanpa ragu, beliau memperoleh ilmu tafsir, fiqih, dan hadis dari langsung dari Rasulullah. Namun tidak ada bukti bahwa beliau mendapatkan ilmu nasab atau kecintaan terhadap syair dan sastra dari Rasulullah, karena Nabi bukanlah seorang penyair atau ahli nasab. Waktu beliau pun digunakan penuh untuk dakwah.

Namun sejarah mencatat bahwa ayahnya, Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, adalah ahli nasab dan pecinta syair. Sebagaimana ditulis oleh Sayyid Sulaiman Nadvi:

“Sayyidina Abu Bakar adalah di antara orang-orang Quraisy yang paling ahli dalam ilmu nasab dan memiliki selera tinggi terhadap syair. Ketika para penyair Islam membalas syair kaum Quraisy, orang-orang kafir pun tak yakin bahwa itu tanpa bantuan dan arahan dari Abu Bakar. Sayyidah ‘Aisyah tumbuh dalam asuhan ayahnya itu, dan mewarisi kecintaan terhadap nasab dan syair darinya.”

Maka jelas bahwa kecerdasan beliau dalam bidang-bidang tersebut diperoleh sejak di Makkah dari ayahandanya. Jika kita menerima bahwa beliau baru berusia tujuh atau delapan tahun saat Hijrah, maka mustahil beliau telah menguasai ilmu-ilmu itu pada usia enam atau tujuh tahun. Ilmu sejarah, sastra, dan syair menuntut kedewasaan akal dan kemampuan bahasa tingkat tinggi. Maka, tidak mungkin beliau menikah pada usia enam, apalagi disempurnakan pernikahannya pada usia sembilan.

Kesimpulannya, Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha telah menguasai berbagai ilmu di Makkah, dan baru masuk ke rumah tangga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada usia delapan belas tahun, setelah matang secara keilmuan.

Peristiwa Fitnah terhadap Sayyidah ‘Aisyah (ra)

Peristiwa fitnah terhadap Sayyidah ‘Aisyah (ra) disebutkan terjadi pada tahun kelima Hijriyah, ketika menurut semua riwayat, beliau berusia sekitar dua belas tahun. Masih menjadi bahan perbincangan apakah dalam peristiwa sedih ini, sikap Sayyidah ‘Aisyah (ra) mencerminkan perilaku seorang gadis dua belas tahun, atau menunjukkan kepribadian seseorang yang telah memahami ajaran Al-Qur’an, memiliki kedalaman ilmu bahasa, bersifat sabar dan tabah, serta memiliki akhlak yang suci dan terhormat sebagai seorang wanita muda yang bermartabat?.

Beliau menghadapi fitnah ini dengan sikap seorang wanita yang mulia, berakhlak tinggi, cerdas, dan menjaga kehormatannya. Ketika wahyu dari langit turun untuk membela kesuciannya, dan ayahnya yang mulia memintanya untuk bersyukur kepada Rasulullah ?, secara spontan beliau menjawab dengan penuh ketepatan dan keimanan:

Mengapa aku tidak bersyukur kepada Allah Yang Maha Tinggi, yang telah membela kesucianku?

Dalam keadaan yang sangat mengkhawatirkan dan penuh ujian itu, mengucapkan pernyataan yang sarat hikmah dan mengandung tauhid sedemikian rupa bukanlah gaya bicara atau kemampuan dari seorang gadis berusia dua belas tahun.

Peristiwa Pemisahan Sementara

Menurut semua riwayat, ketika ayat-ayat yang berkaitan dengan permintaan para istri Nabi ? terhadap kemewahan dunia diturunkan, Sayyidah ‘Aisyah (ra) sudah berusia enam belas tahun. Pada saat itu, kondisi kehidupan rumah tangga Rasulullah ? mulai membaik, dan para istrinya meminta tambahan kenyamanan hidup dari beliau. Rasulullah ? tidak menyukai permintaan itu dan memilih untuk memisahkan diri dari para istrinya selama sebulan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala merespons keresahan para Ummahatul Mukminin dengan menurunkan ayat berikut:

Wahai Nabi, mengapa engkau melarang apa yang dihalalkan oleh Allah kepada engkau? Apakah engkau mencari perkenan isteri-isteri engkau? Dan Allah itu Yang Maha-pengam­pun, Yang Maha-pengasih. (QS. 66:1)

Ketika Nabi ? menerima wahyu ini, kasih sayang beliau bangkit dan kesedihan beliau pun sirna. Setelah masa pemisahan berakhir, Rasulullah ? langsung menuju kamar Sayyidah ‘Aisyah (ra). Beliau (ra) dengan bercanda berkata:

Engkau datang sehari lebih awal.”

Beliau ? tersenyum dan menjawab:

Kadang-kadang satu bulan terdiri dari dua puluh sembilan hari juga.

Setelah peristiwa itu, Allah SWT menurunkan ayat-ayat berikut sebagai tanggapan terhadap permintaan kemewahan dunia:

Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: Jika kamu mendambakan kehidupan dunia dan perhiasannya, mari, aku akan memperlengkapi kamu dan akan mempersilahkan kamu pergi dengan kepergian yang baik. Dan jika kamu mendambakan Allah dan Utusan-Nya dan tempat tinggal di Akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan ganjaran yang besar bagi orang-orang yang berbuat baik di antara kamu. (QS 33: 28-29)

Kemuliaan Sayyidah ‘Aisyah (ra), pengabdiannya terhadap Islam, kedewasaan akalnya, kecerdasannya dan ketajaman pikirannya bisa dilihat dari kenyataan bahwa orang pertama yang ditanya Rasulullah ? tentang pilihan antara dunia atau akhirat adalah beliau. Nabi ? menyarankan agar ia tidak terburu-buru menjawab dan terlebih dahulu meminta nasihat dari orang tuanya. Namun, begitu mendengar pertanyaan itu, wajah Sayyidah ‘Aisyah bersinar penuh semangat dan tanpa ragu ia menjawab:

“Wahai Rasulullah, mengapa aku harus meminta pendapat orang tuaku dalam perkara ini? Di atas segala kenikmatan dunia, kecintaanku yang paling besar adalah kepada Allah dan Rasul-Nya.”

Para pembaca bisa menilai sendiri, apakah jawaban yang penuh iman ini berasal dari seorang gadis usia lima belas atau enam belas tahun?, atau dari seorang wanita dewasa yang telah melewati tahapan-tahapan suluk ruhani hingga mencapai derajat ma‘rifah, hikmah, zuhud, ketaqwaan dan mahabbah terhadap Allah dan Rasul-Nya.?

Cinta kepada Rasulullah ? – Kisah yang Menguatkan Iman

Almarhum Qadhi Muhammad Sulaimani menulis dalam bukunya Rahmatul lil ‘Alamin, jilid II:

Diriwayatkan dari Sayyidah ‘Aisyah (ra), saat Rasulullah ? sedang memperbaiki sandal beliau dan Sayyidah ‘Aisyah memintal benang, ia melihat di kening Rasulullah ? ada keringat, dan dari keringat itu memancar cahaya yang semakin terang. Pemandangan luar biasa itu membuatnya terkesima.

Ketika Rasulullah ? melihat keheranannya, beliau bertanya penyebabnya. Sayyidah ‘Aisyah menjawab:

“Wahai Rasulullah, aku melihat keringat di dahimu, dan dari dalamnya tampak cahaya yang sangat terang hingga aku terpaku dalam kekaguman rohani yang luar biasa. Demi Allah! Jika Abu Bakr Hazli sempat melihat engkau, niscaya ia tahu bahwa orang yang ia puji dalam syairnya adalah engkau.”

Ketika Rasulullah ? bertanya syair yang dimaksud, Sayyidah ‘Aisyah mengutip bait berikut:

“Ia terbebas dari kotoran kelahiran dan susuan. Tatkala engkau menatap wajahnya yang bercahaya, engkau akan melihat cahaya yang terang benderang darinya.”

Mendengar bait tersebut, Rasulullah ? meletakkan barang di tangan beliau, mencium kening Sayyidah ‘Aisyah (ra), lalu bersabda:

“Dengan menatap wajahku, mungkin engkau tidak mendapatkan kenikmatan sebesar yang aku rasakan ketika mendengar bait syair itu darimu.”

Tatapan pada wajah beliau yang bercahaya, kecintaan yang dalam, pilihan syair Abu Bakr Hazli, dan perbandingannya dengan cahaya wajah Nabi ? menjadi inspirasi bagi orang yang cerdas untuk menggunakan imajinasi dan tafakur mereka.

Renungkanlah ketajaman pengamatan Sayyidah ‘Aisyah (ra), kecerdasannya, kefasihan lisannya, keluasan ilmunya, dan kedalaman wawasan ruhani beliau. Apakah semua kemuliaan ini mencerminkan sifat seorang gadis berusia sembilan tahun yang baru menikah dengan Rasulullah ?,? ataukah menunjukkan sosok wanita yang sudah matang secara ilmu dan ruhani, yang kemudian memperoleh keberkahan luar biasa dari persahabatannya dengan Nabi ??

Penyempurnaan Misi Ilahi

Setelah wafatnya Rasulullah ?, Sayyidah ‘Aisyah (ra) memberikan kontribusi luar biasa bagi Islam dalam menyebarkan tafsir Al-Qur’an, fiqih, dan hadis-hadis Nabi ?. Dari hal ini, tampak jelas bahwa ketika beliau dinikahkan dengan Rasulullah ?, beliau telah memiliki kecakapan dalam berbahasa, kesusastraan, syair, dan ilmu nasab. Dan dalam kebersamaannya dengan Nabi ?, beliau mendapatkan tambahan ilmu dan hikmah dari Al-Qur’an secara sempurna.

Karena tidak memiliki anak, Sayyidah ‘Aisyah lebih leluasa dalam mendalami ilmu-ilmu agama. Kaum wanita Madinah sering menjadikan beliau sebagai perantara untuk menanyakan permasalahan khusus perempuan kepada Rasulullah ?. Tinggal berdekatan dengan Masjid Nabawi juga memberinya kesempatan luas untuk menyimak khutbah Nabi ? serta pidato dan qasidah para sahabat.

Dan sungguh, misi agung dari para Ummahatul Mukminin adalah sebagaimana firman Allah Ta‘ala: Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumah kamu dari ayat-ayat Allah dan Hikmah. (QS 33:34)

Sejarah dan Peran Sayyidah ‘Aisyah ra dalam Penyebaran Ilmu Agama

Sejarah dengan jelas menunjukkan bahwa tugas yang dijalankan oleh Sayyidah ‘Aisyah (ra) dalam menyebarkan Al-Qur’an dan hikmah adalah sesuatu yang sangat istimewa. Dan jika tugas ini tidak dijalankan melalui dirinya, maka para istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak akan mampu menunaikan perintah Ilahi itu dengan cara yang semestinya. Dalam hal ini, mari kita simak pandangan Sayyid Abul A’la Maududi:

“Siapa pun yang mencari ilmu tentang sabda-sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengetahui dengan baik betapa besar jumlah ilmu yang disampaikan kepada kaum Muslimin melalui perantaraan Sayyidah ‘Aisyah (ra), dan betapa banyak informasi mengenai fikih Islam yang telah diperoleh darinya. Dibandingkan dengan ini, sangat sedikit perempuan – apalagi laki-laki – pada masa kenabian yang jasa pendidikannya bisa disebutkan. Seandainya Sayyidah ‘Aisyah (ra) tidak menikah dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan jika ia tidak mendapat kesempatan untuk dididik dan dilatih langsung oleh Nabi, kita tidak akan mampu memperkirakan seberapa besar bagian ilmu Islam yang akan hilang dari umat Islam. Sebanyak dua ribu dua ratus sepuluh (2.210) hadits Nabi telah diriwayatkan oleh Sayyidah ‘Aisyah (ra). Lebih dari itu, beliau bukan hanya sekadar perawi hadits, melainkan juga seorang mufassirah (penafsir Al-Qur’an), faqihah (ahli fikih), murabbiyah (pembimbing agama), dan mufti (pemberi fatwa).

Telah menjadi pengakuan umum bahwa di antara kaum perempuan Muslimah, beliau adalah faqihah terbesar. Para sahabat utama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kerap merujuk kepada beliau dalam persoalan agama, bahkan Sayyidina ‘Umar (ra) dan Sayyidina ‘Utsman (ra) juga berkonsultasi dengannya dalam banyak masalah keagamaan. Di Madinah, beliau tergolong ke dalam kelompok sedikit dari kalangan ‘ulama yang fatwanya menjadi rujukan utama masyarakat.” (Tarjumanul Qur’an, September 1976)

Sayyidah ‘Aisyah (ra) mencapai kedudukan yang sangat mulia di antara para istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para wanita dalam Islam karena beliau memang telah dianugrahi dengan kecerdasan dan kemampuan intelektual yang luar biasa sejak sebelum memasuki rumah tangga kenabian. Setelah itu, beliau mengisi akalnya dengan ilmu-ilmu Al-Qur’an dan hikmah hingga mencapai derajat yang tidak tertandingi oleh sahabat lainnya. Dan kedudukan agung ini – menurut banyak pendapat – tidak mungkin dicapai oleh seorang anak perempuan berusia sembilan tahun yang masih bermain boneka saat memasuki rumah tangga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sayyidah ‘Aisyah (ra) hanya mungkin mencapai kemuliaan dan keutamaan sebagai sebaik-baik wanita di dunia dan sebagai Ummul Mukminin karena kematangan intelektual yang telah ditanamkan oleh ayahandanya, Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq (ra), kemudian diperkuat lagi saat usia beliau yang ke-18 atau ke-19 tahun ketika menikah dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Lampiran I

Kritik Kristiani dan Isi Alkitab tentang Pernikahan Anak Perempuan

oleh Dr. Zahid Aziz

Karena para penginjil Kristiani dan penganut ajaran Alkitab yang paling keras mencela Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam sehubungan dengan pernikahannya dengan Sayyidah Aisyah (ra), maka kami ajukan kepada mereka praktik para nabi dan tokoh agung yang tercatat dalam Alkitab itu sendiri terkait hal ini. Tuduhan utama terhadap pernikahan Nabi Muhammad (saw) dengan Aisyah (ra) adalah bahwa beliau (ra) dianggap terlalu muda, sedangkan Rasulullah sudah berusia lima puluh tahun, dan bahwa pernikahan itu dilakukan tanpa persetujuan atau bahwa Aisyah tidak cakap memberikan persetujuan.

Nabi Ibrahim (Abraham)

Dalam Kitab Kejadian (Genesis) di Alkitab disebutkan mengenai Nabi Ibrahim (yang ketika itu masih bernama Abram):

“Sarai, istri Abram, tidak memberikan anak kepadanya. Tetapi ia mempunyai seorang hamba perempuan Mesir, bernama Hagar. Lalu berkatalah Sarai kepada Abram: ‘Sesungguhnya Tuhan telah menahan aku dari melahirkan anak. Masuklah kepada hambaku itu; mungkin oleh dialah aku dapat memperoleh keturunan.’ Abram mendengarkan perkataan Sarai. Maka Sarai, istri Abram, mengambil Hagar, hamba Mesir itu, dan memberikannya kepada suaminya sebagai istrinya setelah Abram tinggal sepuluh tahun di tanah Kanaan. Abram menghampiri Hagar, lalu Hagar mengandung. … Maka Hagar melahirkan seorang anak laki-laki bagi Abram, dan Abram menamai anak itu Ismail. Usia Abram delapan puluh enam tahun ketika Hagar melahirkan Ismail baginya.”

(Kejadian 16:1–4, 15–16, versi New International Version)

Pertama, jelas bahwa saat Nabi Ibrahim berusia 86 tahun, Hajar kemungkinan besar jauh lebih muda darinya, mungkin sekitar lima puluh tahun lebih muda, agar bisa hamil. Kedua, dalam teks Alkitab dikatakan bahwa Sarai-lah yang memberikan Hajar kepada Ibrahim. Artinya, tidak ada catatan tentang persetujuan Hajar, karena ia hanya diperintahkan oleh majikannya untuk menjadi istri Ibrahim.

Nabi Dawud (David)

Kitab Pertama Raja-Raja di Alkitab dimulai dengan kisah berikut:

“Ketika Raja Daud telah tua dan lanjut usia, ia tidak dapat merasa hangat, walaupun sudah diselimuti. Maka para pelayannya berkata: ‘Biarlah kita mencari seorang gadis perawan muda untuk melayani raja dan merawatnya. Ia akan tidur di samping raja agar tuanku raja menjadi hangat.’ Maka mereka mencari di seluruh Israel seorang gadis cantik, dan menemukan Abisag, seorang perempuan Sunem, lalu membawanya kepada raja. Gadis itu sangat cantik; ia merawat raja dan melayaninya, tetapi raja tidak berhubungan intim dengannya.”

1 Raja-Raja 1:1–4, versi New International Version

Dengan demikian, menurut Alkitab, tidak ada yang salah dalam mencari seorang gadis perawan muda untuk tidur di samping raja tua, bahkan nampaknya tanpa persetujuan dari gadis tersebut. Tujuannya jelas untuk kenyamanan fisik—dan kemungkinan kenikmatan seksual—sebab bila hanya untuk menghangatkan raja, wanita tua atau janda tua juga bisa melakukannya.

Maryam dan Yusuf (Mary and Joseph)

Pernikahan paling terkenal dalam agama Kristen tentu adalah pernikahan Maryam (ibu Nabi Isa) dengan Yusuf. Walaupun rincian berikut tidak terdapat dalam Injil kanonik, namun dari tulisan-tulisan Kristen awal (yang dikenal sebagai kitab apokrif), disebutkan bahwa Maryam berusia 12 tahun saat para pemuka Bait Suci memutuskan mencarikan suami untuknya. Suaminya dipilih dengan cara undian, dan Yusuf yang terpilih adalah pria lanjut usia, menurut beberapa sumber berusia 90 tahun. Maryam diserahkan kepadanya, dan tidak ada catatan bahwa Maryam memiliki andil dalam pemilihan suami tersebut.

Hal ini dirangkum dalam Catholic Encyclopedia edisi 1913 sebagai berikut:

“Meskipun tidak dapat dipastikan kebenarannya, cerita-cerita panjang mengenai pernikahan St. Yusuf yang terdapat dalam tulisan-tulisan apokrif tetap menarik untuk diingat. Ketika berusia empat puluh tahun, Yusuf menikah dengan seorang wanita bernama Melcha atau Escha oleh sebagian orang, dan Salome oleh yang lain; mereka hidup bersama selama empat puluh sembilan tahun dan memiliki enam anak. … Setahun setelah istrinya wafat, para imam mengumumkan di seluruh Yudea bahwa mereka hendak mencari seorang pria terhormat dari suku Yuda untuk menikahi Maryam, yang saat itu berusia dua belas hingga empat belas tahun. Yusuf, yang saat itu berusia sembilan puluh tahun, datang ke Yerusalem sebagai salah satu calon; sebuah mukjizat menunjukkan bahwa Allah telah memilih Yusuf …”

Dalam artikel “St. Joseph”, huruf J. Tautan: www.newadvent.org/cathen/08504a.htm

Meskipun kisah-kisah apokrif ini tidak lagi diterima oleh banyak Gereja Barat, dan Ensiklopedia Katolik menyebutnya “tidak memiliki otoritas”, namun pengaruhnya tetap ada:

“Namun demikian, kisah-kisah ini tetap memperoleh popularitas dari masa ke masa; di dalamnya, para penulis gereja mencoba menjawab persoalan tentang ‘saudara-saudara Tuhan’ yang disebutkan dalam Injil. Dari sana juga, kepercayaan umum yang tidak masuk akal namun tetap bertahan, bahwa St. Yusuf adalah seorang pria tua saat menikahi Bunda Tuhan, tetap diyakini.”

Namun, kisah-kisah ini diterima oleh gereja-gereja Timur. Gereja Ortodoks Ukraina, misalnya, menyatakan:

“Sumber-sumber awal, termasuk tulisan apokrif dan para bapa gereja awal, menyebutkan bahwa Yusuf adalah seorang duda dengan empat anak laki-laki dan beberapa anak perempuan saat ia bertunangan dengan Maryam, seorang gadis yatim piatu yang masih muda … Yusuf menerima hal itu dengan banyak keraguan karena usianya yang sudah lanjut.” (Ukrainian orthodoxy)

Sebagai tambahan, dalam lampiran berikutnya dikutip pula dari kitab apokrif The Infancy Gospel of James mengenai bagaimana suami Maryam dipilih.

Meskipun gereja-gereja Barat tidak menerima kisah ini sebagai otentik, namun gereja-gereja Timur di Eropa menerima bahwa Maryam berusia 12 tahun dan Yusuf seorang duda berusia 90 tahun ketika mereka menikah. Lebih dari itu, tidak ada isi Injil dalam Perjanjian Baru yang membantah kisah tersebut, dan kisah-kisah dalam Injil pun tidak bertentangan dengan usia Maryam dan Yusuf seperti yang disebutkan.

 

Lampiran II

Injil Yakobus

(Pasal 8 ayat 2 sampai Pasal 9 ayat 11)

“Ketika Maryam telah mencapai usia dua belas tahun, sekelompok pendeta (ahli ibadah) berkumpul untuk bermusyawarah, seraya berkata, ‘Lihatlah, Maryam telah berada di dalam Baitullah selama dua belas tahun. Apa yang harus kita lakukan terhadapnya sekarang, agar ia tidak menajiskan tempat suci Rabb kita?’ Maka mereka berkata kepada Imam Besar, ‘Engkau yang telah berdiri di mihrab Allah. Masuklah dan berdoalah mengenai perkara Maryam. Jika Allah Ta’ala memberi wahyu kepadamu tentang hal ini, kami akan melaksanakannya.’

Lalu Imam Besar masuk ke dalam tempat paling suci dengan membawa pakaian ibadah yang memiliki dua belas lonceng, dan ia pun berdoa tentang Maryam. Tiba-tiba malaikat Allah berdiri di hadapannya dan berkata, ‘Zakaria, wahai Zakaria, keluarlah dari sini dan kumpulkanlah para duda dari Bani Israil. Setiap dari mereka hendaknya membawa tongkatnya. Dan siapa yang ditunjuk oleh Allah Ta’ala dengan tanda yang nyata, dialah yang akan menjadi suami bagi Maryam.’

Maka para penyeru pun keluar ke seluruh daerah sekitar Yudea, dan seruan dari Allah terdengar lantang, sehingga seluruh laki-laki berdatangan.

Yusuf, yang sedang memegang kapaknya, segera meletakkannya dan pergi menyambut mereka. Ketika mereka semua telah berkumpul dengan membawa tongkat masing-masing, mereka pergi menghadap Imam Besar. Setelah menerima seluruh tongkat, Imam Besar masuk ke dalam Baitullah dan berdoa. Ketika selesai berdoa, ia keluar dan mengembalikan tongkat-tongkat itu satu per satu, namun tak ada satu pun yang menunjukkan tanda.

Akhirnya, Yusuf pun mengambil tongkatnya. Seketika itu juga, seekor burung merpati keluar dari tongkat tersebut dan hinggap di atas kepala Yusuf. Maka Imam Besar berkata, ‘Wahai Yusuf! Wahai Yusuf! Engkau telah dipilih oleh Allah melalui undian untuk menjaga dan memelihara gadis suci ini.’

Yusuf menjawab, ‘Aku telah memiliki anak-anak, dan aku sudah tua, sementara dia masih muda. Aku khawatir akan menjadi bahan ejekan di kalangan Bani Israil.’

Namun Imam Besar berkata, ‘Wahai Yusuf, bertakwalah kepada Allah Rabbmu dan ingatlah apa yang telah dilakukan Allah terhadap Datsan, Abiron, dan Qorah, yaitu ketika bumi terbelah dan menelan mereka karena kedurhakaan mereka. Maka takutlah engkau kepada Allah, wahai Yusuf, agar kejadian semacam itu tidak menimpa keluargamu.’

Karena rasa takutnya kepada Allah, Yusuf pun menerima Maryam ke dalam tanggungannya.”

Terjemahan oleh Shelly Matthews. Untuk informasi lebih lanjut dan terjemahan lainnya dari Injil ini, lihat tautan: www.earlychristianwritings.com/infancyjames.html

 

Artikel ini diterjemahkan dari Artikel Bahasa Inggris: Lady ‘A’ishah’s Age at the Time of the Consummation of Her Marriage to the Holy Prophet Muhammad (sas) – Ghulam Nabi Muslim

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here