DiskursusTabayyun

Klaim Hazrat Mirza Ghulam Ahmad dalam Perspektif Ahmadiyah Lahore

Kalau penerimaan terhadap klaim Hazrat Mirza Ghulam Ahmad itu ternyata tidak berpengaruh apa-apa terhadap perkembangan iman dan ketaqwaan dalam dirinya, yang kemudian teraktualisasi ke dalam praktik hidup atau pun semangat pembelaan terhadap kebenaran Islam, maka penerimaan itu tidak punya arti apa-apa. Demikian juga bagi orang yang menolak, kalau ternyata tidak lebih baik ketimbang orang yang menerima, tentu tidak pada tempatnya kalau kemudian memburuk-burukkan, mencaci-maki, menghujat, dlsb.

Oleh: Mulyono | Sekretaris PB GAI

Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, oleh kaum Ahmadi, diyakini sebagai Almasih yang Dijanjikan (al-masih al-mau’ud) oleh Nabi Suci saw. dalam berbagai riwayat hadits, yang tugas-tugasnya antara lain: membunuh dajjal, mematahkan salib, membunuh babi, dan menjadi hakim yang adil.

Dajjal, dalam interpretasi Ahmadiyah, adalah aspek teologi Yakjuj dan Makjuj, yakni bangsa-bangsa Barat, dengan ciri utamanya materialistik. Itulah makanya, dalam Hadits dikatakan bahwa Dajjal mata kanannya buta, sedang mata kirinya cemerlang.

Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa Dajjal adalah pola hidup materialisme, yang memang tidak selaras dengan ajaran Islam yang spiritualistik.

Sebuah Hadits mengatakan bahwa fitnah terbesar sejak diciptakannya Adam sampai hari Kiamat adalah fitnahnya Dajjal. Ini artinya, materialisme telah menyebabkan orang lupa pada tujuan hidup yang sebenarnya, kecuali sekedar kenikmatan duniawi.

Jika materialisme dibiarkan merajalela, maka derajat dan martabat manusia sebagai ciptaan Allah yang terbaik (ahsani taqwiim) menjadi rendah. Sebabnya, materialisme membawa implikasi buruk, yakni penghalalan segala cara untuk mencapai tujuan, yakni kenikmatan duniawi. Jika demikian, apa yang membedakan manusia dengan binatang?

Jadi, “membunuh Dajjal” tidak lain adalah menghindarkan kaum Muslimin dari pengaruh materialisme dan mengembalikannya kepada spiritualisme.

Diakui atau tidak, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad telah berhasil mengidentifikasi sosok Dajjal dan Yakjuj dan Makjuj, yakni bangsa-bangsa Barat, paling tidak dalam perspektif waktu itu, dengan teologi kekristenannya.

Tidak bisa dipungkiri, kaum Muslimin telah terjerat dalam fitnahnya Dajjal sedemikian rupa sehingga spiritualitas Islam menjadi terabaikan. Kaum muslimin telah menjadikan Islam tidak lebih dari sistem ritual yang formal dan kosong. Akibatnya, umat Islam dengan mudah dapat didominasi oleh bangsa-bangsa Barat, karena tidak memiliki ketahanan spiritual yang memadai.

“Mematahkan Salib” artinya adalah mematahkan dalil-dalil dan argumentasi-argumentasi yang menopang bangunan teologi yang disimbolkan dengan bentuk salib. Teologi kekristenan dibangun di atas fondasi keyakinan terhadap kematian Yesus di atas tiang salib dan kebangkitannya kembali untuk menebus dosa umat manusia.

Bangunan itu tentu akan runtuh jika dapat dibuktikan bahwa Yesus tidak mati di atas tiang salib, dan juga tidak akan bangkit lagi. Sayangnya, kaum Muslimin sendiri banyak yang keyakinannya justru menguatkan keyakinan seperti itu, meskipun secara sepintas tampak berbeda.

Salah satu keyakinan yang menguatkan kekristenan adalah bahwa Nabi Isa masih hidup di langit, sampai sekarang, dan pada saatnya akan turun kembali ke dunia. Keyakinan semacam ini telah dimanfaatkan oleh umat Kristen untuk menunjukkan bahwa Nabi Isa lebih hebat dibanding Nabi Muhammad saw.

Hidup lebih dari 2000 tahun tanpa makan dan minum, menunjukkan bahwa Yesus adalah Tuhan, karena yang tidak memerlukan makan dan minum hanyalah Tuhan saja. Keyakinan seperti itulah yang menjadi penghalang diterimanya Islam oleh orang-orang Barat.

Sementara itu, “Membunuh Babi,” dalam interprestasi Ahmadiyah, adalah membunuh tabiat-tabiat kotor, rakus, mengutamakan kegemukan duniawi, seperti yang dimanifestasikan oleh binatang babi.

Dalam ajaran Qur’an, daging babi haram dikonsumsi. Banyak teori telah dikemukakan oleh para ahli untuk mengungkap misteri keharaman daging babi. Dari berbagai teori tersebut ada satu kesepakatan bahwa makanan sangat berpengaruh terhadap jiwa (karakter, sifat, perangai, dll.).

Jadi salah satu alasan pengharaman daging babi adalah pengaruhnya terhadap jiwa manusia (sifat kotor, rakus, mengutamakan kegemukan duniawi, dll) yang menjadi ciri khas babi. Oleh karena itu, membunuh babi dimaksudkan sebagai menghilangkan sifat-sifat kotor, rakus (tidak berakhlak), dan yang lebih penting lagi menjauhi barang dan perbuatan haram.

Kemudian tentang tugas sebagai hakim yang adil, ini menunjukkan bahwa Almasih Yang Dijanjikan akan berdiri di tengah-tengah berbagai golongan.

Suatu kenyataan yang kita saksikan, manusia terpisah-pisah dalam banyak golongan. Di dalam umat Islam sendiri, juga terdapat sekat-sekat ideologi paham keagamaan yang bermacam-macam. Masing-masing mengklaim sebagai kelompok yang paling benar dan menganggap golongan lain salah.

Pada umumnya, penggolongan tersebut pada awalnya disebabkan oleh masalah-masalah fiqiyah. Oleh karena itu, dalam hal ini, Al-Masih Yang Dijanjikan tidak memihak pada salah satu golongan fiqih, melainkan bersikap toleran dan akomodatif.

Tentang adanya kenyataan umat Islam terpecah-pecah dalam banyak kelompok, tentu sangat melemahkan potensi umat Islam sendiri. Bukan berarti umat Islam harus bersatu dalam satu paham keagamaan, atau dengan kata lain, tidak boleh berbeda-beda pendapat tentang berbagai hal. Tetapi yang terpenting adalah sikap terhadap berbagai perbedaan itu.

Untuk menyatukan milyaran umat Islam dalam satu pikiran tentu usaha yang mustahil dan sia-sia. Tetapi menyatukan seluruh kaum Muslimin menjadi satu keluarga besar dengan masing-masing golongan dan individu saling memahami perbedaan-perbedaan yang ada, adalah sesuatu yang sangat mungkin terjadi.

Sikap lapang dada dan toleransi, mau tidak mau, telah menjadi tuntutan zaman sekarang, dan kedua sikap inilah yang sekarang sedang berkembang dan dikembangkan oleh hampir semua golongan dalam Islam.

Sebagai contoh adalah sikap kaum Muslimin pada umumnya terhadap Ahmadiyah Lahore. Dalam buku-buku terbaru yang ditulis oleh para sarjana belakangan ini telah menempatkan Ahmadiyah Lahore sebagai bagian dari Islam, yang sebelumnya dianggap kelompok minoritas non-Islam, dengan tetap mengakui adanya sejumlah perbedaan.

Tampaknya, perkembangan tersebut akan mengarah kepada suatu keadaan, dimana identitas organisasi tidak menjadi sesuatu yang sangat penting. Atau sekurang-kurangnya fanatisme golongan yang sempit menjadi lebih longgar, dan bahkan mungkin akan menjadi hilang.

Kita dapat menyaksikan beberapa gejala, misalnya pemuda-pemuda NU bersekolah di sekolah Muhammadiyah, dan banyak pula pemuda-pemuda Muhammadiyah belajar di pondok pesantren NU. Demikian juga yang terjadi pada Ahmadiyah Lahore.

Gambaran yang lebih terang lagi adalah pada Pemilu yang lalu, dimana organisasi keagamaan tidak bisa lagi diarahkan sebagai unsur kekuatan dalam politik praktis oleh tokoh-tokohnya. Ini menunjukkan, sekali lagi, bahwa fanatisme golongan sudah sangat longgar.

Jika gejala-gejala di atas memang menunjukkan suatu perkembangan ke arah kesatuan umat Islam, maka pada saatnya orang hanya akan berbicara tentang Islam yang satu dan bukan lagi bicara golongan-golongan. Kecuali tentunya dalam kajian-kajian ilmiah dan kesejarahan.

Sikap “berada di tengah semua golongan” adalah salah satu ciri khas Ahmadiyah Lahore. Kesatuan seluruh kaum Muslimin dan persatuan seluruh umat manusia, adalah dua sifat dakwah Ahmadiyah Lahore, disamping tidak memaksa, rasional, dll.

Tidak mengaku menjadi nabi

Agaknya tidak bisa dipungkiri bahwa secara faktual Hazrat Mirza Ghulam Ahmad pernah mengaku nabi. Tetapi tidak boleh diabaikan pula adanya fakta lain bahwa pengakuan itu telah diralat atau lebih tepatnya dijelaskan oleh beliau.

Singkatnya, pengakuan beliau sebagai nabi hanya dalam arti harfiah, bukan dalam pengertian istilah atau syari’ah. Andai pun orang masih merasa keberatan dengan kata itu, maka Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sendiri menganjurkan mengganti kata itu dengan muhaddats.

Di dunia sufi, penggunaan kata nabi dan wahyu bagi seseorang yang memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan Allah, adalah sangat biasa dan sudah menjadi pengertian umum. Tetapi istilah ini menjadi asing di telinga dan pemahaman orang yang tidak berada atau tidak memahami dunia sufi.

Pertanyaannya adalah: Apakah Hazrat Mirza Ghulam Ahmad seorang sufi? Kalau orang mau jujur memperhatikan kebersahajaan pola hidup, ketinggian ruhani dan kemampuan spiritualnya, maka akan berkesimpulan bahwa beliau adalah seseorang yang menempuh jalan sufi.

Beliau telah mengorbankan segala yang beliau miliki untuk menegakkan kebenaran Islam. Beliau benar-benar mengesampingkan kehidupan duniawi. Dalam arti, usahanya bukan untuk memperoleh kebesaran duniawi, melainkan sepenuhnya untuk menegakkan Kedaulatan Ilahi.

Boleh jadi pernyataan semacam itu terkesan berlebihan bagi sebagian orang. Tetapi kalau kita memahami kondisi umat Islam pada saat itu, kesan berlebihan itu tidak akan muncul. Lihat saja Maulvi Muhammad Husein, seorang pemimpin golongan Ahli Hadits, yang memberikan apresiasi begitu tinggi kepada beliau, kendati dalam sejumlah masalah keagamaan, keduanya berseberangan.

Dalam mengomentari buku Barahini Ahmadiyah yang ditulis oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, Maulvi Muhammad Husein menulis sebagai berikut: 

“Pada hemat kami, buku ini belum pernah ditulis oleh kalangan Islam pada abad sekarang dan entahlah untuk masa yang akan datang. Semoga Allah setelah ini berkenan menganugerahkan peristiwa lain yang menggembirakan.

Penulis buku ini telah membuktikan keteguhannya dalam membela Islam, baik dengan harta, pena, lisannya, dan pengalaman agama pribadinya yang demikian luas sehingga jarang sekali teladan serupa ini ditemukan di antara kaum Muslimin sebelumnya.

Apabila ada orang yang menganggap bahwa perkataan kami ini berlebihan sebagaimana halnya kebiasaan orang asia, maka suruhlah ia menunjukkan pada kami paling sedikit satu dari buku serupa ini yang memuat bantahan yang kuat dan tegas terhadap semua golongan yang menentang islam, khususnya orang pembela perkara Islam yang di samping membela perkara Islam dengan hartanya, jiwanya, penanya, lisannya, dan juga telah maju ke depan dengan pengalaman agamawinya menghadapi penentang Islam dan para penolak wahyu.

Selain itu, hendaknya dengan jantan menantang bahwa barangsiapa meragukan kebenaran wahyu, maka dipersilakan datang kepadanya untuk menyaksikan kebenaran. Dan hal inilah yang membuat orang non-Muslim merasakan kebenaran Islam.” (Majalah Isha’at al-Sunnah, vol. 7, Juni – November, 1884)

Penggenapan sabda Nabi Suci Muhammad saw

Dalam sejarah kenabian, agaknya tidak ada seorang nabi pun yang pada awalnya tidak dimusuhi atau bahkan ditolak oleh kaummnya. Nabi Ibrahim, misalnya, beliau harus menjalani penganiayaan dengan cara dibakar. Nabi Musa, juga dikejar-kejar. Nabi Isa, harus menjalani penyaliban (masalah ini akan dibahas tersendiri –pen.), Nabi Muhammad saw., bahkan sampai pada tingkat akan dibunuh.

Rupa-rupanya, hal yang demikian bukan saja menimpa para nabi, melainkan juga para pejuang perkara Allah. Tiga dari empat Khulafaur-Rasyidin harus mati di tangan pembunuh. Demikian juga para imam besar dalam Islam seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal, termasuk Imam Ghazali. Artinya, orang yang membela perkara Allah boleh dikata selalu menerima cobaan-cobaan berat.

Jadi, penolakan kepada Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, sesungguhnya bukan sesuatu yang merisaukan, karena Nabi Suci Muhammad saw. pun, kendati semua orang Islam mengakui sebagai manusia paling sempurna, toh harus mengalami ujian dan cobaan yang ekstra berat, dan bahkan sampai sekarang pun masih banyak yang menolak.

Klaim Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sebagai mujaddid, masih dan mahdi, sesungguhnya pada saat yang tepat. Artinya, keberadaan beliau sebenarnya sesuai dengan tuntutan zaman dan keadaan. Dengan kata lain, zaman itu sangat membutuhkan kehadiran beliau.

Hal ini tidak dalam pengertian personal. Maksudnya, seandainya bukan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, maka dapat dipastikan ada orang lain yang akan membuat pengakuan-pengakuan seperti itu. Oleh karena secara faktual yang membuat pengakuan adalah Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, maka sebagian orang yang kemudian menjadi pengikut beliau meyakini bahwa beliau merupakan penggenapan atas sabda Rasulullah Muhammad saw., yang dalam salah sebuah riwayat Hadits menyatakan bahwa tiap-tiap permulaan seratus tahun atau satu abad, Allah akan membangkitkan seseorang yang akan melakukan pembaruan dalam agama Islam (HR Abu Daud).

Kendati begitu, terhadap klaim Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, orang bebas bersikap: percaya atau tidak percaya. Orang boleh tidak percaya jika memiliki alasan. Orang juga boleh percaya sepanjang memiliki alasan yang jelas. Itulah makanya, Allah menyatakan bahwa dalam agama (Islam) tidak boleh ada pemaksaan (QS Al-Baqarah [2]: 256).

Dalam banyak kasus, sesuatu yang diyakini kebenarannya oleh seseorang, belum tentu orang lain menerima kebenaran itu. Lebih-lebih masalah keagamaan. Oleh karena Islam adalah milik Allah, maka dalam kasus seperti ini biarlah Allah sendiri yang menjadi hakim.

Mungkin yang lebih penting dari persoalan percaya atau tidak percaya itu adalah hasil atau akibat dari sikap yang diambil. Maksudnya, kalau penerimaan terhadap klaim Hazrat Mirza Ghulam Ahmad itu ternyata tidak berpengaruh apa-apa terhadap perkembangan iman dan ketaqwaan dalam dirinya, yang kemudian teraktualisasi ke dalam praktik hidup atau pun semangat pembelaan terhadap kebenaran Islam, maka penerimaan itu tidak punya arti apa-apa.

Demikian juga bagi orang yang menolak, kalau ternyata tidak lebih baik ketimbang orang yang menerima, tentu tidak pada tempatnya kalau kemudian memburuk-burukkan, mencaci-maki, menghujat, dlsb.

Menghujat, mencaci-maki, apa pun alasannya, bukanlah perbuatan yang terpuji. Kalau pun seandainya Hazrat Mirza Ghulam Ahmad dan pengikutnya adalah tidak benar, maka berarti para penghujat sudah melakukan perbuatan yang tidak terpuji.

Apalagi kalau Hazrat Mirza Ghulam Ahmad dan pengikutnya ternyata benar, yang mungkin kebenarannya hanya belum diketahui saja oleh para penghujat, maka para penghujat itu tentu akan mengalami kerugian ganda.

Sekali lagi, karena ini persoalan agama, biarlah Allah yang mengadili. Islam adalah milik Allah, maka Dia pasti akan membelanya jika ada upaya-upaya penghancuran.

Kata pembaruan, dalam konteks Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, hanyalah dalam arti mengembalikan Islam pada pangkal kemurniannya. Kalau Islam diibaratkan sebuah bangunan, yang bangunan itu sepenuhnya harus bertumpu pada Al-Qur’an, maka seperti itulah yang diupayakan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Kalau praktik syariatnya harus mengikuti contoh Rasulullah Muhammad saw., maka itu pulalah yang diajarkan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad.

Islam, terutama pada masa beliau, sungguh-sungguh telah kehilangan daya tariknya. Hal ini disebabkan terutama sekali oleh satu hal, yakni umat Islam “telah meninggalkan Qur’an” (QS Al-Furqan [25]: 30). Kecuali itu, juga karena umat Islam mengabaikan teladan Rasulullah Muhammad saw.

Prakteknya, dalam menafsirkan Qur’an, misalnya, umat Islam banyak menyelipkan dongeng-dongeng yang tidak jelas asal-usulnya. Praktik-praktik mistik pun banyak dilakukan oleh umat Islam dan dianggap sebagai ajaran Islam.

Ibarat sebuah taman, maka keindahan taman Islam benar-benar tertutup oleh semak-semak dan ilalang bid’ah, khurafat dan takhayul. Apa-apa yang diajarkan oleh orang yang dianggap imam atau ulama, meskipun tidak jelas sumbernya, dijalankan oleh pengikutnya.

Pendek kata, umat Islam kehilangan kemandirian dalam hal beragama. Sikap taqlid kepada ulama benar-benar menjadi ciri umat Islam ketika itu. Ulama bahkan dianggap memiliki otoritas lebih tinggi dibanding Qur’an dan Sunnah Nabi.

Hal-hal seperti itulah yang menyebabkan umat Islam mundur dan bahkan menjadi paling terbelakang, setelah berjaya selama berabad-abad sebelumnya.

Oleh karena itu Allah berkehendak untuk membersihkan taman itu melalui seorang pembaru (mujaddid). Hazrat Mirza Ghulam Ahmad-lah yang mengaku sebagai ‘juru taman’ itu untuk membersihkan semak-semak yang menutupi keindahan taman Islam, hingga kembali mempesona bagi siapa pun yang memandangnya. Hazrat Mirza Ghulam Ahmad tidak mengubah, menambah atau pun mengurangi setitik pun ajaran Islam seperti yang dicontohkan oleh Nabi Suci Muhammad saw.

Jadi, pembaruan yang dilakukan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad bukanlah menambah sesuatu yang sebelumnya tidak ada atau yang sejenis dengan itu, melainkan ‘hanya’ mengembalikan Islam seperti aslinya, yakni Islam yang indah menawan, yang membuat siapa pun menjadi tertarik kepadanya.

Islam adalah agama yang selaras dengan fitrah manusia (QS Ar-Ruum [30]: 30). Kalau pun sampai hari ini masih banyak orang yang belum tertarik kepada Islam, boleh jadi karena belum memahami kebenaran ajarannya. Atau boleh jadi, umat Islam sendiri belum mampu menampilkan keindahan Islam dalam pribadinya.

Dengan demikian, yang lebih dibutuhkan pada saat ini bukan berlomba-lomba mengoreksi dan mencari kesalahan orang, melainkan berlomba-lomba berbuat kebaikan (QS Al-Baqarah [2]: 148).[]

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comments (3)

  1. Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu (AL QURAN) dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin (MANUSIA) selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).QS.7:3.============================

    Orang kacau-balau yang pemikirannya salah-kaprah bergantung kepada terjemahan Al Quran seperti di atas, padahal seharusnya adalah:
    Ikutilah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhan-mu dan janganlah kamu mengikuti pelindung-pelindung selain Dia. Tetapi, tidak sedikit pun kamu mengambil nasihat. QS7:3.

    Yang dimaksud dengan kata pelindung-pelindung dalam ayat itu bukan pemimpin-pemimpin (MANUSIA), melainkan apa pun yang dijadikan oleh kamu sebagai pelindung-pelindung selain Allah. Contohnya: Orang-orang Kristen berlindung kepada tuhan Yesus, ada juga sebagian orang Yahudi yang meyakini bahwa Uzair atau Ezra adalah anak tuhan. Orang-orang Arab pada zaman Nabi saw yang berlindung kepada Latta, Uzza & Manat. Hal seperti inilah yg SALAH menurut Al Quran.

  2. AYAT2 DIATAS ITU DI PERKUAT LAGI LARANGAN MENGKULTUSKAN SEORANG PEMIMPIN MANUSIA
    DALAM AL QURAN;

    Follow (O men!) the revelation given unto you from your Lord, and follow not, as
    friends, or protectors, other than Him. Little it is ye remember of
    admonition.QS 7;3
    ———————
    Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu (AL QURAN) dari Tuhanmu dan janganlah kamu
    mengikuti pemimpin-pemimpin (MANUSIA) selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil
    pelajaran (daripadanya).QS.7:3.

    ————————
    They take their priests and their anchorites to be their lords in derogation of
    Allah, and QS. 9:31
    ———————
    Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan
    selain Allah [6],…….

    Demikianlah wahyu2 ALLAH menjelaskan sejelas jelasnya.

  3. Assalam\’alaikum wrwb.
    Bismilahirahmanirrahiim

    Pendahuluan.
    Imam Safie dan Khalifah Abu Bakar benasehat begini;
    Kalau ajaran2 ku sesuai dengan al Quran (bukan kitab2 Hadits) ikutilah aku, kalau bertentangan,tegurlah aku atau tinggalkan aku.

    Imam Safie dan Khalifah Ab Bakar merujuk kepada wahyu2 ALLAH dibawah ini.Renungkan !!

    Do not trust in human leaders; no human being can save you. When they die,they
    return to the dust; on that day all their plans come to the end.Psalm 146:3
    ————————-
    Jangan percayakan diri anda kepada manusia,karena manusia tidak bisa
    menyelamatkan anda,Ketikan dia mati, dia akan menjadi tanah kembali; pada hari
    itu semua rencana2nya akan berakir.
    ———————–
    There is no one in this earth who does what is right all the time and never
    makes a mistake.Ecc.7:20
    ———————–
    Artinya tidak ada seorang manusia di bumi ini yang selalu berbuat benar setiap
    waktu dan tidak pernah melakukan kesalahan.
    ———————
    It is better to trust in God,than depend on man.
    It is better to trust in God,than depend on human leaders.Psalm 118:8
    ———————
    Lebih baik percaya kepada ALLAH,( Al Quran) dari bergantung kepada manusia.
    Lebih baik percaya kepada ALLAH,dari bergantung kepada orang2 alim.

    Semoga wahyu2 ALLAH dan nasehat Imam Safie dan Abu Bakar diatas itu dapat memberikan kita peringatan agar kita jangan sekali kali mengkultuskan seorang manusia,karena manusia tetap bisa membuat kesalahan2 atau dosa2 selama hidupnya.

    With Love
    http://muslimbertaqwa.blogspot.com/

    Wassalam

Comment here