ArtikelRamadhan

Orang sakit seperti apa dan musafir yang bagaimanakah yang boleh tidak berpuasa?

patient with iv line

Orang yang berkewajiban menjalankan puasa, menurut Qur’an Suci, adalah dia “yang menyaksikan datangnya bulan Ramadan (man syahida minkumusy-syahra, QS 2:185).” Kata syahid dalam ayat ini adalah isim mashdar (kata dasar) dari kata syahadah (bersaksi).

Perintah puasa, dalam ayat ini, hanya ditujukan kepada mereka yang menyaksikan datangnya bulan Ramadan. Karena itu, orang-orang yang tinggal di belahan bumi yang tak mengenal pembagian bulan menjadi dua belas, mereka dibebaskan dari kewajiban berpuasa. Dengan kata lain, mereka tak diharuskan menjalankan puasa.

Sesungguhnya, secara umum segala perintah Allah di Qur’an Suci diperuntukkan atau ditujukan untuk orang yang sudah akil baligh (dewasa). Demikian halnya pula dengan perintah puasa.

Karena itu, menurut Imam Malik, anak-anak tidak perlu menjalankan puasa. Tetapi menurut Sayyidina Umar, anak-anak juga perlu menjalankan puasa (Bukhari 30:47). Boleh jadi, Umar menyatakan demikian dengan maksud semata untuk membiasakan puasa bagi anak-anak.

Para ulama ahli fiqih menetapkan tiga syarat bagi orang yang berpuasa, yakni baligh (cukup usia atau dewasa), qadir (kuat atau sehat secara jasmani), dan ‘aqil (kuat dan sehat secara akal).

Di samping mereka yang diberi kewajiban, Qur’an Suci dan Hadits Nabi juga menerangkan perihal siapa-siapa saja yang terbebas dari kewajiban puasa.

Dalam Qur’an, orang yang dalam keadaan sakit dan atau sedang bepergian (musafir) dibebaskan dari kewajiban berpuasa.

“Tetapi barangsiapa di antara kamu tengah sakit atau bepergian, (ia diwajibkan berpuasa) sejumlah bilangan itu di lain hari. Dan bagi mereka yang merasa terlalu berat menjalankan puasa (yuthiiquunahuu), diperkenankan baginya membayar fidyah, dengan cara memberi makan orang miskin” (QS 2:184).

Kata yuthiiquunahuu dalam ayat ini umumnya diterjemahkan “mereka yang mampu menjalankan itu.” Jika kita menggunakan terjemah ini, maka arti ayat ini menjadi: Orang sakit dan musafir boleh menjalankan puasa di lain hari, jika mereka tak mampu menjalankan puasa pada bulan Ramadan. Tetapi mereka boleh pula membayar fidyah dengan memberi makan kaum miskin selama mereka tak menjalankan puasa.”

Tetapi kami lebih sependapat, seperti yang disepakati juga oleh beberapa mufassir lain, bila kata yuthiiquunahuu ini diterjemahkan: “mereka yang merasa terlalu berat menjalankan itu.” Yakni, berat menjalankan puasa, baik pada bulan Ramadan maupun di lain hari di luar bulan Ramadhan. Merekalah yang diperbolehkan membayar tebusan (fidyah) berupa memberi makan kepada kaum miskin.

Tafsiran ini dikuatkan dengan adanya bacaan (qira’at) lain yang berbunyi yuthayyaquunahuu (artinya, orang-orang yang memikul tugas berat). Menurut qira’at Ibnu ‘Abbas, kata yuthawwaquunuhu (Bukhari 65: surat II, pasal 22), mengandung arti yang sama. Kata itu, masih menurut Ibnu ‘Abbas, bertalian dengan orang yang begitu lanjut usianya, hingga tak mampu menjalankan puasa.

Atas dasar itu, maka orang yang tengah sakit dan orang yang tengah bepergian (musafir), tidak secara mutlak dibebaskan dari kewajiban puasa. Tetapi mereka diharuskan berpuasa di lain hari di luar bulan Ramadhan, setelah sakitnya sembuh, atau sekembalinya ia dari perjalanannya.

Tetapi, adakalanya seseorang memiliki penyakit menahun yang tak kunjung sembuh. Atau, ada juga orang yang menjadi musafir lebih dari setahun atau bahkan bertahun-tahun. Dalam hal ini, mereka diizinkan membayar fidyah dengan memberi makan kaum miskin sejumlah hari puasa yang ditinggalkan.

Bahkan, ada satu riwayat Hadits yang memberi keleluasaan kepada segolongan orang yang memiliki tubuh lemah dan sakit-sakitan, dan karenanya tak mampu menjalankan puasa sama sekali. Diriwayatkan, ketika sahabat Anas telah mencapai usia lanjut, beliau tak berpuasa dan hanya membayar fidyah saja (Bukhari 65, Surat 2 Pasal 22).

Sahabat Ibnu ‘Abbas juga berpendapat bahwa ayat yang berbunyi “dan bagi orang yang merasa berat untuk menjalankan itu, ia diperkenankan membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin,” ini bertalian dengan orang yang sudah berusia lanjut, baik ia laki-laki maupun perempuan.

Perempuan yang sedang hamil atau menyusui, juga diperbolehkan tak berpuasa, jika khawatir puasanya dapat mengganggu kesehatan dan tumbuh kembang anak-anak mereka. Sebagai tebusannya, mereka diharuskan membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin (Abu Daud 14:3). Hadits riwayat Hasan dan Ibrahim juga menyatakan pendapat yang sama (Bukhari 65, Surat II, Pasal 22).

Peraturan dasar berkenaan dengan dibolehkannya seseorang tidak berpuasa adalah tidak bolehnya seseorang dibebani sesuatu perkara yang ia tak dapat memikulnya. Karena itu, orang lanjut usia, yang badannya sudah lemah, sudah jelas kebolehannya untuk tidak berpuasa.

Tetapi bagi perempuan yang hamil atau menyusui, mereka diizinkan untuk tak berpuasa apabila sudah jelas duduk perkaranya. Yakni, jika dengan ia berpuasa, dapat membahayakan tumbuh kembang anak yang sedang dikandung atau disusuinya, atau bahkan membahayakan dirinya sendiri. Dan boleh jadi kondisi itu mereka alami dalam waktu yang cukup lama. Maka bila demikian, mereka diberi keleluasaan untuk membayar fidyah sebagai ganti puasa mereka.

Ibnu Taimiyah bahkan memberi suatu kelonggaran lagi bagi orang untuk menangguhkan puasanya dalam keadaan marabahaya. Beliau mencontohkan orang yang tengah berperang. Mereka diperbolehkan untuk tidak berpuasa, dengan alasan karena mereka menghadapi kesulitan yang lebih berat ketimbang para musafir (Zadul Ma’ad, Jilid I, hal. 165-166).

Menurut Ibnu Taimiyah lagi, orang yang berperang itu dapat dikiaskan juga kepada orang-orang yang terpaksa harus melakukan pekerjaan yang amat berat selama bulan Ramadhan. Misalnya para pekerja tambang, atau petani yang tengah memanen tanamannya. Jika pekerjaan itu dirasa berat, mereka boleh menangguhkan puasanya di lain hari.

Perihal sakit yang seperti apa dan perjalanan yang bagaimana, yang menyebabkan orang diperbolehkan menangguhkan puasanya, ini tidak gampang untuk ditentukan. Karenanya, para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.

Imam ‘Atha berpendapat bahwa orang sakit yang diberi keringanan untuk menangguhkan puasanya, tidak dipersyaratkan apakah sakitnya itu berat ataukah ringan (Bu. 65, surat II, pasal 25). Tetapi kebanyakan ulama (zumhur) berpendapat bahwa yang diperbolehkan adalah hanya orang sakit yang apabila berpuasa dapat membahayakan kesehatan dirinya.

Adapun mengenai perkara tidak puasa karena perjalanan, tak ada satu riwayat Hadits pun yang menerangkan batas-batasnya (Zadul Ma’ad, Jilid I, hal. 166). Dalam salah satu riwayat Hadits, seorang sahabat bernama Dihyah diriwayatkan bepergian sejauh tiga mil dari tempat tinggalnya, dan ia tak melanjutkan puasanya. Sebagian kawan perjalanannya ada yang melakukan hal yang sama dengannya, tetapi sebagian lagi tetap meneruskan puasanya. (Abu Daud 14:48).

Tetapi mayoritas ulama berpendapat, perjalanan yang dimaksud haruslah memakan waktu lebih dari satu hari, atau lebih dari dua puluh empat jam. Ada pula yang berpendapat bahwa perjalanan itu setidak-tidaknya lebih dari dua atau tiga hari.

Para musafir diperkenankan untuk tak berpuasa sejak mereka hendak bepergian, baik jarak yang ditempuh telah melampaui batas ketentuan atau pun belum. Diriwayatkan bahwa seorang sahabat bernama Abu Basrah Al-Ghifari, berangkat berlayar dari Fustat ke Alexandria. Beliau berbuka puasa selagi bangunan-bangunan di Fustat masih terlihat olehnya (Abu Daud 14:45).

Menurut pendapat kami sendiri, orang sakit dan musafir yang diberi kelonggaran untuk tak menjalankan kewajiban puasa dalam Qur’an 2:185, adalah orang sakit atau musafir yang memang beroleh kesulitan apabila ia tetap bersikeras menjalankan puasa. Sebabnya, bunyi ayat tersebut segera disusul dengan kalimat, “Allah menghendaki apa yang mudah bagi kamu, dan tak menghendaki apa yang sukar bagi kamu” (QS 2:185).

Atas dasar ayat ini, diperbolehkannya orang sakit atau orang bepergian untuk tidak berpuasa itu semata-mata untuk memberi keringanan kepadanya atas beban kewajibannya menjalankan puasa.

Menurut pendapat yang cukup kuat, pemberian izin oleh Allah untuk tidak berpuasa itu bisa dijalankan oleh seorang musafir, sama sebangun dengan pemberian izin kepadanya untuk menjalankan shalat dengan jama’ qashar (digabung dan dipersingkat).

Tetapi persoalannya, puasa dan shalat itu tidak sama. Alasannya, jika orang meninggalkan Puasa Ramadhan, ia harus menjalankan qadla (ganti rugi). Artinya, ia harus menjalankan puasa di lain hari sebanyak puasa yang ia tinggalkan. Sedangkan berkenaan dengan shalat, orang tak perlu menjalankan qadla atas shalat yang ia qashar.

Oleh sebab itu, orang sakit atau musafir diberi kebebasan memilih, apakah akan terus menjalankan puasa karena menurutnya tak dirasa berat, atau akan memilih tak berpuasa karena terlalu berat baginya.

Sifat firman Allah dalam Qur’an tentang izin berbuka puasa itu tercermin dalam beberapa Hadits sahih. Ada beberapa Hadits yang menerangkan bahwa Nabi Suci tetap menjalankan puasa dalam bepergian (Bukhari 30:33).

Diriwayatkan dalam suatu Hadits, dalam satu rombongan di suatu perjalanan yang teramat panas, hanya Nabi Suci dan Ibnu Rowahah saja yang tetap menjalankan puasa, lainnya tidak (Bukhari 30:35). Tetapi di riwayat lain dari Sahabat Anas, para sahabat dan Nabi Suci yang berpuasa tak mencela para sahabat yang berbuka dalam suatu perjalanan (Bukhari 30:37).

Ada pula riwayat lain yang menerangkan tentang seorang sahabat yang bertanya kepada Nabi Suci, apakah dalam perjalanan ia harus terus puasa ataukah tidak, padahal ia condong untuk tetap menjalankan puasa. Maka Nabi Suci menjawab, “Jika engkau suka, engkau boleh tetap berpuasa. Dan jika engkau suka, engkau boleh pula tak berpuasa” (Bukhari 30:33).

Memang, ada satu Hadits yang menerangkan bahwa sabda Nabi Suci suatu ketika kurang lebih bersabda, Bukanlah perbuatan utama berpuasa pada waktu bepergian. Tetapi sabda ini diucapkan kepada orang yang terlihat sangat payah perjalanannya karena puasa, sehingga para sahabat lain berdiri mengelilinginya untuk memberi naungan dari terik matahari (Bukhari 30:36).

Dalam hal ini, Imam Bukhari tepat sekali memberi judul hadit itu: “Sabda Nabi Suci kepada orang yang dinaungi pada waktu panas terik: “Bukanlah perbuatan utama berpuasa pada waktu bepergian.” Maksud Nabi Suci dalam sabdanya itu adalah agar sebaiknya orang tidak berpuasa jika ia merasa puasa itu terlalu berat baginya.

Masih ada beberapa Hadits lain yang menerangkan perkara ini, dan ada pula yang tampak saling bertentangan. Tetapi kesemuanya adalah dalil untuk memperkuat satu hal: bahwa orang dibebaskan memilih, apakah akan terus berpuasa ataukah tidak berpuasa.

Terakhir, khusus bagi perempuan yang sedang haid (menstruasi), sekalipun mereka tak diperbolehkan Puasa Ramadhan, tetapi mereka wajib menjalankan qadla (ganti) sebanyak hari puasa yang mereka tinggalkan. Ini berlainan sekali dengan keringanan dalam perkara shalat, dimana perempuan haid dibebaskan sama sekali dari kewajiban shalat.

Perempuan yang mengeluarkan darah pada waktu persalinan atau melahirkan (nifas) disamakan dengan haid. Bedanya, jika selepas melahirkan ia lantas terus menyusui bayinya, maka ia diperkenankan hanya membayar fidyah dengan cara memberi makan orang miskin.

Puasa pengganti (qadla) bagi orang sakit, musafir dan perempuan yang haid, yang memenuhi prasayarat sebagaimana diuraikan di atas, dapat dilakukan kapan saja, asal tidak sampai melewati bulan Ramadhan di tahun berikutnya (Bukhari 30:39).

Dinukil dan disunting dari buku “Islamologi” karya Maulana Muhammad Ali. Bab Puasa, sub judul “Orang yang wajib dan tak wajib menjalankan puasa.” (Darul Kutubil Islamiyah, 2007)

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here