Mungkin puasa bicara ini menjadi penting kita lakukan saat ini, paling tidak selama bulan Ramadhan. Kalau kita dihujat, tidak usah balik menghujat. Kalau kita dicaci, tidak usah balik memaki. Kita hanya berbicara hal-hal yang sungguh sangat penting. Itu pun kalau masih bisa ditunda, simpan dulu sampai ramadhan usai.
Oleh: Mulyono | Sekretaris PB GAI
Perjalanan kita sampai ke bulan Ramadhan lagi. Tetapi Ramadhan tahun ini tentu bukan Ramadhan yang pernah kita lewati pada tahun-tahun yang lalu. Kalau kita menganggap Ramadhan tahun ini sama dengan Ramadhan tahun lalu, berarti kita hanya berjalan memutar. Orang yang berjalan berputar-putar tidak akan pernah bisa sampai ke tujuan.
Hidup adalah sebuah perjalanan ke arah tujuan. Di ayat terakhir Surat Al-Insyirah dinyatakan, wa ila rabbika farghab, “dan jadikanlah Tuhan dikau sebagai satu-satunya tujuan.” Di kalimat penutup ayat 14 Surat Ali Imran juga dinyatakan, wallahu ‘indahu husnu-l ma ‘aab, “dan Allah, di sisi-Nya adalah tujuan (hidup) yang baik.”
Jadi tujuan perjalanan hidup kita adalah Tuhan. Kita harus berjalan menuju Tuhan. Kita tak pernah bosan untuk memohon kepada Allah agar ditunjukkan jalan yang lurus, ihdinash-shiratha-l mustaqim, agar lebih cepat sampai ke tujuan perjalanan kita. Jalan yang lurus pasti jarak tempuhnya lebih dekat ketimbang jalan yang berbelok-belok, apalagi berputar-putar. Kita ingin segera sampai di tujuan akhir perjalanan kita, selagi kita masih hidup di dunia ini, dan tidak harus menunggu kematian kita.
Nabi Suci saw. sudah mencapai tujuan itu ketika masih hidup. Peristiwa Mi’raj beliau menggambarkan dengan jelas tentang hal itu.
“Dan ia berada di daerah cakrawala yang paling tinggi, lalu ia mendekat dan bertambah dekat lagi, maka ia berjarak dua busur atau lebih dekat lagi (QS 53:7-9).
Bukti bahwa Nabi Suci saw. telah sampai ke tujuan perjalanan hidup beliau di sisi Allah, Allah menyambut kedatangan beliau dengan ucapan: Assalamu ‘alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakatuh, “salam (damai) bagimu wahai Nabi, dan rahmat Allah, dan berkah-Nya (akan selalu menyertaimu).”
Orang-orang lain yang tergolong ‘ibadillahi-sh shalihin, yaitu shiddiqin, syuhada dan shalihin pasti juga sudah mencapai itu. Mereka adalah orang-orang yang memperoleh nikmat Allah (QS 4:69). Nikmat Allah itu adalah petunjuk untuk menemukan jalan lurus dalam perjalanan menuju ke hadirat-Nya (QS 1:6).
Kita semua juga dijanjikan oleh Allah untuk bersama-sama mereka, kalau kita taat kepada Allah dan Rasul (QS 4:69), atau dengan bahasa lain, kalau kita sudah melakukan segala kebaktian, baik dengan ucapan maupun perbuatan, demikian pula pengorbanan harta benda hanyalah untuk Allah semata, attahiyyatulillah, wash-shalawatu wath-thayyibat.
Selama bulan Ramadhan kita diwajibkan berpuasa. Secara syar’i puasa adalah berpantang makan, minum, dan ‘bercampur’ sejak terbit fajar hingga matahari terbenam, 29 atau 30 hari berturut-turut. Kewajiban ini hanya untuk orang-orang yang beriman. Tujuannya agar orang-orang beriman itu juga bertaqwa (QS 2:183).
Kita banyak sekali menjumpai ayat Qur’an yang memasangkan kata iman dan taqwa ini, seolah-olah (atau memang demikian) iman itu berbeda dengan taqwa. Iman saja belum cukup, melainkan masih harus ditambah dengan taqwa. Ibadah puasa akan menjadikan orang-orang yang sudah beriman untuk juga bertaqwa, kalau puasanya sukses.
Menurut pemahaman saya hingga hari ini, iman berhubungan dengan perbuatan baik. Orang yang beriman adalah orang yang selalu berbuat baik. Dalam Islam ada keyakinan-keyakinan pokok yang disebut Rukun Iman.
Bukti kalau kita beriman kepada Allah adalah kalau kita selalu berbuat baik, sebagaimana Allah selalu berbuat baik kepada apa dan siapa pun. Hadits Nabi saw. mengatakan, “berbudi pekertilah kamu sebagaimana pekerti-pekerti Allah.”
Kalau Qur’an berulang-ulang menyatakan bahwa kita adalah khalifah Allah, mungkin kita harus selalu mewujudkan sifat-sifat Ketuhanan di dalam batin kita dan mengaktualisasikan dalam praktik kehidupan kita.
Beriman kepada Malaikat, berarti kita harus selalu taat kepada perintah Allah, juga undang-undang negara, norma sosial, dll. Beriman kepada Kitab-kitab Allah berarti kita harus mengerjakan ajarannya. Beriman kepada Utusan-Nya berarti kita harus ittiba, mengikuti dengan tanpa reserve apa yang diajarkan dan dicontohkan.
Beriman kepada Akhirat berarti kita harus juga selalu berbuat baik karena di akhrat kita harus mempertanggungjawabkan setiap ucapan, sikap dan perbuatan kita. Sedangkan beriman kepada Taqdir, berarti kita harus juga selalu berbuat baik, karena menurut taqdir Allah, menanam kebaikan akan berbuah kebaikan, sedangkan menanam kejahatan akan berbuah kejahatan pula. Intinya, iman berhubungan dengan perbuatan baik.
Soal arti kata taqwa, Maulana Muhammad Ali mengartikannya sebagai “menjaga diri dari kejahatan,” meski kata itu mencakup pula arti “memenuhi kewajiban”. Mungkin ada orang yang sudah berbuat baik, tetapi belum mampu menjaga diri dari kejahatan.
Misalnya seperti yang hari-hari belakangan ini kita lihat atau baca di media massa, sejumlah orang membagi-bagikan kekayaannya kepada banyak orang lain, tetapi diduga harta itu hasil kejahatan. Berarti dia sudah beriman tetapi belum bertaqwa.
Sebaliknya, mungkin ada orang yang mampu menjaga diri dari kejahatan tetapi enggan berbuat baik. Misalnya tidak mau bersedekah karena merasa apa yang dimiliki adalah hasil jerih payahnya sendiri, dan oleh karena itu mutlak menjadi hak miliknya sendiri.
Yang dituju oleh ibadah puasa adalah agar orang-orang yang sudah berbuat baik itu juga menghindari perbuatan jahat. Kalau kita mampu beriman dengan benar dan sekaligus bertaqwa dengan benar, kita dijanjikan oleh Allah untuk dibukakan berkah-berkah dari langit dan bumi (QS 7:96).
Dalam berpuasa kita dilatih menahan lapar dan haus serta nafsu birahi. Kalau latihan ini berhasil, maka kita tidak akan tamak dan rakus terhadap harta benda. Kalau puasa kita berhasil, maka kita akan mampu mengendalikan diri terhadap keinginan-keinginan sensual yang menggelincirkan.
Umat Islam sudah diperingatkan oleh Allah sejak jauh-jauh hari, ketika mereka masih sangat lemah, baik secara sosial, politik, dan apalagi ekonomi. Dalam wahyu permulaan yang berjudul At-Takatsur, yang artinya memperbanyak harta, dinyatakan:
“Memperbanyak harta menyelewengkan kamu sampai kamu mengunjungi kubur. Tidak, kamu akan segera mengetahui, sekali lagi kamu akan segera mengetahui. Tidak, sekiranya kamu mengetahui dengan keyakinan ilmu, niscaya kamu akan melihat neraka. Lalu kamu akan melihat itu dengan keyakinan penglihatan, lalu pada hari itu kamu pasti akan ditanya tentang kenikmatan”.
Surat ini tentu tidak hanya ditujukan kepada orang-orang Islam zaman awal. Bahkan kalau ditujukan kepada mereka waktu itu mungkin tidak ada artinya karena masih sangat miskin, dan peluang untuk mendapatkan harta sangat kecil.
Mungkin peringatan itu lebih cocok ditujukan kepada kita di zaman ini, dimana harta melimpah ruah di man-mana. Persoalan kita dalam hal ini hanya kemauan dan kerja keras dalam mencari peluang untuk mendapatkan harta.
Tetapi melalui Surat ini kita diingatkan bahwa bekerja sekeras-kerasnya untuk mengumpulkan kekayaan akan menyelewengkan kita dari jalan lurus menuju Tuhan. Dan kita baru sadar ketika kita sudah masuk ke liang kubur.
Ini belum berbicara soal cara-cara yang tidak halal dalam mendapatkan harta. Kalau harta kekayaan itu diperoleh dengan cara yang tidak halal, pasti akibatnya akan lebih fatal lagi. Ayat 5 sampai 7 Surat ini mungkin mengisyaratkan bahwa di balik tumpukan harta itu sesungguhnya adalah neraka, kalau kita tahu.
Sayang kita tidak mampu melihatnya. Kita hanya menduga bahwa kekayaan yang melimpah akan membuat kita bahagia. Lalu ayat terakhir menyatakan bahwa nantinya kita akan ditanya, sebenarnya apa sih nikmatnya harta yang bertumpuk-tumpuk itu?
Di Surat lain yang diwahyukan tidak berselang lama, yang berjudul Al-Humazah, Allah bahkan mengecam orang-orang yang sibuk menumpuk-numpuk harta dan menghitung-hitungnya. Tidak bisa tidak, harta itu hanya akan menimbulkan fitnah, kecurigaan, iri hati, dan akhirnya permusuhan, saling mengumpat.
Kita mengira bahwa segalanya dapat dibeli dengan kekayaan. Orang yang memiliki banyak harta tidak perlu takut sakit, atau bahkan mati. Apa pun sakitnya, dia bisa membiayai untuk berobat ke mana pun, dengan biaya berapa pun. Dia tidak lagi memerlukan Allah, dia hanya memerlukan uang. Dia sudah tidak bergantung lagi kepada Allah, selain hanya bergantung kepada kekayaan yang melimpah.
Puasa tidak sekedar menahan lapar dan haus di siang hari. Siti Maryam, wanita yang disucikan oleh Allah, berpuasa bukan hanya tidak makan dan tidak minum, tetapi juga tidak berbicara kepada orang lain. Ibunda Nabi Isa a.s. itu bukan hanya memuasakan perutnya, tapi juga lisannya.
Nabi Zakariya a.s., juga tidak berbicara selama tiga hari . Tidak mustahil, meski tidak disebutkan, Nabi Zakariya pun sedang berpuasa juga. Tidak berbicaranya Siti Maryam dan Nabi Zakariya, mungkin untuk memperoleh ketenangan penuh, konsentrasi penuh, kekhusukan penuh dalam bermunajat kepada Allah. Dan, doa mereka dikabulkan oleh Allah.
Mungkin puasa bicara ini menjadi penting kita lakukan saat ini, paling tidak selama bulan Ramadhan. Kalau kita dihujat, tidak usah balik menghujat. Kalau kita dicaci, tidak usah balik memaki. Kita hanya berbicara hal-hal yang sungguh sangat penting. Itu pun kalau masih bisa ditunda, simpan dulu sampai ramadhan usai.
Belakangan ini para politisi, pejabat negara dan para pakar terus-menerus berbicara siang-malam. Kita menjadi semakin susah menangkap substansi pembicaraan mereka. Kita semakin sulit menilai mana yang mengandung kebenaran. Sepertinya semua sama saja. Riuhnya pembicaraan mereka menyebabkan telinga kita menjadi pekak, budeg. Telinga kita menjadi sakit.Akibatnya kita tidak lagi mampu mendengarkan suara-suara Tuhan yang latif, maha lembut.
Mungkin ada baiknya kita memuasakan telinga kita juga. Kita puasa mendengar. Selama bulan Ramadhan ini kita belajar mendengar hanya suara-suara Tuhan saja. Kita latih kepekaan telinga kita dengan membaca Kalamullah, Qur’an Suci, sambil kita renungkan isinya, lalu kita amalkan pesan-pesannya, perintah-perintahnya. Kita baca juga sejarah Nabi Suci saw. dan nabi-nabi lain, juga sejarah para sahabat Nabi, para mujaddid dan orang-orang tulus lainnya, agar kita termotivasi untuk meneruskan missinya.
Dalam QS 9:112 dan 66:5, orang yang berpuasa disebut saih, “orang yang tengah melakukan perjalanan”. Orang yang berpuasa sedang mengabaikan kebutuhan-kebutuhan jasmaninya, seperti makan dan minum. Kesenangan duniawi kita campakkan.
Dalam keadaan lapar dan haus yang secara sengaja dilakukan untuk memenuhi perintah Allah, akan menumbuhkan kesadaran batin, kesadaran akan kebergantungan kita kepada Allah, kerinduan yang menggebu-gebu untuk bertemu dengan Dia, satu-satunya tujuan perjalanan hidup kita.
QS 2:186 dengan jelas menggambarkan hal itu. Puasa yang sungguh-sungguh, akan memunculkan kerinduan untuk cepat-cepat bertemua dengan Allah. Di situlah segala doa kita dikabulkan oleh-Nya.
Pesan Qur’an terakhir dalam konteks puasa ini adalah:
“Dan janganlah kamu menelan harta di antara kamu sendiri dengan jalan yang tidak sah, dan jangan pula menyuap dengan itu kepada para hakim, agar kamu dapat menelan sebagian harta manusia secara tidak sah, sedangkan kamu tahu.” (QS 2:187).
Menumpuk-numpuk harta dengan cara yang benar saja dikecam oleh Allah karena bisa melalaikan manusia untuk mengingatNya, apalagi dengan cara yang tidak sah. Wallahu a’lam bish-shawab.[]
Comment here