ArtikelPerguruan Islam Republik Indonesia

Sinkronisasi Perjuangan Yayasan PIRI dengan Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia

Kalau dihitung secara cermat, umur Yayasan PIRI sampai hari ini telah mencapai 36 tahun 3 bulan 24 hari. Suatu tingkat umur yang sudah haris disertai sifat kematangan, ketenangan dan kepastian, sehingga dapat dilihat ciri khasnya dengan jelas.

Dari 1 September 1947 sampai dengan 28 Desember 1958, PIRI langsung ditangani oleh Gerakan Ahmadiyah, yang waktu itu masih bernama Gerakan Ahmadiyah Indonesia Aliran Lahore.

Selama waktu itu, sebetulnya adanya PIRI dimaksud sebagai tempat pembentukan dan penggemblengan kader, dengan melalui sistem pondok. Itulah sebabnya nama PIRI merupakan singkatan dari Perguruan Islam Republik Indonesia, bukan Pendidikan Islam Republik Indonesia.

Rupa-rupanya usaha mendirikan pondok tersebut belum diizinkan oleh Tuhan. hal ini terbukti dari hasil yang didapat bukan sebuah pondok dengan para kyai yang dikelilingi para santri, melainkan beberapa sekolah dengan para Kepala Sekolah, Guru, Pegawai dan Siswa.

Kenapa bisa begitu? Apanya yang salah atau kurang tepat?

Kita tak perlu mengusut masalah itu lagi. Kita harus yakin dan perccaya bahwa pasti itu kehendak Tuhan, kebijaksanaan Tuhan dalam membimbing usaha hambanya.

Hikmahnya sudah jelas: karena kenyataan sejarah membuktikan bahwa berdirinya sekolah-sekolah tersebut sesuai dengan tuntutan zaman pada waktu itu.

Kita tahu bahwa bangsa Indonesia sebagian besar masih bermental feodal, mental pegawai, mental priyayi. Mereka masih gandrung memperoleh ijazah yang bisa dipakai untuk mencari pekerjaan, atau melanjutkan sekolah demi mendapatkan status sosial yang baik di masyarakat.

Kegagalan mendirikan pondok, tidak mematikan semangat, bahkan cita-cita untuk itu tetap dipegang teguh. Terbukti dari setiap kali ada pertemuan, setiap kali itu pula kita bicara-bicara masalah pondok.

Bahkan saat ini sedang menjadikan rembug antara Yayasan PIRI dengan GAI untuk mendirikan sebuah pondok yang sapat menampung sekitar 30 santri, untuk secara khusus dididik menjadi mubaligh yang tangguh. Tempatnya sudah ada, tinggal masalah kyai-kyainya dan sumber dananya.

Calon-calon santrinya akan dipilih dari siswa-siswa SMTA PIRI, terutama yang berasal dari keluarga GAI sendiri, yang lahir batin berniat akan menjadi penerus ajaran Mujaddid.

***

Mulai dari 29 Desember 1985, PIRI bersatus sebagai suatu Yayasan, setelah dipisah dari GAI, disuruh berdiri sendiri dengan hak otonom. Karena pemisahan tersebut semata-mata hanya karena pertimbangan memudahkan gerak dan langkah PIRI, maka meskipun telah pisah, PIRI sebagai suatu Yayasan asas dan tujuannya tetap sama dengan asas dan tujuan GAI.

Karena adanya kesamaan asas dan tujuan inilah, maka Pedoman Besar Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia membebani diri saya, agar di hadapan sidang yang mulia ini dapat dibuktikan bahwa segala kegiatan Yayasan PIRI, baik yang bersifat lahiriah, yaitu yang berupa segala urusan duniawi, lebih-lebih yang menyangkut masalah rohaniah, mental spiritual, harus identik dan sinkron, yang berarti bahwa Yayasan PIRI harus sama dan berada dalam keserempakan dengan GAI.

Asas dan tujuan yang sama itu adalah sebagai berikut: Yayasan PIRI berasaskan Qur’an Suci dan Sunnah Nabi, serta bertujuan untuk tegaknya Kedaulatan Tuhan, agar supaya umat manusia di Indonesia mencapai keadaan jiwa atau kehidupan batin yang disebut salam.

Kedaulatan Ilahi tak mungkin tampak di bumi Indonesia ini sebelum kedaulatan Ilahi tersebut bertahta di setiap hati kita-kita ini. Sedangkan kunci utama untuk itu adalah iman, taqwa dan berserah diri.

Suatu perbuatan, tingkah laku dan ucapan serta tutur kata kita, itu merupakan manifestasi dan gambaran dari iman, tawa dan bersedah diri kita semua.

Iman itu adalah perwujudan dari satunya kata dan perbuatan. Taqwa adalah perwujudan dari menjalankan perintah dan menjauhi larangan Tuhan. sedangkan berserah diri adalah tingkat akhir usaha manusia yang sepenuhnya berisi kepercayaan atas kebijaksanaan Tuhan.

Seseorang belum cukup disebut atau dijuluki orang yang beriman, bertaqwa dan berserah diri, hanya dengan memberitahukan kepada rorang lain bahwa dirinya telah beriman, bertaqwa dan berserah diri.

Demikian pula seseorang tak dapat berpura-pura dengan berbagai cara dan tipu daya, agar orang lain terkelabuhi bahwa dirinya telah tergolong beriman, bertaqwa dan berserah diri. Cara demikian itu tidak dapat diarikan lain kecuali telah merendahkan Allah.

Kita tidak mungkin dan tidak dapat melakukan segala bentuk permainan terhadap Tuhan, sebagaimana kebiasan kita menipu dan mempermainkan sesamanya, kebiasaan mengelabuhi dan bersandiwara.

Dengan demikian jelas bahwa untuk dapat mencapai tujuan yang kita idam-idamkan itu, maka iman, taqwa dan berserah diri itu mutlak diperlukan.

Di samping ketiga hal tersebut di atas, yang saya namai “laku”, maka untuk dapat mencapai tujuan Yayasan PIRI, masih diperlukan yang lain lagi, yaitu sarana atau alat.

Semisal Gedung. Gedung sekolah PIRI dengan segala peralatan dan kelengkapan yang lain, semata-mata hanya alat untuk melengkapi “laku”. Sekali-kali hanya alat atau sarana untuk mencapai tujuan.

Siapapun pasti menyadari bahwa makin baik peralatan, makin sempurna sarana yang ada. Niscaya pendapaian tujuan akan menjadi lebih mudah pula. Namun demikian kita semua tak boleh tergelincir, seakan-akan sarana tersebut lalu ditempatkan sebagai tujuang.

Memang peralatan yang lengkap dan gedung yang mentereng itu sangat diperlukan, tetapi tidak boleh lalu lupa diri, sehingga akhirnya telah menterlantarkan dan bahkan mengalahkan segala usaha dan kegiatan yang bersifat spiritual.

Saya akui bahwa Yayasan PIRI pernah seperti tersentak dari tidur, sewaktu diingatkan oleh Badan Pemangku Asas mengenai usaha dan kegiatannya yang tampak “ibut” dan “sengkut”.

Tetapi setelah dievaluasi dengan cara dikembalikan kepada tujuan, ternyata kurang pas. Nampaknya yang dikejar-kejar oleh PIRI lebih mengutamakan yang bersifat lahir, yang bersifat “gebyar”, yang bersifat kepuasan duniawi.

Sehingga kalau yang semacam itu diterus-teruskan maka perkembangan dan kemajuan sekolah-sekolah PIRI akan sama saja dan bahkan lebih rendah dari sekolah-sekolah yang tanpa asas serta tujuan agama. Yang berarti, PIRI akan kehilangan arah!

Sejak dari saat itu, tak henti-hentinya Yayasan PIRI meneliti dan membenahi diri. Terutama pembenahan kepada para pelaksananya, baik yang berada di pengurus Yayasan maupun yang berada di lapangan, di sekolah.

Perlu dalam hal ini saya tandaskan bahwa bentuk pembenahan itu bukan berujud kembali dari penyimpangan-penyimpangan, karena selama ini Yayasan PIRI tidak pernah menyimpang dari asas dan tujuannya.

Tetapi wujud pembenahan itu adalah membuat “trep”, membuat tepat sebagaimana seharusnya.

Untuk membuat “trep” ini, ada tiga syaratnya. Pertama, meningkatkan dan memperkuat kesetiaan Yayasan PIRI kepada induknya, yaitu Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia.

Kedua, memegang teguh dan melaksanakan secara murni dan konsekwen Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Yayasan PIRI.

Ketiga, harus selalu ingat bahwa yang harus dikejar bukan yang bersifat “gebyar lahir”, tetapi “gebyar jiwani”, yang tak alain adalah masalah mental dan moral.

Untuk lebih jelasnya, akan saya coba memberikan penjelasan satu persatu.

Setia kepada Induk

Setia kepada induk berarti harus setia kepada asas dan tujuan GAI, yang juga menjadi asas dan tujuan Yayasan PIRI.

Adapun wujud dari kesetiaan itu tidak cukup hanya dengan mencantumkan keseluruhan bunyi asas dan tujuan gAI dalam Anggaran Dasar Yayasan PIRI, melainkan harus terbukti dalam keseluruhan gerak dan kegiatannya.

Ini mengandung konsekwensi bahwa keseluruhan gerak dan langkah Yayasan PIRI harus dapat dikembalikan kepada Qur’an dan Hadits. Dengan kata lain, tidak boleh bertentangan dengan Qur’an, tetapi bahkan harus atas petunjuk Qur’an, yang di dalamnya secara lengkap mengandung prinsip-prinsip Ketuhanan dan prinsip-prinsip kemanusiaan.

Qur’an Suci yang telah meletakkan asas-asas tertentu yang berhubungan dengan keberuntungan manusia, baik yang berupa keberuntungan duniawi maupun yang surgawi.

Seseorang yang mulutnya mengaku percaya bahwa Qur’an Suci itu sebagai wahyu Ilahi yang berisi asas-asas keberuntungan manusia, akan tetapi tidak mengatur hidupnya sehari-hari dengan asas-asas yang ada di dalam Qur’an, ia tidak akan menemukan sukses dalam arti yang sebenarnya.

Ya, betul, dia itu seorang Islam. Tetapi Islamnya tidak disertai dengan iman yang hidup. Dia hanya akan menemukan sukses palsu. Ibarat fatamorgana di padang pasir.

Sukses yang dicapai paling banter hanya seperti suksesnya orang yang tak percaya kepada Qur’an, tetapi ia mengatur praktek-praktek hidupnya menurut prinsip-prinsip Qur’an, meskipun hanya sejauh yang menyangkut masalah duniawi.

Kebanyakan orang Islam, termasuk diri saya sendiri, lupa menggunakan Qur’an untuk pegangan mengatur hidupnya, karena telah terbius dalam pengertian iman yang sempit.

Ia tegas puas dengan bisa membaca, melagukan, menghafal beberapa ayat, menerjemahkan dan bahkan sudah berani mengajar orang lain, tetapi tidak mempraktekkan Qur’an dalam kehidupannya sehari-hari.

Mereka beranggapan bahwa dengan iman yang sempit, iman yang mati itu, sudah cukup segala-galanya. Inilah sumber penyakit kita.

Orang Islam sering mendapat cibiran dari pihak lain sewaktu mengomentari penemuan teknologi baru dengan menyebut-nyebut Qur’an Suci.

Marilah kita merenungkan, apakah janji kemenangan, kehormatan, kemuliaan dan kekuasaan yang ada di dalam Qur’an akan datang dengan sendirinya, hanya dengan sikap berpangku tangan sebagai akibat iman yang sempit tadi?

Atau kita harus berusaha berjuang sekuat-kuatnya sambil berdoa kepada Tuhan atas petunjuk bimbingan dan ridlanya?

Dalam hal ini, Mujaddid Agung kita telah memberi contoh, bagaimana mempraktekkan hal ini semuanya. Lebih ke atas lagi, Nabi Besar Muhammad saw. telah memberi contoh betapa hidup beliau dipenuhi dengan usaha dan perjuangan mendapatkan kemenangan, meskipun sebetulnya kemenangan itu telah dijatahkan dan dijanjikan kepada beliau.

Jadi jelasnya, kita ini diwajibkan berusaha atau beramal dengan sungguh-sungguh, dengan menggunakan pegangan kokoh kuat, yaitu Qur’an dan Hadits. Tetapi harus pula disertai doa. Janji Tuhan jangan diartikan secara sempit.

Kita memang harus percaya atas dipenuhinya janji Tuhan. Tetapi kita juga harus ingat bahwa sukses itu sama sekali bukan hasil hayalan dari angan-angan kosong. Bukan pula hasil dari restu seseorang atas karena mantera seseorang. Tetapi hasil perjuangan yang sungguh-sungguh.

Inilah makna sesungguhnya dari pengertian “setia kepada asas guna pencapaian tujuan”. Di sini sebetulnya saya telah berbicara masalah “Islam, iman, taqwa dan berserah diri,” dan terakhir masalah “amal perbuatan.”

Sudah barang tentu hal ini tidak dapat diartikan lain kecuali bahwa gambaran manusia muslim itu harus dengan iman yang hidup, penuh ketaqwaan dan berserah diri kepada Allah, serta mau beramal atau berbuat demi kebahagiaan dunia dan akhiratnya.

Konsep manusia semacam itulah yang dicita-citakan oleh Yayasan PIRI. Karena hanya dengan manusia-manusia semacam itulah baru akan bisa terwujud “tegaknya Kedaulatan Tuhan dan pencapaian keadaan jiwa atau kehidupan batin yang penuh kedamaian.”

Oleh karen PIRI itu berwujud Yayasan Perguruan dengan sekian banyak petugas pelaksana, maka justru mereka itulah yang harus menjadi garapan dan sasaran utama, sebelum melangkah menggarap anak-anak didik.

Akan sangat keliru bahwa ingin mencapai tujuan hanya anak didik saja yang menjadi dan dijadikan sasaran.

Kalau Yayasan PIRI ingin mendapatkan hasil yang sebaik-baiknya, maka justru para pemegang kendali Yayasan, para Kepala Sekolah, Guru-Guru dan Pegawai itu sendirilah yang lebih dulu menjadi garapan Qur’an Suci.

Ini musti dilakukan agar mereka bisa menjadi pelaksana dakwah yang tidak hanya ibarat sebuah cermin yang hanya mampu memantulkan cahaya, tetapi lebih dari itu hendaknya mampu memancarkan kekuatan cahaya dari sumber yang ada di dalam jiwanya, sebagai kekayaan rohaninya, kekayaan batin tentang Nur Ilahi, yang dapat menembus sampai ke relung-relung hati orang lain.

Kita-kita, sebagai para pengemban amanat, harus berusaha sekuat mungkin dalam hal ini. Agar diri kita masing-masing tidak menjadi sekadar “pengeras suara tanpa jiwa”, yang hanya berbunyi sekedar sebagai penyambung lidah saja.

Karenanya sekali lagi, tanpa kecuali, mari kita semua berusaha menurut kadar kekuatan kita masing-masing.

Perlu kiranya kita bertanya di dalam hati: bisakah seseorang yang dirinya sendiri belum terbentuk menurut pada Qur’an Suci, akan mampu berperan membantu terbentuknya orang lain menurut pada Qur’an Suci?

Jelasnya, apakah mampu para guru, pegawai, kepala sekolah, bahkan para anggota pengurus Yayasan, mengusahakan terbentuknya anak didik sebagaimana gambaran di atas, tanpa lebih dahulu menghayati Qur’an?

Terutama diri saya sendiri, dengan penuh ketulusan akan menjawab: tidak! Dan terus terang saya mengakui bahwa masih banyak yang harus saya raih, masih perlu selalu berbenah diri.

 Kepada para sesepuh, baik yang ada dalam Yayasan PIRI maupun dalam GAI-lah, kami yang muda-muda mengharapkan bantuannya untuk terbentuknya diri kami. Kami selalu berkeinginan menaikkan tingkatan jiwa kami, dari tingkat amarah ke tingkat yang lebih tinggi.

Berpegang pada AD-ART

Berpegang teguh dan melaksanakan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Yayasan PIRI mengandung konsekwensi bahwa pelaksanaan itu semata-mata hanya dengan pamrih mendapat ridla dari Allah SWT.

Ini berarti bahwa segala yang mengarah kepada kepentingan pribadi dan sebangsanya, lebih-lebih kalau sampai harus berbentukan dengan ketentuan dalam Anggaran Dasar, jelas tidak dihendaki oleh Yayasan PIRI.

Bila terjadi semacam keusangan dalam satu atau dua fasal Anggaran Dasar atau Anggaran Rumah Tangga, diambil kebijaksanaan untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Dengan keyakinan bahwa hasil kebijaksanaan tersebut tidak sampai menyimpang dari asas dan tujuan.

Dengan demikian Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga tersebut tetap dapat dilaksanakan dengan enak, dan tetap berfungsi sebagai titik sentral segala perbuatan dan kegiatan apapun.

Karena perkembangan pendidikan dalam tiga dasawarsa terakhir ini menunjukkan kemajuan pesat dengan segala bentuk perubahannya, kiranya perlu diadakan peninjauan kembali atas terutama Anggaran Rumah Tangga Yayasan dalam rangka usaha perbaikan.

Saya kurang begitu tahu, sudah berapa kali diadakan teliti ulang terhadap AD-ART Yayasan sejak dibuat sampai sekarang.

Dalam sejarahnya, AD-ART Yayasan PIRI pernah mengalami kesurutannya, yaitu pada saat situasi dan kondisi, yang karena terpengaruh oleh keadaan zaman, terpaksa sebagian fasal-fasalnya tak dapat dilaksanakan.

Alhamdulillah terjadi perubahan dari sedikit demi sedikit ke arah perbaikan kondisi. Dan puncaknya terjadi pada saat Jalsah Gerakan Ahmadiyah di Pare, Kediri, dimana dalam jalsah tersebut PIRI beserta seluruh aparatnya berikrar untuk kembali melaksanakan AD-ART secara murni dan konsekwen.

Oleh karena setiap pemegang posisi penting dalam Yayasan PIRI adalah seorang Ahmadi yang sudah baiat, yang sudah menyatakan untuk lebih dulu mementingkan urusan agama daripada urutan yang lain, yang sudah berjanji tidak akan membencanai Islam, maka seharusnya tidak akan ada yang lebih menonjolkan kepentingan pribadi, dengan tujuan mencari keuntungan materi secara tidak sah, maupun mencari popularitas demi ambisi pribadiinya.

Semua akan secara jujur dan konsekswen melaksanakan semua ketentuan demi tercapainya cita-cita Yayasan PIRI.

Tidak mengejar gebyar lahir

Yayasan PIRI tidak memungkiri betapa arti dan pentingnya “gebyar lahir”. Tetapi memang tujuan PIRI bukan mengejar kemilaunya kulit luar, melainkan isi yang berada di dalamnya.

Isi tersebut kalau hanya dilihat dengan mata jasmani, dirasakan dengan rasa wadag, sepintas lalu tidak menyenangkan, karena ternyata wujud adan sifatnya tidak langsung mendatangkan kesenangan duniawi.

Dengan ini berarti permasalahannya sudah menyangkut mengenai wadah dan isi, yang kedua-duanya diharapkan untuk dapat dicapai secara sempurna.

Memang, wadah atau isi harus dipikirkan bersama-sama tanpa mengistimewakan yang satu dari yang lain. Dengan catatan bahwa isi itu merupakan sesuatu yang pokok, sedang wadah adalah pendukungnya.

Di dalam Yayasan PIRI, tidak ada kekhususan tugas secara mutlak. Dalam arti, seseorang hanya bertugas dan bertanggung jawab secara mutlak terhadap hal atau perkara yang semata-mata berupa wadah, seperti bangunan gedung, peralatan dan sarana lain. Demikian pula sebaliknya.

Semua bertanggung jawab atas kedua-duanya, baik secara sendiri-sendiri mupun secara bersama-sama, meskipun terdapat pembidangan yang bersifat teknis organisatoris.

Oleh Yayasan PIRI, akan selalu dipegang teguh sebagai suatu jangka menengah maupun jangka panjang, pesan Badan Pemangku Asas bahwa gambaran PIRI nantinya adalah suatu kompleks di mana terletak sebuah masjid yang megah, dikelilingi oleh rumah-rumah mubaligh, dan di sekitarnya berjajaran sekolah-sekolah yang dipenuhi oleh anak-anak yang haus ilmu dan petunjuk Ilahi.

Di situ pula terdapat sekelompok barisan Ahmadi yang terdiri dari para pengurus Yayasan PIRI, Kepala Sekolah, Guru dan Pegawai, yang siap berjuang di jalan Allah.

Semoga betul-betul terjadi. Alangkah indahnya! Allahu Akbar, Allah Maha Besar!

***

Yayasan PIRI, tidak perlu diragukan lagi, jelas identik dengan GAI. Dengan kata lain, harus berada dalam keserempakan dengan GAI. Harus begini, tidak bisa yang lain!

Singkatnya, meskipun antara GAI dan PIRI itu tampaknya tidak serupa, tetapi PIRI sebetulnya sama dan berada dalam keserempakan yang harmonis dengan GAI. Apa yang dilakukan oleh PIRI untuk GAI itu sebetulnya justru untuk kepentingan PIRI itu sendiri.

Meskipun medan yang dihadapi oleh GAI tidak sama dengan yang dihadapi oleh PIRI, tetapi kedua-duanya bertugas dengan asas, tujuan dan cara yang sama pula.

Nah, kalau segala-galanya sudah sama, apalagi yang mau dipersoalkan?

Segala-galanya dapat diatur. Yang penting sekarang ini keprihatinan menghadapi kenyataan bahwa meskipun perangkan perjuangan sama, tetapi kenapa hati ini, hati para pelaksana ini, masih sering ada yang mangu-mangu, ragu-ragu, ewuh pekewuh, sehingga secara halus sampai “ditedi” oleh Pedoman Besar mengenai keidentikan dan kesinkronisasiannya dengan Gerakan Ahmadiyah.

Sejarah akan mencatat, apakah kita hanya selalu akan main-main saja di Yayasan PIRI, atau ingin selalu meningkat menjadi pemain yang baik.

Saya menghimbau kepada angkatan muda yang ada di sini, dan di manapun, yang mempunyai rasa kecintaan kepada PIRI, mari jangan hanya menonton, mengagumi atau sebaliknya kadang-kadang mencibiri.

Tetapi siapkan diri anda untuk secara berestafet mengemban amanat GAI yang dipikulkan kepada PIRI: menyiarkan dan mempertahankan Islam, sesuai ajaran Mujaddid!

  • Oleh: Muhdi Djauhar | Sumber Artikel : Naskah Ceramah Jalsah Salanah GAI pada 23-25 Desember 1983 di Magelang
  •  DrsMuhdi Djauhar adalah Wakil Ketua Yayasan PIRI pada periode terakhir kepemimpinan Ibu Koestirin Djojosoegito hingga wafatnya (antara 1980-1990). Sebelumnya, pernah juga menjabat sebagai Kepala SMP PIRI 2 Yogyakarta (sekarang SMP PIRI 2 Nitikan) selama beberapa periode.
  • Beliau adalah lulusan Kursus Mubaligh yang diselenggarakan oleh PB GAI pada tahun 1979. Kemudian pernah menjabat sebagai Wakil Ketua GAI Cabang Yogyakarta antara 1974-1978, mendampingi Dr. Ahmad Muhammad Djojosoegito sebagai Ketua Cabang GAI Yogyakarta pada masanya.
Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here