Artikel bertajuk “Adam dan Anthropus: Suatu Tinjauan Wahyu dan Ilmu Pengetahuan” yang ditulis oleh Saudara Anharuddin, dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat pada 15 Oktober 1982, patut mendapat acungan jempol. Sebabnya, artikel itu telah menggelitik kita untuk angkat pena, menurunkan interpretasi tentang wahyu dan sains, yang amat diperlukan umat manusia dewasa ini.
Tulisan itu merangsang kita untuk berfikir ulang dan menatap kembali ayat-ayat Tuhan, baik yang tersurat di dalam Kitab Suci (Al-Quran), maupun yang tersirat di alam semesta.
Kita semua boleh jadi sependapat bahwa tak ada pertentangan antara ayat-ayat Tuhan yang tersurat dalam Al-Quran dengan yang tersirat di alam semesta, sebab kedua-duanya berasal dari Allah Yang Esa, yang mempunyai sifat-sifat yang baik (al-asma al-husna, lih. QS 7:180), yang sifat-sifatnya itu tidak saling bertentangan satu sama lain.
Al-Quran adalah Kalamullah artinya firman Allah (QS 9:6), atau al-Qaul artinya firman (QS 23:68, 39:18). Selanjutnya saya sebut ayat qauliyah. Sedangkan alam semesta, sebagai perwujudan kehendak Ilahi yang dinyatakan dengan kata “Kun” (berasal dari akar kata kaana, yakuunu, kun artinya “ada atau jadi”), disebut al-Kaun, artinya “yang diadakan atau dijadikan”. Ayat-ayat yang tersirat di dalamnya (yakni di alam semesta itu) selanjutnya saya sebut ayat qauniyah.
Penyelidikan terhadap ayat-ayat qauliyah akan melahirkan ilmu-ilmu agama, seperti tafsir, fiqih, aqa’id, dsb. Sedangkan penyelidikan terhadap ayat-ayat qauniyah yang tersimpan secara rapi, aman dan pasti di semesta ini, akan melahirkan sains seperti biologi, fisika, kimia, geografi, antropologi, dsb.
Pertentangan antara ilmu agama dan sains mungkin saja terjadi, disebabkan oleh tiga opsi. Pertama, ilmu agamanya salah, tetapi sainsnya benar. Kedua, ilmu agamanya benar, tetapi sainsnya salah. Atau ketiga, kedua-duanya salah semua.
Tetapi jika kedua-duanya benar, tak mungkin akan terjadi pertentangan antara agama dan sains. Hal ini diisyaratkan Allah dalam firmanNya, “Tidak! Malahan (Quran Suci) itu adalah ayat-ayat yang terang dalam hati orang-orang yang diberi ilmu. Dan tak seorang pun menolak ayat-ayat kami kecuali orang-orang yang lalim.” (QS 29:49).
Ilmu agama yang salah, yang karena itu tak dapat diuji kebenarannya secara ilmiah, antara lain sebagai misal adalah ajaran mengenai: Nabi Adam a.s. sebagai manusia pertama, Nabi Isa a.s. masih hidup di langit, Nabi Isa a.s. lahir tanpa bapak, dsb.
Rumus 5W + 1H sebagai alat uji sejarah
Untuk memperoleh pengertian yang benar tentang sejarah seseorang atau suatu bangsa yang diceritakan di dalam Quran Suci (ayat-ayat qauliyah), misalnya tentang Adam a.s., kita harus menafsirkannya menurut disiplin ilmu sejarah (sebagai ayat-ayat qauniyah). Tentu tanpa mengabaikan kaidah-kaidah penafsiran Quran Suci yang benar.
Soal “Nabi Adam a.s. manusia pertama atau bukan?” adalah masalah sejarah, bukan masalah agama (baca: masalah iman). Sebab, yang wajib diimani oleh seorang muslim hanyalah soal “Adam a.s. sebagai nabiyullah yang pertama.”
Hal ini diisyaratkan Allah dalam firmannya (lihat QS Ali Imran 3:32). Juga dalam sabda Nabi Suci Muhammad saw., yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dari Sahabat Abi Dzar r.a., berbunyi “Permulaan para Rasul adalah Adam a.s. dan yang terakhir dari mereka adalah Muhammad saw. Adapun Nabi Israil yang pertama ialah Musa a.s., dan yang terakhir adalah Isa a.s. Dan orang yang pertama menulis adalah Idris a.s.”
Secara ilmiah, pembahasan setiap masalah, terutama masalah sejarah, hendaklah menggunakan rumus 5W+1H (what, when, who, why, where dan how). Tanpa itu, perbincangan soal sejarah itiu akan ngoyoworo dan ngalor ngidul, tidak mungkin akan didapatkan titik temu.
Sebagai contoh, simak saja ulasan para ilmuwan dan agamawan yang secara dogmatis mempercayai Nabi Adam a.s. sebagai manusia pertama yang diciptakan Allah, yang telah dimuat di harian ini (Harian Kedaulatan Rakyat). Pada umumnya, mereka tak mengemukakan soal kapan dan di mana Nabi Adam a.s. itu hidup di muka bumi ini.
Sekiranya rumus 5W+1H digunakan, nisyaca kita tak akan cepat-cepat apriori menolak, atau sebaliknya apriori menerima, bukti-bukti sejarah yang telah ditemukan para ahli terkait perkara ini. Sebaliknya, kita akan cenderung lebih reseptif, kritis dan analitis. Iman kita akan lebih hidup dan segar, tidak dogmatis. Padahal, iman yang dogmatis adalah sumber dari intoleransi, ateisme, sekularisme, dan skeptisisme.
Buktinya, Charles Darwin sendiri akhirnya menjadi ateis, karena hasil penelitiannya secara diametral bertentangan dengan Dogma Gereja tentang kosmogoni, termasuk penciptaan Adam sebagai manusia pertama.
Siapakah manusia yang pertama?
Pertanyaan tersebut sebenarnya tak ada artinya, baik bagi perkara iman maupun sains. Bagi iman, jelas bahwa Quran Suci dan Hadits Nabi tak memerintahkan manusia supaya beriman kepada manusia pertama. Sedangkan ilmu pengetahuan atau sains juga belum pernah menyatakan bahwa umat manusia di jagat raya ini keturunan dari satu orang yang bernama Adam.
Pertanyaan siapa manusia pertama, kapan dan di mana ia diciptakan, adalah sama saja dengan pertanyaan: di mana, kapan dan bagaimana kuda pertama diciptakan. Atau di mana, kapan dan bagaimana padi pertama diciptakan. Semua pertanyaan itu tidak akan terjawab!
Hal ini bukan berarti manusia pertama, kuda pertama, dan padi pertama tidak ada. Sekali-kali tidak! Tetapi semua ciptaan yang pertama adalah misteri, tak mungkin terpecahkan oleh manusia. Dalam bahasa agama: hanya Allah saja yang mengetahuinya.
Yang jelas, dalam Quran Suci ada ayat yang berbunyi, “Sesungguhnya Ia adalah Yang Mengawali dan Mengulang ciptaan,” (QS 85:13; 3:27). Menurut ayat ini, hukum penciptaan ada dua macam, yaitu hukum asal kejadian dan hukum tentang kelahiran (pengulangan). Hukum kedua (hukum kelahiran atau pengulangan) inilah kiranya yang menjadi tempat bergantungnya sains.
Persoalan berikutnya adalah, adakah argumen yang menyatakan bahwa Nabi Adam a.s. bukan manusia pertama? Mari kita tengok Quran Suci Surat Al-Baqarah ayat 30, yang menyebutkan bahwa Allah akan menjadikan “adam” sebagai “khalifah” di muka bumi.
Kata “khalifah” dalam ayat itu mengandung dua arti, yakni pengganti atau penguasa. Dalam arti yang pertama, menyiratkan bahwa “adam” yang disebut di ayat itu adalah pengganti “adam” sebelumnya. Jelasnya, sebelum adam yang disebut di dalam ayat itu, sudah ada banyak adam lain di muka bumi ini.
Muhammad bin Ali Al-Baqir, salah seorang imam dari dua belas Imam Syi’ah (Syi’ah Itsna Asyariyah) menyatakan bahwa “Sebelum Adam bapak kita, sudah ada berjuta-juta Adam.” Demikan pula Ibn Arabi, seorang sufi termasyhur, dalam kitabnya Al-Futuhat Al-Makkiyah, menyatakan bahwa “40.000 tahun sebelum Adam kita, sudah ada Adam yang lain.”
Lalu merujuk arti kata “khalifah” yang kedua, berarti “adam” adalah penguasa di muka bumi. “Penguasa” itu ada dua macam arti: penguasa duniawi (para raja) dan penguasa ukhrawi (para nabi atau rasul). Dalam arti ini jelas sekali bahwa “adam” yang dimaksud dalam ayat itu adalah seorang utusan (Rasul), yang diutus untuk memimpin umat manusia atau bangsa tertentu di muka bumi ini.
Soal kepada bangsa mana, kapan dan di mananya, ayat itu dan ayat lain di dalam Quran Suci tak menjelaskannya. Karena itu, peran ilmu sejarah menjadi penting untuk menyelidikinya. Sebab, ilmu sejarahlah yang bertugas mencatatkan berbagai macam peristiwa dan peradaban di dunia ini.
Para ahli sejarah memperoleh petunjuk bahwa bangsa tertua yang telah melalui masa pra sejarahnya di muka bumi ini adalah bangsa-bangsa yang hidup pada kira-kira masa 4.000 tahun Sebelum Masehi. Di antara bangsa yang telah masuk dalam “masa sejarah” itu antara lain Bangsa Mesir, Sumeria dan Cina.
Maka kemungkinannya, kepada tiga bangsa inilah kiranya Nabi “Adam” a.s. itu diutus sebagai nabiyullah yang pertama.
Setiap Ada Nabi, Pasti Ada Umat
Setiap kali seorang nabi diutus oleh Allah, tidak bisa tidak, pastilah ia diutus untuk suatu umat atau bangsa tertentu. Soal ini diisyaratkan dalam berbagai ayat di dalam Quran Suci. Antara lain dalam QS An-Nahl 16:36 dinyatakan, “Sesungguhnya telah Kami bangkitkan bagi tiap-tiap umat seorang Utusan (Rasul). Sabdanya: Mengabdilah kepada Allah dan jauhkanlah diri kamu dari setan.”
Menurut ayat ini, setiap nabi diutus kepada suatu bangsa untuk menyampaikan perkara tauhid dan ihsan. Jadi, ada umat dahulu, baru Allah membangkitkan seorang nabi di antara mereka, bukan sebaliknya. Sebab, jika umatnya belum ada, lantas kepada siapa nabi itu akan menyampaikan risalah Tuhan?
Lihat juga Firman Allah di dalam QS Ibrahim 14:4, “Dan tiada Kami mengutus seorang Utusan melainkan dengan bahasa kaumnya, sehingga ia dapat menerangkan itu (risalah Tuhan) dengan jelas kepada mereka.” Jelasnya, seorang nabi itu menerima wahyu dalam bahasa kaumnya, agar ia dapat menyampaikan risalah Tuhan dengan jelas kepada mereka.
Ini berarti bahwa sebelum seorang nabi dibangkitkan, telah ada kaum atau bangsa. Dan bangsa itu telah maju peradabannya, yang ditandai dengan adanya bahasa sebagai sarana komunikasi di antara mereka.
Demikan pula jika kita menyimak firman Allah dalam QS Al-Furqan 25:20, “Dan tiada Kami mengutus Utusan sebelum engkau melainkan mereka makan-makanan dan berjalan di pasar.” Ayat ini jelas menyiratkan bahwa seorang nabi dibangkitkan di tengah-tengah bangsa yang sudah maju peradabannya.
Salah satu tanda kemajuan peradaban yang lain dari suatu bangsa adalah ditinggalkannya sistem barter, karena adanya pasar sebagai pusat penukaran barang atau keperluan hidup sehari-hari.
Adam, sebagai seorang nabi, mestinya tunduk pula kepada hukum ini. Maka jika Adam adalah manusia pertama, dalam bahasa apakah wahyu yang beliau terima? Dan kepada siapakah wahyu itu disampaikan dan diterangkan? Dan jika Adam a.s. adalah manusia yang pertama, lantas siapakah yang berinteraksi dan berdagang di pasar seperti yang diisyaratkan dalam ayat di atas?
Lagi, firman Allah di dalam QS Al-Hijr 15:11, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (para Rasul) sebelum engkau (Muhammad saw.) di kalangan umat yang dulu-dulu. Dan tak pernah seorang Rasul datang kepada mereka melainkan mereka memperolokkan dia.”
Ayat ini jika diterapkan kepada Nabi Adam a.s. kira-kira begini. Adam a.s. diutus kepada suatu bangsa, katakanlah Bangsa Sumeria, yang dahulu tinggal di Mesopotamia. Di antara mereka ada yang menerima, dan sebagian lagi ada yang menolaknya, bahkan memperolok-oloknya. Tetapi jika Adam a.s. itu adalah manusia yang pertama, lantas siapa atau manusia mana yang akan mengejek beliau?
Istilah Mu’arab di dalam Quran
Kita semua tahu bahwa Quran Suci diwahyukan dalam Bahasa Arab (lihat penegasannya dalam QS 12:2, 13:37, 16:103, dsb). Tetapi kita perlu tahu juga bahwa kadangkala ada juga istilah asing, bukan Bahasa Arab asli, yang digunakan dalam Quran Suci. Dalam ilmu tafsir, istilah asing yang di-arab-kan itu disebut mu’arab.
Kata “adam” dalam Quran Suci adalah kata serapan dari bahasa Ibrani, yang artinya adalah manusia. Jadi, kata adam secara harfiah atau istilah artinya adalah “manusia.”
Tetapi kata “adam” bisa juga digunakan untuk nama diri, yang dalam bahasa kita (bahasa Indonesia) huruf awalnya harus ditulis dengan huruf kapital: ditulis “Adam,” bukan “adam.”
Sayangnya, bahasa Arab tidak mengenal huruf kapital. Maka, agak sukar bagi kita untuk membedakan terjemah “bani adam” dalam arti “keturunan manusia” (secara keseluhan atau umum) atau dalam arti “keturunan Adam” (sebagai nama seorang manusia).
Tetapi bagaimana pun, kata “bani adam” tak bisa digunakan sebagai dalil qath’i yang bisa digunakan untuk menyatakan bahwa Nabi Adam a.s. adalah manusia pertama yang diciptakan oleh Allah.
Sebabnya, bisa saja kata “adam” itu difahami secara majazi, misalnya dengan menyatakan bahwa Nabi Adam adalah “manusia sempurna” yang pertama. Dan dari sudut pandang ini pula, mudahlah memahami Hadits Nabi yang dikemukakan oleh Saudara Syaiful Bahri dalam tulisannya bertajuk “Adakah Ali Sebelum Adam” (dimuat di harian Kedaulatan Rakyat, 17 November 1982).
Hadits yang dikutipnya itu berbunyi “An-Naasu kulluhum min Aadam, wa Aadama min thuraabin.” Seharusnya, Hadits tersebut ditranskrip secara benar menjadi, “an-naasu kulluhum min aadam, wa aadamu min thuraabin.”
—————————-
Artikel di atas ditulis oleh Simon Ali Yasir, dengan judul “Tidak ada Pertentangan Antara Al-Quran dan Alam Semesta (Keselarasan Antara Ayat Qauliyah dan Ayat Qauniyah).”
Artikel ini pernah dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat pada 29 November 1982. Lalu diterbitkan dengan berbagai artikel lain dari berbagai penulis dalam buku bertajuk “Asal-Usul Manusia Dalam Polemik,” terbit tahun 1982.
Diketik ulang dan disunting oleh Asgor Ali.
Comment here