Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2005 tentang Ahmadiyah di Indonesia harus diakui, sedikit atau banyak, telah mempengaruhi eksistensi gerakan kita, Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI). Meskipun, jika kita telisik lebih jauh dan kita bandingkan dengan fatwa sebelumnya tahun 1980, fatwa itu lebih ditujukan kepada Ahmadiyah faksi yang lain, yang juga berkembang di Indonesia.
Setidaknya, asumsi ini tampak dari berbagai statemen beberapa tokoh MUI sendiri, para pemangku pemerintahan, dan berbagai tokoh yang dianggap sebagai representasi Islam Indonesia. Hal ini juga diperkuat oleh lahirnya berbagai peraturan pemerintah seperti SKB 3 Menteri No. 3 Tahun 2008 dan Instruksi Menag No. 2 Tahun 2011. Juga jangan lupa, lahirnya butir-butir pernyataan yang keluar pasca rangkaian dialog antara kementrian agama dan ahmadiyah, bukanlah pernyataan yang berasal dari pihak kita.
Selama ini mungkin dampak itu kita rasakan secara laten belaka. Tetapi, dampak itu hari-hari ini seakan merangkak mewujud secara kasat mata. Sebagai contoh nyata adalah apa yang sudah kita alami pada Jalsah Salanah yang kita selenggarakan awal tahun 2012 lalu. Lantas peredaran buku-buku kita yang dulu lebih leluasa merambah pasar publik, saat sekarang ini relatif mengalami hambatan luar biasa, di samping tentu saja hal ini juga tidak boleh dipungkiri akibat dari persoalan internal yang tak kunjung usai.
Demikian juga krisis yang melanda lembaga pendidikan yang kita punya, yakni Perguruan Islam Republik Indonesia (PIRI), belakangan oleh banyak kalangan pengelolanya disebut-sebut sebagai imbas belaka dari hubungannya dengan Ahmadiyah.
Soal Kenabian HMGA
Persoalan mendasar yang melahirkan fatwa MUI itu, salah satu kemungkinannya adalah barangkali dengan ditemukannya “fakta” tentang dakwah atau klaim kenabian Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Hal ini bagi sebagian kalangan, utamanya MUI dan yang sepaham dengannya, dianggap sebagai penyimpangan berat terhadap doktrin Islam yang “baku”, yang menyatakan bahwa kenabian telah berakhir pada diri Nabi Muhammad saw. Dengan begitu, pengakuan kenabian oleh siapapun selepas beliau, seperti halnya yang diakukan kepada HMGA, dianggap mengingkari berakhirnya kenabian Muhammad saw.
Terhadap masalah ini, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sendiri, dalam perspektif Ahmadiyah Lahore, telah memberikan penjelasan berulang kali, baik secara langsung dalam berbagai forum maupun melalui tulisan di berbagai buku. Beliau berulang-ulang menyatakan bahwa pengakuan kenabian seperti yang dituduhkan oleh umat Islam pada umumnya itu sama sekali tidak ada, sambil menegaskan keyakinannya bahwa Nabi Suci Muhammad saw. adalah khâtaman-nabiyyîn, dalam arti nabi yang terakhir.
Bahkan beberapa waktu sebelum Hazrat Mirza Ghulam Ahmad wafat pun, penegasan seperti itu masih dilakukan lagi. Ini membuktikan bahwa keyakinan beliau atas berakhirnya kenabian pada diri Nabi Suci Muhammad saw. begitu kuat, sama kuatnya dengan penolakan beliau atas tuduhan bahwa beliau mengklaim diri sebagai nabi dan juga penolakan beliau atas klaim kenabian yang diakukan kepada diri beliau.
Sebegitu jauh penjelasan soal klaim kenabian itu beliau berikan, sampai-sampai beliau menyatakan bahwa jikalau seseorang sulit memahami istilah nabi dari berbagai pernyataan beliau, maka dia dipersilahkan menghapus dan menganggap pernyataan itu tidak pernah ada. Artinya, klaim kenabian yang menimbulkan kontroversi itu telah dijernihkan dengan pernyataan “Tidak ada nabi sesudah Nabi Suci Muhammad saw., baik nabi lama maupun nabi baru”, sambil merujuk sabda Nabi saw. “lâ nabiyya ba’dî”. Oleh karena itu jika orang mau memperhatikan fakta ini, maka kontroversi klaim kenabian Hazrat Mirza Ghulam Ahmad seharusnya telah berakhir.
Persoalan kenabian ini, di kalangan para pendahulu Ahmadiyah, secara internal sudah muncul pada era kepemimpinan Maulana Hakim Nuruddin, pengganti kepemimpinan Anjuman selepas Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Adalah Maulana Muhammad Ali, salah seorang pengikut setia Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, yang sedari awal konsisten dalam membantah keras tuduhan orang terhadap klaim kenabian Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Tak terkecuali, bantahan itu ditujukan kepada sebagian pengikut HMGA sendiri yang “mengiyakan” tuduhan orang atas klaim kenabian beliau.
Maulana Muhammad Ali telah menunjukkan sikap “gerah” atas isu kenabian itu sejak awal kepemimpinan Nuruddin. Belakangan, sikap gerah itu disampaikan kepada Hakim Nuruddin, tetapi tampaknya Hakim Nuruddin tidak menghendaki terjadinya konflik terbuka atas isu ini. Dengan wafatnya Maulana Hakim Nuruddin, isu ini tidak bisa dicegah lagi untuk muncul ke permukaan, dan bahkan telah berbaur dengan isu politik kepemimpinan Jemaat.
Terlepas dari upaya-upaya pemenangan dari pihak rival, fakta politik menunjukkan bahwa Maulana Muhammad Ali tidak terpilih sebagai pimpinan Jemaat. Hal ini dianggap menutup peluang bagi Maulana Muhammad Ali untuk mempertahankan pemahamannya terhadap misi dan posisi Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, di internal jemaat. Oleh karena itu Maulana Muhammad Ali, dengan dukungan sejumlah karibnya, memisahkan diri dari Jemaat dan membentuk faksi tersendiri, dengan mengusung doktrin yang dipahami dari Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sendiri, yang antara lain menyatakan secara tegas bahwa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad bukan nabi melainkan seorang mujaddid.
Klaim-klaim HMGA terkait kenabian, seperti halnya klaim “kenabian bayangan” (zlillun-nabi), kenabian majazi, kenabian ghairu mustaqil, dan sebagainya, ditegaskan harus dipahami dalam istilah sufistik atau metaforis, dan bukan “nabi” dalam istilah syar’i. Ini pulalah yang dikemukakan dalam semua buku Maulana Muhammad Ali yang berbicara tentang masalah ini.
“Asbabun-Nuzul” Gerakan Ahmadiyah di Indonesia
Gerakan Ahmadiyah Indonesia, sebenarnya tampak melepaskan diri dari “pertikaian” soal nabi-bukan nabi bagi Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, meskipun tidak jarang terseret juga kepada persoalan ini. Memang, fakta menunjukkan bahwa Gerakan Ahmadiyah Indonesia mengusung paham keagamaan Islam versi Ahmadiyah faksi Maulana Muhammad Ali, atau yang populer dengan nama Ahmadiyah Lahore.
Tetapi ada satu hal penting yang perlu dicatat, merujuk pada adanya cerita lisan mengenai terjadinya sebuah dialog antara Minhadjurrahman Djojosoegito, tokoh sentral GAI, dengan Mirza Wali Ahmad Baig, salah seorang muballigh Ahmadiyah Lahore yang cukup lama mukim di Indonesia untuk melakukan dakwah Islam. Dalam dialog itu, Djojosoegito bertanya kepada Ahmad Baig “Apakah Saudara bermaksud mendirikan cabang Ahmadiyah Lahore di Indonesia?”, dijawab dengan kata “tidak”.
Boleh jadi oleh sebab itulah, Djojosoegito dan kawan-kawan mendirikan Gerakan Ahmadiyah Indonesia sebagai organisasi otonom, dan mendeklarasikan diri sebagai organisasi yang sama sekali tidak memiliki hubungan organisatoris atau struktural dengan organisasi Ahmadiyah Lahore di mana pun, termasuk di pusatnya, Pakistan. Adapun penulisan “centrum Lahore” yang disertakan dalam tanda kurung dalam nama organisasi ini, tampaknya lebih sebagai upaya distingsi atas faksi Ahmadiyah lainnya yang juga berkembang di Indonesia.
Terkait dengan ide-ide keagamaan antara GAI dan Ahmadiyah Lahore, Djojosoegito menganalogikannya sebagai hubungan antara biji mangga dengan pohonnya. GAI diibaratkan hanya mengambil pelok (biji) mangga dari pohon Ahmadiyah Lahore, yang biji itu kemudian ditanam di bumi Indonesia, disiram dengan air Indonesia, dan dipupuk dengan pupuk Indonesia pula. Sayangnya Djojosugito tidak memberikan pemaknaan lebih jauh dan lebih detail tentang gambaran itu, setidaknya melalui tulisan-tulisan yang dapat digunakan sebagai bahan kajian bagi generasi sesudah beliau.
Tetapi kita bisa memperhatikan implementasi dari gambaran itu dalam praktik para faunding fathers GAI, sekurang-kurangnya yang tampak pada karya-karya terjemahan dari buku-buku Ahmadiyah, baik karya Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sendiri maupun tokoh-tokoh penting lainnya (Maulana Muhammad Ali, Khawaja Kamaluddin, dll.).
Sejauh yang saya ketahui, buku-buku Ahmadiyah yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, tidak ada satu buku pun yang memuat kontroversi kenabian Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Yang ada adalah buku-buku yang secara tegas menyatakan, bahwa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad adalah bukan nabi, melainkan mujaddid, dan bahwa Nabi Suci Muhammad saw. adalah penutup era kenabian, yang sesudahnya tidak akan ada nabi lagi, baik nabi lama maupun nabi baru. Inilah yang seharusnya menjadi sudut, atau titik, dari mana orang memandang, atau memahami tentang apa dan bagaimana GAI.
Menatap Masa Depan
GAI telah menunjukkan eksistensinya selama lebih dari 80 tahun di Indonesia. Jika dilihat pada segi organisasinya, maka secara objektif harus diakui bahwa GAI telah gagal membangun organisasi dakwah yang kuat. Tetapi secara objektif pula harus diakui bahwa ide-ide keagamaan yang diusung oleh GAI tampaknya telah menjadi wacana publik yang diperbincangkan oleh semakin banyak kalangan dalam Islam. Meskipun, harus dengan rendah hati kita akui bahwa hal itu tidak harus dan selalu diperoleh langsung dari GAI, misalnya dengan membaca buku-buku GAI, atau yang lain.
Sekedar sebagai contoh dapat disebutkan di sini tema-tema keagamaan yang selalu menjadi bahan dialog di lingkungan Ahmadiyah yang kemudian menjadi perbincangan luas di kalangan masyarakat: Nabi Isa a.s. sudah wafat; jihad tanpa kekerasan; wahyu Ilahi dalam bentuk ilham, kasyaf, ru’yah, akan terus-menerus diberikan kepada manusia; keyakinan terhadap Adam sebagai manusia pertama tidak ada hubungannya dengan keimanan dalam Islam; dan sebagainya.
Tetapi apakah kita bisa mengklaim bahwa perkembangan pemikiran keagamaan tersebut sepenuhnya sumbangan GAI? Tentu tidak mudah untuk menjawab pertanyaan ini. Dalam kaitannya dengan masalah ini, catatan terpenting adalah bahwa pengakuan sebagai kebenaran terhadap ide-ide keagamaan seperti contoh di atas bukanlah tujuan utama GAI, melainkan hanyalah sebagai sarana untuk mencapai tujuan utama itu. Tujuan utamanya sendiri adalah “Tegaknya Kedaulatan Tuhan, agar umat Indonesia mencapai keadaan jiwa (state of mind) atau kehidupan batin (inner life) yang disebut salam (damai).” Dalam kalimat yang lebih singkat, tujuan GAI adalah untuk mewujudkan Kemenangan Islam (Fathi Islam), setidaknya di Indonesia.
Sayangnya, apa yang kita saksikan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia saat sekarang ini, rasa-rasanya masih jauh dari harapan yang selaras dengan visi dan misi Gerakan. Konflik antar-kelompok masyarakat, baik yang berlatar belakang masalah ekonomi, sosial, politik, dan apalagi keagamaan, hampir terjadi setiap saat. Sudah semestinya kita merasa ikut bertanggung jawab atas realita ini. Jangan sampai upaya “peminggiran” Ahmadiyah di Indonesia yang dilakukan sekurang-kurangnya oleh MUI dan para pendukungnya, menjadikan kita berlepas tangan dari tanggung jawab itu. Dan jangan sampai pula kita bersikap lebih parah lagi, dengan hanyut dalam phobia yang kita ciptakan sendiri atas dasar alasan “peminggiran” itu.[]
Penulis : Mulyono, S.Ag
Editor : Asgor Ali
Comment here