Pernikahan bukanlah sekedar bentuk hubungan antar individu lelaki dan perempuan yang melegalkan hal-hal yang sebelumnya dilarang, baik secara etika sosial maupun agama.
Pernikahan adalah sekaligus juga merupakan bentuk hubungan sosial dan budaya. Karena itu, akibat dari suatu perkawinan juga membawa implikasi tanggung jawab sosial budaya.
Nabi Muhammad saw. memberi peluang pilihan dalam perkawinan tiga hal, yaitu biologis, sosial dan agama. Aspek biologis dan fisik meliputi paras cantik, tampan dan aspek-aspek genetik.
Yang kedua, aspek sosial budaya, yang diungkapkan dengan konsep status sosial (kafa’ah) dan nasab. Di atas semua itu, Nabi Muhammad saw. mengingatkan untuk hati-hati dalam aspek agama.
Banyak perkawinan gagal membawa misi suci kemanusiaannya karaena kegagalam dalam mengkonstruksi ketiga hal tersebut.
Hidup berumah tangga dalam perkawinan menuntut adanya saling pengertian yang konstruktif, yang dilandasi cinta kasih, mawaddah dan rahmah.
Cinta kasih suami istri bukan dibangun karena alasan-alasan rasional semata. Sebagian besar rasa cinta kasih itu tumbuh karena latar belakang persepsi dan ilusi yang positif, yang kadang-kadang tak rasional.
Kecantikan, ketampanan, dan kesempurnaan fisik tak menjamin dapat menumbuhkan rasa cinta kasih yang baik dan melanggengkah kehidupan rumah tangga.
Kebahagiaan dan kelanggengan hidup berumah tangga juga tergantung bagaimana kita membangun citra masing-masing tentang pasangan kita. Dan citra itu dibangun karena ilusi positif kita masing-masing.
Allah Ta’ala membuat tamsil tentang ilusi dan persepsi itu dalam Al-Qur’an, “Mereka (istri) adalah pakaianmu, dan kamu (suami) adalah pakaian mereka.”
Fungsi pakaian bukan sekedar untuk menutup aurat, tetapi juga sekaligus untuk membangun citra. Bagaimana suami atas istri diposisikan, tergantung bagaimana masing-masing memandang dan mengilusikan secara positif pasangannya, dan kesanggupan masing-masing menempati posisinya.
Tuntutan yang berlebihan terhadap posisi yang dikehendaki terhadap pasangan, dapat mengakibatkan keretakan hubungan dalam rumah tangga.
Selain itu, pakaian sebagai tamsil berarti istri harus melindungi suami, dan sebaliknya suami juga harus melindungi istri. Membuka aib suami atau istri sama dengan membuka pakaian yang menutupi aib sendiri.
Soal pilihan yang kedua, aspek sosial budaya, yaitu status sosial (kafa’ah) dan nasab. Secara kodrati manusia hidup bermasyarakat yang memiliki strata, lapis sosial dan ikatan kelompok.
Dengan perkawinan bukan saja terjalin ikatan antar individu, melainkan juga keluarga yang semula terpisah menjadi terhubung dalam satuan ikatan keluarga baru.
Ketika dua orang kekasih menentukan pilihan untuk berjodoh, mereka mau tak mau harus melibatkan paling tidak izin dan restu dari keluarga masing-masing.
Dari itu, maka aspek sosial dan budaya menjadi penting. Besar kemungkinan latar belakang dan tradisi sosial budaya masing-masing keluarga yang akan terhubung dalam ikatan keluarga itu sedikit atau banyak berbeda.
Suami-istri harus pandai-pandai menempatkan diri sesuai dengan pandangan nilai dan tradisi keluarga pasangannya. Ketegangan atau sinisme kemungkinan muncul jika salah satu di antaranya salah atau kurang tepat menempatkan diri dalam kebiasaan dan tradisi yang berlaku di masing-masing keluarga.
Oleh karena itu, tepat sekali pesan Nabi Muhammad saw. sebagai panutan keluarga muslim, yang meniscayakan pilihan berjodoh untuk melihat aspek sosial budaya, khususnya nasab dan kafa’ah, untuk mengantisipasi kekuatan dan kelemahan membina harmoni rumah tangga di masa depan.
Di atas semua itu, Nabi Muhammad saw. berpesan agar mempertimbangkan pilihan jodoh karena alasan agama. Meski suami-istri seiman dan seagama, kemungkinan konflik karena alasan agama bisa saja terjadi.
Meski agama berfungsi melekatkan solidaritas ikatan-ikatan sosial dan individu, kemungkinan konflik karena perbedaan keyakinan agama bisa terjadi.
Jika Nabi Muhammad saw. berpesan agar meniscayakan agama sebagai pilihan berjodoh, artinya suami-istri harus menempatkan nilai-nilai keluhuran etik, saling bertoleransi dan penghargaan atas tanggung jawab masing-masing sesuai dengan tuntunan agama.
Ungkapan “suami adalah pemimpin bagi istri” (ar-rijaalu qowwamuuna ‘alan-nisaa’), bukan dalam arti hak suami memerintah istri, tetapi kewajiban suami melindungi, mengayomi dan menegakkan kehormatan istri.
Dalam ikatan rumah tangga, tidak ada pihak yang memiliki hak memerintah. Masing-masing berkedudukan sejajar, saling melindungi dan melengkapi kekurangan dan kelebihan.
“Janganlah kamu iri terhadap kelebihan orang lain yang sudah menjadi kodratnya” (QS An-Nisa 4:31).
Mungkin dalam hal-hal tertentu kelebihan suami lebih besar, karena itu suami harus melindungi dan mengayomi istri. Tetapi ada kalanya istri memiliki kelebihan yang lebih besar, yang tak dimiliki oleh suami atau lelaki pada umumnya. Karena itu, istri harus memerankan kelebihan itu untuk mendorong dan memengaruhi suami dalam memerankan perannya yang lebih baik dalam kehidupan berumah tangga.
“Para lelaki memiliki bagian dari apa yang mereka perankan, dan para perempuan juga memiliki bagian dari apa yang mereka perankan” (QS An-Nisa 4:31).
Masing-masing suami-istri memiliki tanggung jawab yang sepadan. Mereka mendapat hak dan kewajiban dari apa yang mereka perankan. Keduanya harus saling membantu peran yang bisa dilakukan pasangan.
Ada bagian-bagian dalam kehidupan rumah tangga tidak bisa dilakukan istri, dan ada juga bagian-bagian yang tak dapat dilakukan suami.
Kunci utama membangun harmoni dalam keluarga adalah jika masing-masing berkomitmen menjadi bagian dalam ketentuan rumah tangga secara ikhlas.
Hanya orang-orang yang ikhlas yang selamat dari godaan iblis dan setan. Ketika Allah Ta’ala memberi kesempatan kepada iblis hidup “sampai hari yang ditentukan waktunya,” iblis bersumpah: “Dengan keagunganmu, sungguh aku akan menyesatkan manusia semuanya, kecuali sebagian hamba-Mu yang ikhlas” (QS 38:82-83).
Ikhlas adalah komitmen dengan loyalitas penuh menerima kenyataan apa adanya. Jika suami-istri memandang pasangannya dengan tuntutan dan mimpi-mimpi di luar kenyataan, ketika itulah iblis dan setan masuk ke dalam diri mereka dengan semua anasir kejahatannya yang menyesatkan.
Karena itu, terimalah pasangan kita apa adanya, jangan berlebih dari kenyataan yang ada, dan jangan berkurang. Dan itu artinya, kita ikhlas. Insya Allah, kita akan selamat dari godaan setan dan rumah tangga kita akan harmoni dan abadi.[]
Sumber: Khutbah Nikah oleh K.H. Sayid Ahmad Yazid Burhany dalam pernikahan Nur Laily Wardah dan Arif Handoko, di Kediri pada 1 Juli 2009.
Comment here