Bagi mayoritas muslimin di luaran, masalah pembaru sebaliknya tak dipusingkan benar — lebih dianggap “masalah swasta”. Kalaupun memang Tuhan menurunkan para pembaru setiap abad, biarlah para pemimpin itu bergerak dan nanti dicocokkan dengan ajaran induk plus tuntutan aktual zaman. Hanyalah sejarah (meskipun hakikatnya Tangan Tuhan juga) yang akan mendorongnya sampai ke tingkat penerimaan umum.
Sumber: Tempo | 12 Januari 1980
AHMADIYAH, aliran Lahore, seharusnya sudah bubar. Sebab abad ke-14, yang merupakan masa ke-pembaru-an Mirza Ghulam Ahmad (yang menjadi anutan aliran ini) sudah berlalu baru-baru ini. Demikian pikiran setengah orang. Tetapi GAI, Gerakan Ahmadiyah Indonesia aliran Lahore, malah mengadakan muktamarnya di Yogya 23-25 Desember lalu. Dan dalam persidangan kecil yang menjadi penting karena sekaligus dimaksud memperingati 50 tahun usia organisasi ini, bahkan diumumkan tekad untuk sejak tahun ini memperbesar tabligh. Seperti dikatakan ketua Pedoman Besar (pucuk pimpinan) GAI yang baru dipilih, Prof. dr. H. Ahmad Muhammad, “kita tidak perlu malu-malu lagi keluar lubang yang kita diami ini. Kita siarkan Islam dengan paham Ahmadiyah (Lahore – red.) terang-terangan.” Dan dengan demikian mereka berniat mengisi awal abad XV yang cerah.
Masalahnya ialah, Ahmadiyah bukan hanya berarti Ghulam Ahmad. Tetapi juga sebuah jalan pikiran — yang umurnya sudah tentu lebih panjang dari masa hidup sang pemimpin. Dan jalan pikiran itu, ditubuhkan dalam organisasi, mengetengahkan prinsip ‘pemeliharaan agama oleh Tuhan secara bersambung-sambung’. Ahmadiyah, aliran Qadian maupun Lahore, memang salah satu dari kelompok dalam Islam yang membuat “resmi” urusan pemeliharaan itu. Pada aliran Qadian, yang mengakui Ghulam Ahmad sebagai nabi (persisnya “nabi yang tidak membawa syari’at”), pelembagaan itu diwujudkan dalam pengakuan terhadap para “khalifah” Ghulam Ahmad — dan sekarang ini khalifah ke-3, Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad.
Bedanya dengan khalifah zaman awal Islam, yang merupakan pengganti Muhammad s.a.w. sebagai kepala masyarakat atau pemerintahan, khalifah Ahmadiyah ini tak lain kepala masyarakat Ahmadiyah yang sama sekali tak ada hubungannya dengan pemerintahan negara. Tapi justru pada ahmadiyah Lahore legitimasi ketuhanan pada pemeiharaan agama untuk masa-masa selanjutnya itu lebih jelas. Berdasar sebuah hadis Nabi Muhammad (yang di kalangan Islam luaran tidak menduduki tempat sentral) yang menerangkan bahwa Allah akan membangkitkan pada tiap permulaan abad seseorang “yang akan membarui ihwal agama mereka,” mereka menetapkan adanya para “pembaru yang bermandat”. Dengan kata lain Allah sendiri yang menunjuknya melalui ‘wahyu wali’ atau ‘wahyu tajdid’ — bukan wahyu kenabian.
Masalah Swasta
Bagi mayoritas muslimin di luaran, masalah pembaru sebaliknya tak dipusingkan benar — lebih dianggap “masalah swasta”. Kalaupun memang Tuhan menurunkan para pembaru setiap abad, biarlah para pemimpin itu bergerak dan nanti dicocokkan dengan ajaran induk plus tuntutan aktual zaman. Hanyalah sejarah (meskipun hakikatnya Tangan Tuhan juga) yang akan mendorongnya sampai ke tingkat penerimaan umum.
Demikianlah terjadi dengan misalnya Imam Syafi’i, Ghazali, Ibnu Taimiah-yakni sebagian dari nama-nama yang oleh kaum Lahore diyakini sebagai para pembaru bermandat untuk abad-abad sebelum Ghulam Ahmad. Yang sangat penting sehubungan dengan kaum Lahore ialah, kesadaran tentang kesinambungan para pembaru itu betapapun datang setelah kehadiran Ghulam Ahmad. Lagi pula bukankah dia (seperti juga diyakini kalangan Qadian) sekaligus Almasih Yang Dijanjikan dan Almahdi yang ditunggu-tunggu? Keyakinan ini memang sangat bagus — dan agaknya memang dimaksud — untuk menghapus semangat messianisme di kalangan muslimin tradisional, tentu saja kalau mereka mau menerimanya.
Dan kenyataan bahwa Ghulam Ahmad kemudian merupakan titik pangkal, ditunjukkan oleh keyakinan bahwa abad ke-14 tak lain abad penaburan benih — sementara abad ke-15, sekarang ini, merupakan abad perkembangan dan berikutnya menjadi abad kegemilangan Islam (seperti juga dituliskan Imam Musa Projosiswojo dalam komentar di TEMPO). Toh umat Islam di luaran kenyataannya tak terlalu berkeberatan dengan golongan yang Lahore ini. Tentang mandat Tuhan untuk kesinambungan pemeliharaan agama misalnya. Bukankah itu juga hidup di kalangan Syi’ah — melalui para imam bersambung-sambung, dan seterusnya praktis para ulama tinggi yang betapapun tidak pernah mereka anggap kafir? Padahal perbedaan struktur keagamaan Islam mayoritas (Sunni) dengan Syi’ah jauh lebih besar dibanding perbedaannya dengan yang Lahore.
Berlainan dengan golongan Qadian mayoritas muslim kelihatannya keki kepada pangkat nabi yang mereka berikan kepada Ghulam Ahmad — sementara Muhammad s.a.w. jelas menda’wakan dirinya sebagai nabi terakhir. Demikianlah pertemuan para ulama di Mekah di tahun 1974 menganggap kaum Qadiani sebagai “di luar Islam” — sementara kaum Qadian sendiri menganggap demikian pula terhadap semua yang tak mau mengakui kenabian Mirza. Adapun golongan Lahore, setelah tidak menyetujui tindak saling mengafirkan itu, mereka memang tidak menganggap yang tak percaya kepada Ghulam Ahmad sebagai mujaddid atau tak percaya prinsip tajdid menurut pengertian mereka, sebagai kafir. “Melainkan, yah, bodoh, dalam tanda petik,” seperti misalnya diungkapkan Prof. Ahmad Muhammad.
Toh perbedaan dengan Qadiani rupanya mereka anggap penting. Dalam muktamar sendiri terjadi perdebatan tentang perlu tidaknya tetap mencantumkan ‘Lahore’ dalam nama organisasi. Dan 21 suara mempertahankan, sementara hanya dua yang menentang. Ini penting rupanya. Seperti dikatakan Soewindo SH, Ketua II PB GAI yang sehari-harinya hakim pada Pengadilan Negeri Yogya, “karena ada ‘Lahore’ itu pula izin muktamar cepat keluar.” Tapi jangan dikira Ahmadiyah Lahore laku keras. Jumlah peserta muktamar itu memang mencerminkan sedikitnya warga resmi (yang dibai’at), yang menjadikan kumpulan ini organisasi yang barangkali paling mini. Anggota seluruhnya hanya 708 orang, tersebar di 16 cabang. Cabang Yogya, tempat berdirinya organisasi pada 29 September 1929, terhitung paling menonjol karena punya kompleks sekolah PIRI (lihat box). Tapi sekolah-sekolah PIRI itu memang memberi kesan seolah organisasi ini lebih merupakan pusat kegiatan dari pada penampungan warga.
Prestasi golongan ini di masa penjajahan dulu, yakni menyebarkan pikiran “modern” yang “mempertemukan religie dan wetenschap”, dan betapapun mempengaruhi banyak sekali tokoh seperti Ir. Soekarno atau lebih-lebih Tjokroaminoto (TEMPO 21 September 1974), rupanya memang memuaskan setidak-tidaknya pada waktunya. Dan mereka barangkali juga merasakan hal itu. Tapi entahlah kalau “kebangkitan” seperti yang diucapkan berulang-ulang dalam muktamar berarti semangat baru untuk mencari anggota resmi — sambil menunggu datangnya mujaddid abad ini. Siapa? “Tidak harus dari golongan Ahmadiyah,” kata Ahmad Muhammad, yang sehari-harinya Guru Besar dalam Ilmu Faal pada Fakultas Kedokteran UGM. “Tetapi dia harus dan memang diramalkan akan mengakui Mirza Ghulam Ahmad. Juga mengakui bahwa ajaran Mirza belum sempurna, karena itu perlu disempurnakan. Dan hanya dengan itu kita ikuti.” Dan itulah sebabnya Ahmadiyah tetap bernama Ahmadiyah.
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1980/01/12/AG/mbm.19800112.AG53216.id.html
Comment here