Diskursus

GAI dan Soal Ahmadiyah di Indonesia

Dalam kasus Jemaat Ahmadiyah Indonesia, menurut hemat kami, hal terbaik bagi penyelesaian permasalahannya adalah dengan melakukan proses hukum melalui pengadilan.  Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) oleh sebagian kalangan dituduh sebagai pelaku penodaan agama, yang seakan-akan menjadi dalil pembenaran bagi sebagian masyarakat untuk melakukan tindakan inkonstitusional terhadap JAI. Sementara itu JAI bersikeras menolak tuduhan tersebut. Maka tugas pengadilan adalah membuktikan benar-tidaknya tuduhan tersebut.

Oleh: Mulyono | Sekretaris PB GAI

Term of Reference (TOR) Dialog dan Dengar Pendapat tentang Ahmadiyah hari ini, secara keseluruhan hanya berbicara tentang Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), atau Ahmadiyah Qadian. Ahmadiyah Lahore sendiri sepintas lalu disebut-sebut pada paragraf keempat, yang dikaitkan dengan fatwa MUI tahun 2005 tentang Ahmadiyah. Itu pun perlu diberikan klarifikasi.

Keputusan Fatwa MUI tahun 2005 tentang Ahmadiyah secara eksplisit menyatakan sebagai “penegasan kembali”  terhadap keputusan fatwa serupa tahun 1980. Dengan demikian Keputusan Fatwa MUI tahun 2005 tentang Ahmadiyah tidak berdiri sendiri atau terpisah dengan fatwa serupa tahun 1980. Sedangkan keputusan fatwa MUI tahun 1980 tentang Ahmadiyah yang berjudul “Ahmadiyah Qadiyan” itu pada intinya berisi dua hal:

  1. Memohon kepada pihak yang berwenang untuk meninjau kembali Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI No. JA/23/13 tanggal 13-3-1953 (Tambahan Berita Negara No. 26, tanggal 31-3-1953), yakni nomor badan hukum JAI.
  2. Menyerukan kepada MUI di semua tingkatan, para ulama dan da’i di seluruh Indonesia untuk menjelaskan kesesatan Jemaat Ahmadiyah Qadiyan, dan juga menyerukan kepada mereka yang telah terlanjur mengikuti Jemaat Ahmadiyah Qadiyan untuk segera kembali kepada ajaran Islam yang benar.

Hal ini menjadi semakin jelas oleh adanya kenyataan bahwa 12 (dua belas) butir pernyataan yang dihasilkan melalui serangkaian dialog (dengan JAI), kemudian SKB Tiga Menteri tentang Ahmadiyah, dan juga Instruksi Menteri Agama Nomor 2 Tahun 2011 Tanggal 16 Februari 2011, hanya berkenaan, atau ditujukan kepada, Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).

Dengan demikian, dalam forum ini GAI tidak dalam posisi yang sama dengan JAI, atau tegasnya, tidak dalam posisi yang semestinya dipersoalkan, sebagaimana JAI. Kendati demikian, GAI menyambut positif berbagai upaya yang dilakukan oleh pihak mana pun untuk mencari solusi terhadap persoalan Ahmadiyah, dan berusaha sedapat mungkin berperan aktif dalam upaya tersebut. Insya Allah.

Sekilas tentang Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI)
Jika Ahmadiyah diidentikkan dengan pengakuan kepada Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi dan sekaligus penerima wahyu kenabian, maka secara faktual GAI berada di luar itu. Anggaran Dasar (Qanun Asasi) GAI yang juga termuat dalam Tambahan Berita Negara R.I. Tanggal 28/11 1986 No. 95 menyatakan demikian:

“bahwa sesungguhnya Islam adalah Agama yang sempurna dan benar menurut pandangan Allah dan merupakan Agama para Nabi Allah, yang mengajarkan Ke-Esaan Allah. Bahwa Al-Qur’an adalah Kitab Suci yang paling sempurna, lengkap dan terakhir, sebagai petunjuk bagi umat manusia, selalu terjaga kesucian dan kemurnian-nya. Bahwa Nabi Muhammad saw. adalah Utusan Allah, Nabi Terakhir, tak ada lagi Nabi sesudah beliau, baik Nabi lama maupun baru dan contoh terbaik bagi kehidupan manusia yang wajib diikuti ….” (Muqadimah Anggaran Dasar GAI).

Kata Ahmadiyah memang melekat pada GAI, akan tetapi sebagaimana dijelaskan dalam tafsir Qanun Asasi, nama itu merujuk kepada salah satu nama Nabi Muhammad saw. yang tersebut dalam Q.S. 61:6, yakni Ahmad, dengan maksud agar setiap warga GAI menghayati dan kemudian mengaktualisasikan sifat-sifat ke-Ahmad-an itu di dalam praktik hidup kesehariannya, yang lebih mengedepankan sifat-sifat jamaliyah, seperti andhap asor, rendah hati, lemah lembut, dsb.

GAI adalah organisasi mandiri (independen), tidak berafiliasi dan tidak ada hubungan organisatoris maupun struktural dengan organisasi apa pun dan di mana pun (Ayat 3 Pasal 6 AD GAI). GAI berasaskan Pancasila sebagaimana termaktub di dalam Undang-undang Dasar 1945 dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 4 AD GAI), bertujuan untuk menegakkan kedaulatan Allah, Tuhan Yang Maha Esa, agar umat Indonesia mencapai keadaan jiwa (state of mind) atau kehidupan batin (inner life) yang disebut salam (damai) (Pasal 5 AD GAI), dengan berpegang teguh pada: (1) Al-Qur’an, Firman Allah, Kitab Suci terakhir dan sempurna, petunjuk hidup bagi manusia; (2) Sunnah Nabi dengan keyakinan bahwa Nabi Muhammad saw. adalah Nabi Utusan Allah, Nabi terakhir yang sesudah beliau tidak akan datang Nabi lagi, baik Nabi lama maupun Nabi baru; (3) Tuntunan Mujaddid … dan bahwa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad adalah Mujaddid abad ke-14 H. …. (Pasal 5 AD GAI).

Oleh karena itu salah satu misi GAI adalah menegakkan aqidah Islam dalam hal berakhirnya kenabian pada diri Rasulullah Muhammad saw., sekaligus menjunjung tinggi Sabda beliau yang menyatakan bahwa Allah berjanji akan mengutus pada tiap-tiap permulaan seratus tahun orang yang akan melakukan tajdid (pembaruan) dalam agama Islam (Hadits Riwayat Abi Daud yang bersumber dari sahabat Abi Hurairah). Salah seorang mujaddid itu, menurut keyakinan GAI, adalah Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908).

GAI didirikan pada tanggal 28 September 1928 dan mendapat pengakuan sebagai badan hukum dengan Keputusan Pemerintah, atau Gouvernements Besluit, tanggal 4 April 1930 No. 1x (Extra bijvoegel Jav. Courant 22 April 1930 No. 32), kemudian terdaftar di Departemen Agama RI Tanggal 27 Desember 1963 Nomor 18/II, dan termuat dalam Berita Negara pada lampiran No. 35 yang diumumkan pada tanggal 28 November 1986 Nomor 95.

Sebagai organisasi kemasyarakatan-keagamaan (Islam), Departemen Agama RI, melalui surat tertanggal 21 Februari 1966 Nomor: L-I/3/I/368/66, menyatakan kesediaannya untuk bekerja sama dengan GAI dalam bidang kepentingan bersama atau salah satu pihaknya secara temporal, tanpa ikatan khusus, dan kontinyu. Dalam hal kerjasama GAI-Depag RI sejauh ini terjalin dengan baik. Hal ini sekurang-kurangnya tampak dalam kenyataan bahwa:

  1. Penerbitan Terjemah dan Tafsir Qur’an Suci dalam bahasa Jawa (terjemahan dari The Holy Qur’an karya Maulana Muhammad Ali) mendapat izin dari Menteri Agama RI No. D 26/Q.I. tanggal 3 Oktober 1958 dan izin mentashihan Kementerian Agama R.I. No. A/O/IV/3602 tanggal 13 Maret 1959;
  2. Penerbitan Terjemah dan Tafsir Qur’an Suci dalam bahasa Indonesia mendapat izin dari Departemen Agama R.I. No. Sd/Lega/II-d/82/71 tanggal 2 Juli 1971;
  3. Penerbitan buku terjemahan Islamologi (Dinul Islam) bahkan diberi kata sambutan dari Departemen Agama RI, yang ditandatangani oleh Sekjen Depag RI tanggal 24 Mei 1976.

Hazrat Mirza Ghulam Ahmad dalam pandangan GAI
Dengan berpedoman pada Q.S. 33:40 dan sejumlah Hadits Nabi saw. yang menyatakan bahwa sesudah Beliau saw. tidak ada Nabi lagi, maka GAI menolak tegas setiap klaim kenabian sesudah Nabi Muhammad saw. Bahkan jika pun klaim itu dilakukan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Dalam hal ini, bagi GAI mustahil mengingkari dua dalil yang paling otoritatif (al-adillatu-l qath’iyyah), yakni Al-Qur’an dan Hadits Nabi saw., terhadap perkara agama Islam.

GAI menghormati Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sebagai salah seorang mujaddid, sebagaimana penghormatan serupa diberikan kepada mujaddid-mujaddid lain, seperti misalnya Imam Syafi’i, Imam Hambali, Imam Abu-l Hasan Al-Asy’ari, dlsb. Faktanya, seluruh warga GAI adalah pengikut mujaddid Imam Syafi’i, terutama dalam hal fiqhiyah (padahal Hazrat Mirza Ghulam Ahmad mengikuti madzhab Hanafi, begitu juga Maulana Muhammad Ali); juga pengikut Imam Abu-l Hasan Al-Asy’ari, terutama dalam aspek aqidah; dll., di samping pengikut Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, terutama dalam aspek penyiaran dan pembelaan Islam. Dalam kaitannya dengan aspek yang tersebut terakhir inilah GAI (paling tidak sampai pada tingkat tertentu) juga mengakui Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sebagai Almasih dan Mahdi yang dijanjikan.

Sebagai bukan nabi, yang tidak mendapat jaminan “tidak salah” dalam masalah keagamaan, maka GAI menjauhkan diri dari sikap taqlidu a’ma (membabi buta) kepada Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Faktanya banyak hal dari beliau yang karena berbagai faktor (mungkin persoalan konteks waktu, keadaan, tingkatan spiritualitas, dll.) banyak di antara warga GAI yang tidak bisa memahami, terutama dalam hal-hal yang bersifat sufistik-spiritualistik. Dalam hal-hal seperti ini orang-orang GAI lebih senang kembali kepada dalil-dalil yang qath’i, yang secara umum dipahami, atau dijalankan, oleh kebanyakan umat Islam di Indonesia. Kenyataannya, sikap demikian ini membuat warga GAI, sejauh ini, tidak seorang pun yang teralienasi, apalagi bersikap eksklusif dalam hal praktik-praktik keagamaan (ibadah), karena memang tidak ada perbedaan sedikit pun dengan praktik keagamaan mayoritas umat Islam di Indonesia, demikian pula dalam konteks hubungan sosialnya.

Meskipun GAI mengakomodasi, atau bahkan boleh dibilang mengusung, ide-ide keagamaan Ahmadiyah Lahore (Ahmadiyah versi Maulana Muhammad Ali), tetapi dalam kenyataannya juga tidak sepenuhnya. Independensi GAI memang memungkinkan untuk itu. Raden Ngabehi Haji Minhajjurrahman Djojosugito, yang dapat dibilang sebagai tokoh sentral pendiri GAI, mengibaratkan Ahmadiyah Lahore sebagai buah mangga, dan GAI sekedar mengambil bijinya (pelok — Jawa), lalu ditanam di Indonesia, tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi tanah dan iklim Indonesia, dan akhirnya berbuah dengan cita rasa Indonesia. Dengan demikian sesungguhnya hubungan ideologis dengan Ahmadiyah Lahore relatif longgar, meskipun tidak bisa disebut samar-samar.

Oleh karena itu jika ada sejumlah pihak yang menduga, atau bahkan menuduh, bahwa Maulana Muhammad Ali sebelum tahun 1914 juga mempercayai Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, dan jika memang faktanya demikian, maka hal itu menjadi tanggung jawab Maulana Muhammad Ali secara pribadi, dan tidak ada sangkut-pautnya dengan GAI. Sedangkan GAI tidak ingin terlibat dalam spekulasi masalah ini.

Sikap GAI terhadap JAI dan pemerintah
Terhadap sejumlah hal, sikap GAI telah dirumuskan dalam Kongres III Tahun 1932 di Purwokerto. Khusus kepada Jemaat Ahmadiyah (JAI), GAI telah menyatakan “tidak bertanggung jawab” terhadap hal ihwal yang berkaitan dengan paham keagamaan dan organisasi tersebut (butir 6). Sedangkan sikap GAI terhadap sijasah (politik), antara lain dirumuskan, “G.A. menurut wet (oendang-oendang) negeri tempat G.A. tinggal, dengan berpegangan sembojan: “La tha’ata li machloeqin fi ma’siatillah” (Tiada ta’at kepada machloek dalam hal ma’siat kepada Allah (butir 2). Singkatnya, GAI senantiasa taat kepada pemerintah yang sah dan undang-undang yang berlaku di negara Pancasila ini. Hal ini terbukti oleh adanya kenyataan, antara lain, pada muktamar tahun 1947 di Purwokerto, salah satu keputusan pentingnya ialah menerima Pancasila sebagai dasar dan falsafah NKRI, justru ketika arus yang menghendaki Islam sebagai dasar NKRI sangat kuat.

Sebagaimana terlihat dalam tujuan GAI yang telah tersebut di atas, maka segala usaha yang dilakukan adalah berorientasi kepada ke-Indonesiaan, yakni untuk ‘menciptakan’ kondisi Indonesia yang damai (damai dengan Allah dan damai dengan sesama manusia). Oleh karena itu apabila ditemukan korelasi yang positif antara ketidak-damaian di Indonesia belakangan ini dengan keberadaan GAI, maka GAI wajib mematuhi keputusan apa pun yang dikeluarkan oleh pemerintah. Insya Allah.

Solusi permasalahan Ahmadiyah
Indonesia adalah negara merdeka dan berdaulat penuh yang memiliki hukum dan undang-undang sendiri. Dengan demikian setiap kebijakan pemerintah seharusnya hanya didasarkan kepada hukum dan undang-undang yang berlaku di Negara Indonesia. Artinya tidak perlu merujuk atau mengikuti hukum dan undang-undang negara lain.

Sebagai negara yang menjunjung tinggi eksistensi agama, maka setiap terjadi silang pendapat dalam masalah agama, pemerintah semestinya memfasilitasi terjadinya dialog secara memadai dengan ketentuan bahwa pihak-pihak yang berselisih pendapat tersebut mendasar-kan argumentasi-argumentasinya kepada sumber-sumber ajaran agama yang disepakati oleh kedua belah pihak. Dalam hal agama Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah/Hadits Nabi Muhammad saw., dengan keyakinan penuh bahwa yang mesti benar dalam perkara agama hanyalah Allah dan Utusan-Nya. Apabila terjadi perbedaan interpretasi terhadap dua sumber qath’i tersebut dalam masalah-masalah yang tidak menyangkut pokok asasi agama, semestinya dipahami oleh semua pihak sebagai dinamika pemikiran keagamaan, yang akan membuka peluang bagi munculnya pemikiran-pemikiran keagamaan yang lebih aktual dalam konteks ke-Indonesiaan. Dengan demikian pintu bagi lahirnya pemikir-pemikir besar yang akan memberikan sumbangan berharga bagi kemajuan Islam, baik dalam skala Indonesia maupun dunia, akan tetap terbuka selebar-lebarnya di bumi Pancasila ini.

Dalam kasus Jemaat Ahmadiyah Indonesia, menurut hemat kami, hal terbaik bagi penyelesaian permasalahannya adalah dengan melakukan proses hukum melalui pengadilan.  Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) oleh sebagian kalangan dituduh sebagai pelaku penodaan agama, yang seakan-akan menjadi dalil pembenaran bagi sebagian masyarakat untuk melakukan tindakan inkonstitusional terhadap JAI. Sementara itu JAI bersikeras menolak tuduhan tersebut. Maka tugas pengadilan adalah membuktikan benar-tidaknya tuduhan tersebut.

Kedua belah pihak harus bersikap legawa terhadap putusan pengadilan, dengan segala konsekuensinya. Jika dalam pengadilan terbukti bahwa JAI melakukan penodaan agama, maka JAI harus patuh pada putusan apa pun yang dikeluarkan oleh pengadilan. Demikian juga sebaliknya jika JAI tidak terbukti melakukan penodaan agama, dan misalnya diputuskan tetap memiliki hak untuk meneruskan keberadaanya di Indonesia, maka pihak penuduh juga harus tunduk dan patuh pada putusan itu. Dalam hal ini aparatur pemerintah harus juga mematuhi putusan pengadilan tersebut, dan melakukan tindakan hukum sesuai dengan keputusan itu.

Negara, di satu sisi, memiliki kewajiban dan kewenangan sepenuhnya untuk menegakkan konstitusi, dan di sisi lain masyarakat memiliki kewajiban juga untuk mematuhi konstitusi. Jika ini bisa diterima, maka tidak ada pihak yang dapat mempersalahkan negara, sepanjang negara bertindak berdasar konstitusi.[]

 

Disampaikan dalam Dialog dan Dengar Pendapat Tentang Penanganan Permasalahan Ahmadiyah di Indonesia Di Kantor Kementerian Agama, 22 Maret 2011

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here