ArtikelIslamologiRamadhan

Baik Mana: Shalat Tarawih atau Shalat Tahajjud?

people immersed in prayer

Shalat Tarawih saat sekarang ini biasa dilakukan oleh umumnya umat Islam selama bulan Ramadhan. Dikerjakan secara berjamaah sesudah Shalat Isya. Ada yang mengerjakannya sejumlah 8 rakaat, ada pula yang mengerjakan 20 rakaat, plus 3 rakaat Shalat Witir.

Ada pula kebiasaan membaca seluruh ayat Qur’an Suci dalam shalat Tarawih selama satu bulan penuh di bulan Ramadan. Dan hal itu sudah menjadi kebiasaan seorang Imam, baik yang terdiri dari delapan rakaat maupun dua puluh rakaat.

Padahal, membaca seluruh ayat Qur’an dalam satu malam itu, sesungguhnya bertentangan dengan perintah Nabi Suci (Bukhari 30:58).

Secara etimologi, tarawih adalah kata jamak dari tarwih, berasal dari kata raaha yang artinya “mengambil istirahat.” Disebut Shalat Tarawih, karena biasanya orang mengambil istirahat sejenak setiap selesai dua rakaat. Sehingga, pelaksanaan Shalat Tarawih pada dasarnya  dikerjakan secara santai atau tidak terburu-buru.

Shalat Tarawih sesungguhnya adalah Shalat Tahajjud yang dikerjakan lebih sore. Sayyidina ‘Umar-lah yang mula pertama membiasakan supaya para sahabat menjalankan shalat Tarawih sesudah shalat ‘Isya. Dan pada mulanya, jumlah rakaat Shalat Tarawih hanya delapan rakaat, sama dengan jumlah rakaat shalat Tahajjud, plus tiga rakaat shalat Witir.

Tetapi belakangan, jumlah rakaat shalat Tarawih bertambah menjadi dua puluh, ditambah tiga rakaat Shalat Witir, atau sama dengan dua puluh tiga rakaat (Kitab Mu’athatha, karya Imam Malik, Bab 6: Targhib fis-shalat fi Ramadhan).

Khusus di bulan Ramadan, Nabi Suci memang sangat menaruh perhatian pada shalat tahajjud.

Dalam sebuah riwayat Hadits, Nabi Suci bersabda, “Barangsiapa bangun malam untuk menjalankan shalat di bulan Ramadan, disertai iman dan karena ingin memperoleh ridla Allah Ta’ala, maka dosa-dosanya akan diampuni.” (Bukhari 2:27).

Saking besar perhatian Nabi Suci, sehingga ada Hadits yang menerangkan bahwa Nabi Suci membangunkan istri-istri beliau untuk menjalankan shalat malam selama bulan Ramadan (Bukhari 14:3).

Bahkan ada pula Hadits yang meriwayatkan bahwa Nabi Suci sampai-sampai mengharuskan diri pergi ke rumah putri dan menantunya, yakni Sayyidah Fatimah dan Sayyidina ‘Ali, agar supaya mereka menjalankan Shalat Tahajjud selama bulan Ramadan (Bukhari 19:5).

Karena perhatian Nabi Suci yang amat besar akan shalat Tahajjud di bulan Ramadan itu, para Sahabat merasa penting untuk mengerjakannya, meskipun mereka tahu bahwa shalat Tahajjud bukanlah shalat fardlu. Sehingga, banyak di antara mereka yang datang ke Masjid di larut malam untuk menjalankan Shalat Tahajjud.

Ada satu Hadits yang meriwayatkan bahwa Nabi Suci mempunyai satu ruang kecil di masjid yang dibuat untuk beliau sendiri, dilengkapi dengan tembikar, sebagai tempat beliau menyendiri untuk menjalankan shalat Tahajjud selama bulan Ramadan.

Hingga suatu malam, ketika beliau hendak menjalankan shalat tahajjud di ruang kecil masjid itu, tiba-tiba para sahabat yang melihatnya spontan bermakmum kepadanya. Itulah pertama kalinya shalat tahajjud dilakukan secara berjama’ah.

Pada malam kedua dan ketiga, jumlah jamaah bertambah banyak. Tetapi pada malam keempat, Nabi Suci tak muncul.

Menurut riwayat, ketidakhadiran Nabi Suci disebabkan karena kekhawatiran beliau kalau-kalau shalat tahajjud akan dianggap shalat wajib oleh para sahabat. Ditambah pula, muncul anjuran Nabi Suci supaya para sahabat menjalankan shalat di rumah masing-masing (Bukhari 10:80).

Karena itu, pada masa Nabi Suci dan masa Khalifah Abu Bakar, dan juga pada permulaan masa kekhalifahan ‘Umar, shalat tahajjud selama bulan Ramadan dijalankan secara sendiri-sendiri (Bukhari 31:1).

Tetapi Sayyidina ‘Umar di belakang hari melakukan ijtihad, dengan menyelenggarakan shalat tahajjud secara berjama’ah pada petang hari sesudah shalat ‘Isya selama bulan Ramadan.

Ijtihad beliau didasarkan atas teladan Nabi Suci saw., yang menjalankan shalat Tahajjud secara berjamaah selama tiga malam berturut-turut sebagaimana riwayat di atas. Selain itu, juga berpegang pada sabda Nabi Suci yang memperbolehkan mengerjakan Shalat Witir, yang adalah bagian dari shalat Tahajjud, digabungkan waktunya sesudah Shalat ‘Isya.

Umar sendiri menyatakan bahwa perkara itu adalah bid’ah, atau sesuatu yang baru yang tidak dilakukan oleh Nabi Suci saw. Beliau tetap menekankan bahwa shalat yang dilakukan pada larut malam, ketika orang-orang pada umumnya tengah tertidur lelap, itu lebih baik daripada shalat yang dilakukan pada permulaan malam atau bakda ‘Isya (Bukhari 31:1).

Karenanya, meskipun ijtihad yang dilakukan oleh Sayyidina ‘Umar berupa Shalat Tarawih itu diterima dengan baik oleh umumnya umat Islam, tetapi Shalat Tahajjud yang dilakukan secara sendiri-sendiri pada larut malam selama bulan Ramadan sesungguhnya tetap jauh lebih baik.[]

Disarikan dari buku “Islamologi” Karya Maulana Muhammad Ali. Bab Shalat. Sub Bab Shalat Tahajjud & Shalat Tarawih. Darul Kutubil Islamiyah: 2007.

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »