Pada Bulan Mei tahun 1947, Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI), Ahmadiyah beraliran Lahore, dalam Muktamarnya di Purwokerto, antara lain memutuskan, “Menambah langkah dan tugasnya menyiarkan keindahan Islam dan mempertahankan kebenaran Islam, dengan jalan mendirikan sekolah-sekolah.”
Putusan ini diambil mengingat adanya perubahan ketatanegaraan di negara kita, dari negara jajahan menjadi negara merdeka. Pada zaman penjajahan Belanda dahulu, GAI dalam melaksanakan tugasnya menyiarkan Islam dan mempertahankan Islam, terbatas hanya mengeluarkan buku-buku agama Islam dalam bahasa Belanda.
Mengapa demikian? Pada waktu itu, kaum terpelajar kita yang telah biasa minum susu Eropa, lebih suka membaca atau mempelajari buku-buku yang ditulis dengan Bahasa Belanda. Kepada Bahasa Indonesia atau Bahasa Daerah, apalagi Bahasa Arab, mereka segan membacanya. Ibarat sawah, mewujudkan tanah kosong yang tak terpelihara.
Hal ini diinsyafi benar-benar oleh GAI. Maka untuk mencukupi kebutuhan itulah, GAI mengeluarkan buku-buku agama Islam dalam bahasa Belanda, besar dan kecil.
Adakah buahnya? Hati yang jujur tentu dapat melihat dengan mata kepala sendiri dan mau mengakuinya. Beberapa kaum terpelajar kita, yang pada permulaan Indonesia merdeka memegang pemerintahan sebagai wakil dari organisasi Islam, beliau-beliau itu telah mempunyai hubungan batin yang erat dengan GAI, karena kebanyakan telah mempelajari buku-buku agama Islam berbahasa Belanda.
Di antara buku-buku itu adalah De Heilige Qur’an, De Religie Van den Islam, Muhammad de Propheet, Hetgeheim van Het Bestaan, Het Geloof aan God, dan lain-lain. Semua buku itu diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Bapak Sudewo. Di antara kaum terpelajar kita itu, ada juga karena keyakinannya, lalu bai’at menjadi anggota GAI, kemudian aktif menyiarkan Islam dan mempertahankan Islam, dengan segala tenaga, fikiran, dan hartanya.
Setelah Indonesia merdeka, Muktamar GAI memutuskan menambah penyiaran Islam dengan mendirikan sekolah-sekolah. Maka anggota GAI yang ada di Yogyakarta berniat mempelopori dan merealisir Putusan Muktamar itu, dengan mendirikan sekolah-sekolah.
GAI itu anggotanya tidak banyak. Harta kekayaan pun tidak punya. Padahal, mendirikan sekolah itu biayanya cukup besar. Tetapi anggota GAI jiwanya cukup kuat. Semangat penyiaran Islam menyala-nyala dalam dadanya. Keyakinan akan kebenaran Islam yang ditanamkan oleh Mujaddid abad 14 Hijriyah, berkobar-kobar tak kunjung padam.
Ketua PB GAI, Bapak H. Minhadjurrahman Djojosoegito, mempelopori mengadakan rapat persiapan membentuk Panitia, bersama-sama dengan Bapak Supratolo, Bapak Ali Murni Partokusumo, Bapak Surono Citro Sancoko, dan saya sendiri (Ibu Kustirin).
Karena pada dasarnya GAI itu lebar dada, artinya mempunyai pegangan, “barang siapa mengucapkan kalimat syahadat adalah saudara kita di dalam Islam,” maka dalam rapat persiapan itu diputuskan, akan mengajak simpatisan GAI untuk duduk dalam panitia.
Setelah kami hubungi Sdr. Abbas Sutan Pamucuk Nan Sati, Sdr. Arifin Temiyang, Sdr. Sutan Muh. Said, Sdr. R. Ahmad Mertosono, dan Sdr. KRT. Taniprojo, semua menyediakan diri duduk dalam Panitia, dengan segala keikhlasan hati.
Berkali-kali Panitia mengadakan rapat. Waktu membicarakan nama sekolah, pertukaran pikiran dan pembicaraan agak lama. Dari pihak kita menghendaki nama Ahmadiyah dicantumkan, sehingga nama sekolah itu menjadi: Perguruan Islam Ahmadiyah Indonesia. Tapi dari pihak satunya menghendaki nama Ahmadiyah tidak dicantumkan. Khawatir, kalau-kalau sekolah itu tidak dapat murid, karena masih masih banyak orang yang benci kepada Ahmadiyah.
Oleh karena tugas Ahmadiyah itu menyiarkan Islam, yang berarti nama Islam lebih diutamakan, akhirnya panitia mendapat kata sepakat dengan nama: Perguruan Islam Republik Indonesia, disingkat PIRI.
Sumber Artikel : Buku Seperempat Abad PIRI, 1947-1972
Penyunting : Asgor Ali
Comment here