ArtikelPerguruan Islam Republik Indonesia

Riwayat Pembangunan Gedung PIRI di Kesatrian, Purwokerto

Meskipun pada waktu itu SGB Purwokerto menempati gedung yang cukup baik dan lengkap, dengan bebas dan merdeka mempergunakannya, tetapi dalam hati kecil Sdr. R. Sumardi selaku Ketua Pengurus Cabang PIRI Purwokerto menginginkan agar PIRI mempunyai gedung sendiri. Maka dari itu pengrus PIRI cabang Purwokerto dipelopori oleh Sdr. Tarekat dan Sdr. Sumardi berusaha menghubungi kian kemari penjabat-pejabat berwenang dalam hal itu.

Dengan pertolongan Allah SWT, dapatlah PIRI tanah seluas 250 ubin (3.520 m2) dengan izin pembeliannya atas nama Ketua, Sdr. R. Sumardi Sumodiharjo, pada tahun 1957, dengan menganti rugi kepada Desa sebesar Rp 36.640, menurut putusan Daerah No. 48/2/VII/DPD. Alhamdulillah.

Setelah PIRI mempunyai tanah, lalu maju lagi ingin mempunyai gedung sekolah. Ketua PIRI minta kepada Pengurus GAI Cabang Purwokerto untuk membentuk panitia pembangunan gedung PIRI.

Rapat diadakan sampai tiga kali, yang terakhir diadakan di rumah Sdr. Mahwari, bendahara GAI aliran Lahore, dipimpin oleh Sdr. Mayor Taram. Rapat ini pun gagal tidak bisa menerima usul Ketua PIRI membentuk panitia membangun gedung PIRI. Lalu dikembalikan kepada Ketua PIRI Sdr. R. Sumardi.

Sesungguhnya waktu itu jasmaniyah beliau sudah menderita sekali. Pengembalian usul Sdr. Sumardi untuk membentuk panitia diterima dengan penyesalan, jika memang tidak diadakan panitia gedung, beliau akan bekerja berputar sebagai kitiran dan minta restu kepada rapat. Lalu rapat GAI dibubarkan dengan tidak mendapatkan hasil apa-apa.

Sdr R. Sumardi merasa harus bertanggung jawab sendiri sebagai Ketua PIRI, sebab GAI aliran Lahore Purwokerto sudah jelas tidak bisa menerima usulnya. Lalu dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim beliau mengadakan surat edaran bebas, yang turunannya kami kutipkan di bawah:

Pada tengah-tengah menghadapai kesulitan pembangunan gedung, Sdr. Muh. Bachrun, waktu itu menjabat sebagai Direktur CIAD (Corps Intendan Angkatan Darat) di Jakarta, datang di rumah kami dengan berkelakar, menegur kepada kami, begini: “Wong Purwokerto preyayi thok, masa biasa gawe gedung sekolah.”

Waktu itu dengan spontan kami jawab: “Kon ngapa aku!” Sdr Muh. Bachrun melanjutkan: “Mbok gawe apa-apa didol rak kena. Apa bisa gawe lemari, dipan, dsb?” Kami jawab dengan kata-kata yang berani (bahasa jawanya, dak gagahi). Meskipun tidak dapat dan tidak punya apa-apa, namun hati kecil kami sekarang terbuka, bahwa ini akan ada jalan keluar.

Terus saja kami mengeluarkan kata-kata  (karangan) mengaku: kami sudah ada perusahan kayu, namanya perusahaan: “Bares”-Soemo-Atmo, gedung dan tempat kerjanya di jalan Pereng. Sebenarnya itu perusahaan kayu (mebel) kepunyaan kenalan kami  (orangnya masih muda, memang kepada kami mBapa betul – bapa Bares = blaka). Soemo-Atmo – sebenarnya Soemardi dan Atmoredjo (Sdr. Tarekat). Nah, saudara yang punya perusahaan itu namanya Rabit, itu kami temui kami rembugi supaya mengakui benar ini Usaha “ Bares-Soemo-Atmo”.

Lain waktu Sdr. Muh. Bachrun datang lagi terus kami ajak melihat gudang, gedung tempat kerja, dan kayu yang banyak. Sesudah Sdr. Rabit ditanya bisa bikin ini bikin itu, dijawab: Bisa! Akhirnya, supaya kami datang ke CIAD di Jakarta. Kita diperintahakan bertemu dan berunding dengan Mayor bawahannya yang memegang urusan pembelian.

Akhirnya kami teken kontrak degan CIAD untuk membuat lemari-lemari kecil, dipan, dsb., Seharga Rp 180.000, untuk mengisi AMN Magelang sampai beres, tetapi tidak untung. Waktu kami akan memulai pekerjaan ini, kami bersumpah kepada Tuhan, apa saja yang kami hasilkan 40% hasil kami serahkan kepada PIRI, selama kami mendapat hasil apa-apa, meskipun menjual barang sendiri, 40% haram dimakan.

Perlu kami terangkan, hubungan kami dengan Sdr. Muh. Bachrun adalah hubungan keluargga, kolega, dan Ahmadiyah. Bukan hubungan Soemardi dengan pembesar CIAD. Kalau ada orang lain, kami ya hormat kepada Jendral CIAD, kalau tidak ada orang: yak o aku!

Dalam kontrak pertama selesai, kami ditanya: “Kepriye, mas! Rugi opo bati?” Kami jawab rugi. Disusul pertanyaan, “rugi pira?” “Rp 20.000,- maaf pemborong baru – beliau, hanya nekad, meski pun harga-harga itu kita telah diperkenankan menaikan 10%. Tidak ada pengalaman borong, dari Purwokerto ke Magelang, truk satu diisi lemari kecil 10 dan dipan 10 buah, ongkos perhitungan Rp. 200. Kita pakai truk Rp 500 (dulu lo).

Sdr. Muh. Bachrun kelihatan kasihan, lalu kita diberi order lagi supaya kontrak dipan-dipan dan kasur untuk Jakarta. Kontrak lagi Rp 180.000. Kali ini dipan dibuat di Purwokerto, setelah disetel-bongkar, diikat lalu dikirim ke Jakarta, diplitur dan disetel lagi di Jakarta. Ini tidak rugi, sehingga PIRI dapat 40% Rp 17.000, kami yang 60% habis untuk mondar mandir Purwokerto-Jakarta, namun selamat dan gedung jadi.

Di dalam tengah-tengahnya menghadapi kesukaran uang, gaji guru, pada waktu itu belum mendapat subsidi, mondar-mandir cari pinjaman belum hasil, badan capai, pikiran pusing, sering-sering daging (jasmaniyah) dengan tiduran terlentang fikiran melayang, maido Jawa (menyesalkan diri sendiri), “karepmu dewe kesel, kesel ora ana sing rewang, golek duwit kanggo wong-wong!”

Dengan mendengarkan pamaido ini, sering-sering terdengar suara hati (inner voice) keluar dari dalam telinga saya, mendengar yang dari suara dalam demikian maksudnya (bunyinya suara itu), “Wong ngono wae kok mutung, kowe ramung kari ngedeng.” Artinya: kamu kan tinggal menengadahkan tanganmu ke atas.

Bila dalam kami terlentang, pusing-payah-mutung, mendengar suara batin itu, maka kami merasa tersenyum dan memang tersenyum, lalu gregah kami bangun, tenaga dan fikiran yang letih menjadi segar kembali.

Begitu selama kurang lebih 18 tahun melayani PIRI, dan sesudah kami tidak memegang pimpinan langsung, hanya dari samping, ingin melihat perkembangan yang pesat jalannya, belum dapat melihat dan belum dapat mengenyam buahnya, memang belum berbuah.

Ada lagi pengalaman yang sudah kami alami berkali-kali, yaitu apabila kami akan niat memulai sesuatu pekerjaan baik yang ringan apalagi pekerjaan yang berat (besar), selalu kami melihat memandang lengan tangan kami, kuatkah? (seakan-akan bertanya kepada lengan). Nanti seakan-akan ada jawaban dari dalam: kuat!

Kalau sudah ada kesanggupan keluar dari dalam, pekerjaan itu kami tandangi dengan harapan kepercayaan: demi kekuasaan Allah, Insya Allah Tuhan akan menolongnya, sesuai dengan jalannya sampai kepercayaan yang ada pada kita. Oleh karena itu, harus kita pupuk, kita tebalkan kepercayaan kita atas kemurahan dan pertolongan Tuhan.

Demikian teman/kawan kekuatan kami selama waktu itu, dan sungguh berhasil meskipun dengan cara yang sulit-rumit, ada buahnya. Meskipun kurang memuaskan.

Contoh STM, berubah jadi SpbMA, lalu berubah jadi STM lagi, dan sudah berjalan kali ke 4, berbuat baik, sekalipun sampai kini belum mendapat subsidi, malah tahun yang lalu permohonan subsidi sampai ditiadakan oleh Pengurus Pusat, karena beberapa hal yang memaksa harus dibatalkan. Ini mungkin sesuai dengan keadaan kurangnya kemauan sendiri, karena itu jangan diulangi.

Dari inisiatifnya yang besar itu terlihat jiwa pengurbananya dengan semangat yang menyala-nyala, tuduhan yang negatif terhadap dirinya dan cemoohan tidak diindahkannya. Beliau terus bekerja untuk kepentingan pembangunan.

Pembangunan gedung PIRI Purwokerto cukup lama kurang lebih 3 tahun. Modal membangun seluruhnya Rp 375 ribu, padahal surat edaran hanya menghasilkan Rp. 6.525. Yang lain dapat dari dana sekolah tiap bulan dan usaha lain, dan pinjaman tidak berbunga dari Sdr. Yusman Hadi Sunaryo, anggota GAI aliran Lahore Cabang Yogyakarta, yang beralamat di Ngampilan No. 40. Sdr. Yusman ex PIRI yang gigih dalam memajukan PIRI, jadi PIRI selayaknya Minded.

Bahkan PIRI Purwokerto masih mempunyai hutang untuk pembangunan itu kepada saudara yang namanya tak mau diumumkan, yang suka meminjamkannya, tetapi juga suka direlakannya.

Demikian uletnya Pengurus PIRI Cabang Purwokerto, sehingga dalam melaksanakan pembangunan itu, segala-segalanya ditandangi sendiri. Misalnya mencari kayu jati untuk balungan ke hutan jati daerah Purwokerto ditandangi sendiri. Setelah dapat menggergajinnya sehingga menjadi balungan untuk bangunan diawasinnya sendiri.

Mencari batu merah (bata), batu kali, pasir, semen, kapur, dll, pendeknya bahan-bahan untuk bangunan sekolah dikerjakannya sendiri. Sehingga mengepalai pekerjaan dalam pembangunan pun ditandangi sendiri oleh R. Sumardi dan R. Tarekat.

Bukan untuk mencari keuntunggan pribadi atau komisi dari penjual, tetapi untuk mendapatkan harga yang lebih murah atau mendapat korting, sehingga bisa mendapatkan bahan-bahan yang lebih banyak dan mencukupinya.

Beliau berdua tidak mendapatkan apa-apa dari pembanguna itu, malahan kadang-kadang ongkos jalan untuk mendapatkan bahan-bahan itu ditanggungnya sendiri.

Tidak pernah pembangunan itu diborongkan kepada pemborong, tetapi dihayatinya, tetapi semuanya sendiri. Membayari kuli-kuli yang bekerja pun dihayati sendiri pula. Beliau bekerja tidak kenal lelah. Angan-angannya tak lain hanya pembangunan itu dapat selesai dan dapat dimanfaatkannya. Di sini jiwa pengurbanan pula yang terlintas dalam menghayati pekerjaan yang berat itu.

Karena uletnya Pengurus PIRI Cabang Purwokerto, hingga terwujudlah bangunan permanent yang megah enam lokal tata usaha sama sekali. Patutlah kiranya nama sdr. R. Sumardi dan R. Tarekat ditulis dengan tinta emas. Alhamdulillah.[]

Sumber Artikel : Buku Seperempat Abad PIRI, 1947-1972
Penyunting : Asgor Ali

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here