Diskursus

Nabi Dzilly dalam Kasus Mirza Ghulam Ahmad

Ahmadiyah adalah aliran yang menjadikan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Imam Akbarnya. Ghulam lahir di Punjab, India, pada tahun 1835, dan mengaku diri mendapatkan wahyu sebagai nabi pada tahun 1876, saat usianya 41 tahun. Ahmadiyah sendiri didirikan tahun 1889, tiga belas tahun kemudian. Ini menyangkut karir pewahyuan.

Pada awal-awal pewahyuan, ia masih ragu. Bahkan ia tidak berani menamakan diri sebagai nabi, hanya “muhaddats,” atau orang yang diajak bicara oleh Allah SWT. Ia juga tidak berani mengaku diri sebagai Al-Masih. Atau ketika dia mengaku diri nabi, ia menganggap itu sebagai nabi “majazan wa isti’aratan,” atau nabi dalam arti metaforis.

Dan tampaknya pada tahun 1889, ia telah mantap dengan wahyunya, dan karena itu ia lalu mendirikan Jemaat Ahmadiyah, walau sebetulnya kemantapan yang tegas baru terjadi pada kira-kira tahun 1901, dua tahun setelah berdirinya Jemaat Ahamdiyah.

Problem Kenabian Mirza Ghulam Ahmad

Tampak sekali bahwa Mirza Ghulam Ahmad hidup dalam lingkungan sufistik yang kental, sehingga ia tidak merasa asing dengan pertemuan langsung antara manusia dengan Tuhannya. Akan tetapi seperti sufi-sufi lainnya, ia beranggapan bahwa karir kenabian telah berakhir. Pertemuan antara manusia dengan Allah hanya bisa melalui “ilham.” Dalam wahyu-wahyu pertamanya, walaupun sudah ada penyebutan “ya nabiy” atau bahkan “ya rasuul,” dia lebih memilih untuk memahami wahyunya itu dalam bentuknya yang metaforis.

Akan tetapi seiring dengan karir pewahyuannya yang semakin meningkat secara kualitatif maupun kuantitaif, dia mulai mengubah pandangannya: keistimewaan berdialog dengan Allah yang ia peroleh bukan semata ilham kewalian, akan tetapi adalah wahyu kenabian.

Dalam Al-Khazain Arruhaniyah, dia menegaskan: “Almuhaddats atau seseoarang yang diajak bicara Allah, adalah nabi juga dalam salah satu artinya. Walaupun tidak mencapai kenabian yang sempurna, ia tetaplah seorang nabi parsial, karena ia mendapatkan kehormatan berdialog dengan Tuhan, dan mendapat kesempatan penampakan hal-hal yang gaib.”

Atas dasar inilah, akidah Ahmadiyah dibangun. Sebuah akidah, yang menurut pengikutnya, merupakan revolusi atas konsep pewahyuan lama.

Sampai di sini, akidah Ahmadiyah tidak memiliki problem krusial. Dalam sebuah hadits ditegaskan, pertemuan dengan Tuhan adalah bagian dari kenabian, atau kenabian yang tidak sempurna, seperti riwayat Anas RA dari Rasulullah SAW: “Kerasulan dan kenabian telah terputus, maka tidak ada nabi dan rasul setelah diriku.” Kata Anas: “Ucapan Baginda Rasul ini terasa berat bagi kami.” Lalu Nabi mengatakan: “Akan tetapi “al-mubasysyiraat.” Kami menanyakan: “Apa itu almubasysyiraat?” Kata Rasul: “Mimpi-mimpi baik seorang muslim, itu adalah bagian dari kenabian.”

Jika pengakuan Mirza Ghulam Ahmad benar, maka itu adalah bagian dari kenabian, atau kenabian yang tidak sempurna. Menurut pengakuan Mirza, ia memang benar-benar berdialog dengan Allah SWT, dan hal itu ia peroleh melalui perantara “Nur Muhammady.” Dan dari Nur Muhammady ini, kemudian lahir istilah “naby dzilly,” atau nabi di bawah bayangan Nur Muhammady. Nur Muhammady sendiri adalah konsep sufy yang dikenalkan oleh Al-hallaj dan Ibn ‘Araby, dan dipercaya luas di kalangan sufy. Ibn ‘Araby juga mengaku hal yang sama, ia dalam mi’rajnya, mendapatkan wahyu, melalui perjalanan spiritualnya di bawah naungan Nur Muhammady.

Problem MGA (Mirza Ghulam Ahmad) menjadi serius, ketika pengakuannya ia sertai dengan “tahaddy,” atau tantangan. Kenabian dan kerasulan adalah konsep internal dan eksternal sekaligus, sementara konsep kewalian, atau yang diistilahkan oleh MGA dengan kenabian parsial, atau kenabian dzilly, adalah internal belaka. Dalam pandangan para Sufy, kewalian yang sempurna adalah bagi mereka yang mampu menyimpan rahasia ketuhanan. Al-Hallaj, ketika sadar dari “jadzabnya” benar-benar menyesal karena telah mengumbar “rahasia ketuhanan.”

Maksud dari eksternal adalah bahwa kenabian harus dideklarasikan dan menuntut pengakuan khalayak. Dan untuk itu, kenabian membutuhkan dua hal. Pertama tahaddy, atau tantangan atas sebuah mukjizat. Kedua seorang Nabi harus ma’sum saat menyuarakan wahyu. Tanpa kedua hal ini, kenabian menjadi tak bermakna. Dan kenabian seperti ini implikasinya sangat berat. Sangat tepat sekali Baginda Rasul mengakhirinya saja.

Karena jika tantangan sudah diumumkan, dan kemaksuman telah menyertainya, maka apa yang ia suarakan adalah kebenaran belaka. Persis di sinilah keruwetan kenabian itu. Permasalahannya bukan lagi kebenaran kandungan wahyu itu sendiri, tapi juga menyangkut persoalan pembawanya, yakni nabi itu sendiri. Umat nabi bukan lagi harus percaya kepada kebenaran kandungan wahyu, tapi juga harus percaya kenabian pembawanya.

Dalam pandangan umat Islam secara umum, tidak ada lagi konsep kemaksuman setelah Nabi Muhammad, seberapa pun tinggi derajat seseorang, dan sehebat apapun ia mampu berdialog dengan Tuhan. Biarpun pengakuan MGA benar, tetaplah dia tidak maksum (dan karena itu boleh dikritisi), dan tidak ada konskwensi apapun dengan tidak mempercainya. Ibn Taymiyah, yang sangat kritis terhadapa Ibn “Araby, tidak kurang sedikit pun ketakwaaannya, apalagi keIslamannya, biarpun yang benar misalnya Ibn “Araby. Kenabian parsial setelah Nabi Muhammad adalah internal.

MGA dengan memposisikan diri sebagai nabi dengan tahaddynya, ia telah menjadi “diktator” kebenaran. Kandungan wahyunya menjadi kebenaran mutlak, dan tidak boleh dikritik. Penafsirannya terhadap penyaliban Nabi Isa misalnya, mejadi satu-satunya penafsiran yang benar. Bahkan implikasinya lebih luas lagi, mereka yang di luar Ahmady, karena tidak percaya kenabian MGA, adalah kafir, yang tidak sah menjadi imam salat bagi Ahmady. Mereka yang jelas-jelas tidak iman kepada kenabian MGA jika mati tidak boleh disalati jenazahnya.

Di sinilah perbedaan antara sufisme Ahlussunnah wal Jamaah dari sufisme yang dikembangkan oleh MGA. Jelas sekali, MGA telah menyimpang dari paham-paham sufistik Ahlussunnah Wal-Jamaah, walau untuk mengatakan dia telah keluar sama sekali dari Islam kurang tepat. Dia tetap Muslim, tetapi konsep ke-Islamannya menjadi radikal, tidak jauh beda dari para fundamentalis-fundamentalis lainnya, yang ingin menguasai kebenaran penafsiran Islam.

Dia memang telah mengkafirkan kelompok non-Ahmady, termasuk para sufy Ahlussunnah wal Jamaah, tapi tidak seyogjanya kita ikut membalas sikap itu. “Walaa yajrimannakum syanaanu qawnin ‘alaa anlaa ta’diluu, i’diluu huwa aqrabu littaqwa.”

Masuknya Ahmadiyah ke Indonesia

Tidak tahu persis, kapan awal mula Ahmadiyah masuk ke Indonesia. Akan tetapi ia mulai dikenal di Indonesia pada tahun 1924 ketika dua pendakwah Ahmadiyah Lahore datang ke Jogja. Pada kesempatan ini mereka berdua diundang oleh Minhadjurrahman Djojosoegito, sekretaris Muhammadiyah, dalam Muktamar Muhammadiyah ke-13. Di kemudian hari, ia ketahuan telah masuk dalam Ahmadiyah Lahore, lalu dikeluarkan dari Muhammadiyah. Pada tahun 1930, ia mendirikan secara resmi Gerakan Islam Ahmadiyah (GIA), dan duduk sebagai pucuk pimpinan.

Ahmadiyah Lahore sendiri lahir setelah kematian khalifah Al-Masih yang pertama, Almulawi Nuruddin, pada 13 Maret 1914. Menurut kelompok ini, MGA tidak membutuhkan khalifah perorangan. Cukup Anjuman, lembaga yang didirikan oleh MGA mula-mula untuk mengawasi keuangan dan maqbarah Bahishti di Qadiyan yang diperuntukkan bagi para pejuang Ahmdiyah, sebagai estafet penerus kepemimpinan dakwah.

Ketika Khalifah kedua, Basyiruddin Mahmud Ahmad, terpilih, mereka, dipimpin oleh Mulawi Muhammad Aly, tidak setuju. Lalu mereka keluar dari Qadiyan, pindah ke Lahore, dan mendirikan Anjuman tandingan. Sejak saat itulah kedua kelompok ini terputus, dan masing-masing saling mengklaim paling benar. Bahkan ortodoksi Qadiyan lazim menyebut Lahore sebagai kelompok sempalan yang sesat.

Ada sejumlah revisi versi Lahore terhadap tradisi keimanan Qadiyan. Selain doktrin khilafah yang menjadi pemicu perpecahan, adalah doktrin kenabian MGA. Bagi Lahore, kenabian telah berakhir, walau pewahyuan itu sendiri tidak pernah berhenti. Menurut mereka, jika kenabian masih ada, Sayidina Ali tentulah sudah menjadi nabi. Karena dalam sebuah hadits, kedudukan Sayidina Ali sama dengan kedudukan Nabi Harun bagi Nabi Musa. Akan tetapi kenabian telah berakhir, dan Sayidina Ali tidak pernah menyandang kenabian.

Dari konsep kenabian yang hampir mirip dengan konsep Ahlusunnah ini, pewahyuan MGA ditarik lagi ke dalam konsep yang semi internal. Mereka yang tidak percaya terhadap wahyu MGA tidak kafir. Mereka sah menjadi imam bagi non-Ahmadi. Jenazahnya juga harus disalati. Selama tidak mengkafirkan Ahmadi, maka mereka adalah sesaudara.

Kehadiran mereka di Jogja walau menimbulkan riak, akan tetapi tidak sampai kepada gelombang yang besar. Buku-buku terbitan Ahmadiyah Lahore bahkan banyak dinikmati oleh mendiang Bung Karno, dan HOS Tjokroaminoto, karena kerasionalannya. Juga sejumlah mahasiswanya bergabung dengan HMI.

Adapun Ahmadiyah Qadiyan, kehadirannya ke Indonesia murni misi messiah, sebagai penerus Imam Mahdi MGA. Adalah Maulana Rahmat Ali orang pertama yang datang ke Indonesia melalui Aceh pada tahun 1925. Ia datang ke Sumatra atas rekomendasi tiga pelajar Thawalib di Qadiyan. Tiga pelajar ini awal mula merencanakan melanjutkan studi ke Mesir, akan tetapi guru-gurunya di Thawalib, Padang, menyarankannya untuk pergi ke India. Di India mereka mula-mula mengenal Ahmadiyah Lahore, yang kemudian mengantarkannya kepada ortodoksi Ahmadiyah di Qadian.

Ketiga pelajar inilah sejatinya yang melapangkan jalan bagi masuknya Ahmadiyah dengan agak mulus ke Indonesia. Mereka banyak berkorespondensi kepada keluarganya tentang datangnya Imam Mahdi, dan mengharap agak masyarakat di sana kelak menyambut dengan hangat utusan Imam Mahdi. Dan benar, ketika Maulana Rahmat Ali datang ke Tapaktuan, Aceh, ia disambut hangat oleh masyarakat.

Ia mulai berdakwah di Aceh, lalu meluaskan dakwahnya ke Padang, Bukittinggi, Padang Panjang, dan daerah sekitar. Dan pada tahun 1931 ia pergi ke Jakarta.

Kehadiran Ahmadiyah di Indonesia bukan tanpa resistensi. Pada tahun 1926 Haji Rasul mendebat Ahmad Baiq, pendakwah Ahmadiyah Lahore. Dan pada tahun 1929 Muktamar Muhammadiyah resmi melarang Ahmadiyah diajarkan di lingkukan Muhammadiyah. Bahkan Muhammadiyah telah resmi mengkafirkan mereka yang percaya adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW.

Di Padang, perdebatan-perdebatan Ahmadiyah-Sunny marak sejak menit-menit awal pendakwahan Ahmadiyah. Dan ketika Rahmat Ali datang ke Jakarta, Ahmad Hassan, pimpinan PERSIS, rajin mendebat Ahmadiyah, hingga terjadi dialog, atau debat terbuka, dengan menyedot banyak pengunjung.

Persoalan Ahmadiyah kemudian menjadi terlupakan karena Indonesia secara umum disibukkan oleh perang kemerdekaan, perang revolusi, dan pemberontakan PKI. Ahmadiyah benar-benar terlupakan, dan baru muncul kembali pada tahun 1980-an ketika Indonesia relatif tenang. Saat itu, entah siapa yang kembali mengangkat isu Ahmadiyah, hingga MUI mengeluarkan fatwa sesatnya Ahmadiyah yang terkenal itu.

Sikap NU Terhadap Ahmadiyah

Ada fakta menarik bahwa pendiri Ahmadiyah di Indonesia adalah Djojosoegito yang secara biologis memiliki hubungan darah dengan Kyai Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Tetapi ini hanyalah kebetulan belaka yang tidak memiliki arti penting secara ideologis. Kebetulan Kyai Hasyim adalah seorang raden, keturunan Hamengkubuwono II. Djojosoegito juga raden dari keturunan yang sama.

Bukan hanya NU dan Ahmadiyah saja, yang pendirinya memiliki garis keturunan yang sama. Semua organisasi keislaman di Indonesia kalau ditilik dari para pendiri utamanya, tidak keluar dari garis keturunan Solo-Jogja. Dan semua dari lingkungan keraton.

Justru hubungan Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dengan Hasyim Asyari, pendiri NU, memiliki kedekatan ideologis. Keduanya sama-sama belajar di Mekkah. Keduanya murid Al-Khatib Al-Minangkabawy, seorang ulama bumi pertiwi yang berkarir di Saudi, hingga menjadi imam Masjidil Haram madzhab Syafi’iy.

Khathib Minangkabaw adalah seorang tradisionalis, tapi sekaligus pengagum Muhammad Abduh, pembaharu paling berpengaruh saat itu. Ahmad Dahlan tampaknya lebih meresapi titisan Muhammad Abduh dalam diri Al-Khatib, sementara Hasyim Asyari lebih meresapi tradisinya. Tapi jelas keduanya memiliki guru yang sama, dan ini berpengaruh kepada sikap toleran keduanya.

Di kalangan Nahdliyin sendiri terjadi pro dan kontra dalam mensikapi Ahmadiyah. Tetapi semua itu tidak ada kaitannya dengan kesamaan garis keturunan secara biologis maupun ideologis. Pro dan kontra lebih disebabkan karena keberagaman isi di balik kepala.

Sejak tahun 1984, Gus Dur memimpin NU dan berlangsung selama tiga periode, masa kepemimpinan yang cukup lama. Sejak saat itu, Gus Dur rajin menggarap para pelajar progresif NU, atau bahkan liberal. Sekarang ini, anak didik Gus Dur sudah merasuk kemana-mana. Bahkan pemimpin sejumlah pesantren mambu-mambu Gusdurian.

Tapi secara resmi PBNU dan juga PWNU Jatim, basis utama NU, menganggap sesat Ahmadiyah. Yang perlu diketahui juga, dalam bahtsul masail PBNU terakhir, yang menyesatkan Ahmadiyah, pimpinan sidangnya adalah Kiyai Ma’ruf Amin, Dr. Said Aqiel Siraj, dan Pak Masdar Masudi.

Kyai Ma’ruf mewakili kelompok kyai faqih yang lurus, yang sering juga menjadi juru bicara MUI. Sementara Said Aqil dan Masdar adalah dua kyai yang sebetulnya lebih dekat kepada Gus Dur. Toh keputusannya tetap menganggap Ahmadiyah sesat, dan menyerahkan sepenuhnya permasalahan ini kepada pemerintah.

Ini artinya, dalam tubuh NU hampir terjadi kesepakatan soal ketidakcocokan diametral antara faham NU dengan Ahmadiyah. Tapi permasalahan utama adalah soal cara menyikapi Ahmadiyah dalam kehidupan berbangsa. Di sinilah kelompok Gus Durian bersikap tegas: tegakkan Pancasila. Kalau Gus Dur sendiri jangan ditanya soal akidah, karena akidanya susah ditebak. He he .. Jangankan di luar NU, di tubuh NU sendiri banyak yang dibuat bingung oleh sikap-sikapnya.

Di lingkungan NU Mesir sendiri, terjadi perdebatan yang panjang soal ini, dalam dua kali Bahtsul Masail. Dan keputusan terakhir, tetap menganggap Ahmadiyah menyimpang dari faham Ahlussunnah wal Jamaah yang diikuti oleh Nahdliyin, dan Muslim Indonesia secara luas. Tapi ketika pada pembahasan apakah mereka sampai keluar dari Islam, di sini tidak ada kata sepakat. Mungkin memang harus demikian. Biarkan macem-macem isinya.

SKB Tiga Menteri, Sebuah Keputusan Strategis

Secara pribadi saya tidak berani melarang seseorang menafsirkan agama sesuai keyakinan masing-masing. Tapi memang tak perlulah menyebarkannya kepada orang yang berbeda keyakinan secara frontal, seperti Qadiyan dan Islam Indonesia secara umum.

Saya ingin membandingkan misalnya Syiah di Saudi Arabiya dan Sunni di Iran. Populasi Syiah di Arab Saudi mencapai 20 persen, sesuai laporan The Arabic Network for Human Right. Akan tetapi terjadi diskriminasi cukup besar atas hak-hak beribadah, dan hak-hak sipil mereka.

Begitu pula sebaliknya Sunni di Iran. Menurut laporan Irania Sunni Leage, populasi mereka di Iran mencapai sepertiga penduduk secara keseluruhan, atau sekitar 15 sampai 20 juta. Namun begitu, di Taheran, ibu kota Iran, satu masjid pun mereka tak punya. Padahal gereja Kristen, Sinagog Yahudi, rumah ibadah Majusi dan Hindupun boleh berdiri.

Jadi harus ada kesadaran pada masing-masing, bahwa keyakinan yang dianut, ternyata bagi orang lain bisa menyakitkan. Klaim Jemaat Ahmadiyah yang mengkafirkan non-Ahmadi bagi banyak kalangan tentu menyakitkan. Posisi pemerintah yang melarang pengajaran Ahmadiyah ke non-Ahmadi saya kira bisa dibenarkan.

Harus diketahui, SKB tiga menteri secara definitif menunjuk kepada Jemaat Islam Ahmadiyah (JIA) atau Ahmadiyah Qadian, yang berpusat di Parung, Bogor, bukan Gerakan Islam Ahmadiyah (GIA) atau Ahmadiyah Lahore, yang berpusat di Jogja.

Cukuplah dilarang penyebarannya. Saya melihat, bahwa aliran-aliran yang dilarang, justru akan semakin militan, karena tidak mempunyai kesempatan untuk berbenah, dan sibuk memuja diri.

Yang diperlukan adalah kritik terus menerus kepada Ahmadiyah Qadian, agar membuka pintu kebenaran bagi yang lain. Sikapnya yang tidak mau mensalati jenazah non-Ahmadi misalnya, adalah bentuk doktrin yang tak perlu diteruskan. Di sini, Ahmadiyah Lahore sudah bergerak ke sana. Beri kesempatan kepada masing-masing sekte, untuk melakukan kritik dan dikritik.

Kembali kepada umat. Jangan terlalu sibuk dengan rebutan politik. Introspeksi, dan berbenah diri. Saya melihat para pemimpin kita sibuk pada wilayah politik, tapi umat kurang diperhatikan. Ketika umat kita tiba-tiba direbut orang lain, kita menyalahkan yang lain.[]

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comments (2)

  1. Kok ahmadiyah lahore rada nanggung ya? Disisi lain mereka bilang MGA cuma muhaddats dan bukan nabi tapi disisi lain mereka bilang MGA itu nabi Dzilly. Nabi Dzilly juga nabi kan?

    • nabi dzilly bukan nabi.
      nabi dzlilly artinya nabi bayangan, jadi hanya seperti nabi.
      kata “seperti” adalah penegasan bahwa objek yg dibandingkan tidak sama.
      mungkin bisa dibandingkan dg hadits nabi suci muhammad saw, ulama’i ka an-nabi bani isra’il (ulama umatku SEPERTI nabi bani israil)

Comment here

Translate »