“Dan di antara manusia ada yang menjual dirinya untuk mendapat perkenan Allah. Dan Allah itu Yang Maha belas kasih kepada para hamba.” (Q.S. Al-Baqarah, 2:207).
Pelayan Allah adalah dia yang mewakafkan hidupnya di jalan Allah. Dia tahu, bahwa dengan mengurbankan jiwa dan membelanjakan harta di jalan Allah, dia akan mendapatkan rahmat dan perkenan-Nya. Sebaliknya, orang yang menjadikan kekayaan dunia sebagai tujuan utamanya, maka dia tak memiliki kepekaan agama. Dan itu bukan perbuatan sejati seorang yang beriman (mukmin) dan yang berserah diri (muslim).
Seorang muslim sejati adalah orang yang mewakafkan seluruh daya dan kekuatan dalam kehidupannya di jalan Allah, agar mewarisi kehidupan yang suci. Berkenaan dengan hal ini, Allah Ta’ala mengisyaratkan,
“Barangsiapa berserah diri sepenuhnya kepada Allah (aslamu wajhahuu lillaah) dan berbuat baik (kepada orang lain), ia memperoleh ganjaran dari Tuhannya, dan tak ada ketakutan akan menimpa mereka dan mereka tak akan susah.” (Q.S. Al-Baqarah, 2:112).
Dalam ayat ini, pernyataan “berserah diri sepenuhnya kepada Allah” mempunyai pengertian tunduk patuh di hadapan Allah, mewakafkan apapun yang dimilikinya, baik jiwa, harta serta kehormatannya untuk Allah, dan menjadikan dunia serta segala sesuatu yang dimiliknya sebagai pelayan agama.
Akan tetapi jangan dipahami bahwa manusia tidak boleh punya tujuan dan hubungan dengan dunia sama sekali. Allah Ta’ala tidak melarang kita untuk mendapatkan dunia. Bahkan sebaliknya, Islam justru melarang praktek kerahiban. Sebab, kerahiban adalah perbuatan para pengecut.
Hubungan orang beriman dengan dunia begitu luas. Dunia bisa menjadi sarana baginya untuk mencapai derajat yang tinggi. Agama adalah cita-citanya, sedangkan dunia, harta dan kedudukannya sebagai pelayan agama semata. Singkatnya, dunia bukanlah menjadi tujuan utama. Sebaliknya, segala perolehan dunia tujuan utamanya adalah untuk agama. Dengan demikian, berusahalah untuk mendapatkan dunia karena ia bisa menjadi pelayan agama.
Layaknya sebuah perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain, seseorang membutuhkan kendaraan atau biaya. Tujuan utama dari sebuah perjalanan adalah sampai di tempat tujuan, bukan kendaraan itu sendiri dan keperluan-keperluan lain di jalan. Demikian halnya dengan dunia, manusia hendaklah berupaya mendayagunakannya, tetapi jadikanlah ia sebagai pelayan agama.
Allah Ta’ala mengajarkan sebuah doa, “Robbanaa aatinaa fi-d dunya hasanah wa fi-l aakhiroti hasanah, wa qinaa ‘adzaaba-n naar.” (Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan selamatkanlah kami dari siksa Neraka) (Q.S. Al-Baqarah, 2:201).
Dalam doa ini, dunia didahulukan. Tapi dunia yang bagaimana? Yaitu dunia yang baik, yang menjadi penyebab kebaikan di akhirat. Dari ajaran doa ini dapat difahami dengan jelas bahwa dalam meraih dunia hendaklah seorang mukmin mengingat kebaikan akhirat. Dalam kata “kebaikan dunia” juga mencakup makna semua cara terbaik untuk mendapatkan dunia.
Seorang mukmin dan muslim semestinya memilih cara terbaik itu untuk memperoleh dunia. Raihlah dunia dengan cara yang baik dan membawa kebaikan. Bukan cara yang menimbulkan penderitaan orang lain, bukan pula cara yang menimbulkan rasa malu sesama manusia. Dunia yang baik, yang diperoleh dengan cara yang baik, niscaya akan menjadi penyebab kebaikan di akhirat.
Ingatlah! Barangsiapa mewakafkan hidupnya untuk Allah, dia tak akan lemah dan malas. Tidak, sama sekali tidak. Sebaliknya, orang yang mewakafkan diri untuk agama dan Allah akan menjadi cerdas dan cekatan. Dia tak akan lamban dan bermalas-malasan.
Ada sebuah riwayat dari Ibnu Khuzaimah, “Umar bin Khattab r.a. bertanya pada ayahku, “Apa yang membuatmu enggan menanam pohon di atas tanahmu?” Ayahku menjawab, “Aku sudah tua, dan besok akan mati.” Lantas, Umar bin Khattab r.a. berkata, “Kamu harus menanam pohon.” Kemudian aku melihat Umar r.a. sendiri bersama dengan ayahku menanam pohon di atas tanah kami.”
Nabi Muhammad saw. senantiasa berdoa, mohon perlindungan dari kelemahan dan kemalasan. Janganlah malas! Allah tidak melarang kita mencari dunia. Bahkan sebaliknya, Dia mengajarkan doa untuk memperoleh kebaikan dunia. Allah Ta’ala tidak menginginkan manusia hanya duduk tak berkarya. Allah berfirman dengan jelas: “Dan bahwa manusia tak mempunyai apa-apa selain apa yang ia usahakan.” (Q.S. An-Najm, 53:39).
Oleh karena itu, orang beriman hendaklah bekerja dengan sungguh-sungguh. Tetapi jangan jadikan dunia sebagai tujuan utama, melainkan tetapkanlah agama sebagai tujuan utama. Dan jadikanlah dunia semata sebagai pelayan dan kendaraan untuk agama.[]
[Ghulam Ahmad, Malfuzat Ahmadiyyah, jilid 1, hlm. 110-111. Penerjemah Yatimin A.S.]
Comment here