Artikel

Relasi Muslim dan Non Muslim dalam Perspektif Al-Qur’an

Al-Qur’an diturunkan di tengah masyarakat Arab yang sudah memiliki peradaban yang mengakar kuat pada kebudayaannya. Dengan kata lain, secara historis, al-Qur’an turun tidak dalam ruang hampa yang tanpa konteks. Sebagai pesan Tuhan, wahyu memiliki objek sasaran dan sasaran itu adalah masyarakat Arab pada abad ke-7 Masehi.

Dalam teori komunikasi, efektivitas komunikasi dapat terjadi apabila antara pihak yang berkomunikasi menggunakan media yang bisa dipahami keduanya. Sampai abad ke-11 atau 12 SM, wilayah-wilayah Timur Tengah menganut politeisme, paganisme, dan animisme.

Mesir Kuno, mengenal dewa Osiris, Isis, dan Horus; Yunani melukiskan kebenaran, kebaikan, dan keindahan bersumber dan tumbuh dari gejala-gejala alam berdasarkan pancaindra. Pada abad ke- 11 atau 12 SM mulai muncul agama monoteisme Zoroaster/ Majusi di Persia.

Setelah itu lahir Yahudi (abad ke-2 SM), di Mesir dan di Palestina lahir agama Nasrani/Kristen (abad ke-1 Masehi). Pada abad ke-2 M, terjadi perubahan terbesar di Timur Tengah, di bawah kekuasaan Romawi; muncul kebangkitan dan penyebaran Kristen. Kristen mengambil banyak ajaran monoteisme Yahudi, filsafat Yunani, agama-agama Asia, lalu menambahkan dua faktor yang sebagian besar tidak ditemukan dalam Hellenism dan Romanism: Kristus menawarkan keabadian bagi semua, dan ajarannya didasarkan pada cinta ras manusia.

Dengan demikian orang-orang non-muslim memang telah dikenal sebelum kedatangan Islam. Fazlur Rahman mengemukakan bahwa; orang-orang Yahudi dan Nasrani telah mencoba menarik orang-orang Arab ke dalam agama mereka. Namun hanya segelintir orang Makkah yang menganut agama Nasrani.

Seperti dikatakan Watt—menganut agama Nasrani itu mengandung implikasi politik, sebab kekaisaran Bizantium dan Abisinia menganut agama Kristen Ortodoks dan Monofisit, sedangkan kekaisaran Persia menganut Kristen Nestorian. Maksudnya, sekte manapun yang menjadi pilihan orang Arab akan menyebabkan permusuhan dengan sekte lainnya, dan hal itu akan mengganggu kepentingan dagang mereka.

Tetapi di lain itu, Islam bukan saja memperkokoh persatuan di antara kabilah-kabilah yang sedang bertempur, melainkan pula menggalang persaudaraan di antara bangsa-bangsa di dunia, bahkan mempersatukan orang-orang yang tak mempunyai persamaan apa pun selain persamaan sebagai manusia.

Islam menghilangkan perbedaan warna kulit, suku bangsa, bahasa dan latar batasbatas geografis, bahkan Islam menghilangkan pula perbedaan kebudayaan. Islam mempersatukan manusia yang satu dengan manusia yang lain begitu rupa, hingga denyut jantung orang-orang di ujung Timur, klop dengan denyut jantung orang-orang yang ada di ujung Barat.

Sungguh benar bahwa Islam bukan saja telah membuktikan sebagai kekuatan pemersatu yang paling besar, melainkan Islam adalah satu-satunya kekuatan yang telah mempersatukan seluruh umat manusia, karena agama-agama lain hanya mampu mempersatukan unsur-unsur dalam satu bangsa saja, tetapi Islam benar-benar telah mempersatukan berbagai bangsa dan mempersatukan segala unsur kemanusiaan yang saling bermusuhan dan saling bertentangan.

Alangkah besarnya kekuatan Islam dalam mengembalikan peradaban manusia yang telah hilang. Al-Quran juga menegaskan:

“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa -bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al-Hujurat ayat 13)

Hubungan Islam dengan agama-agama lain telah lama berjalan. Saat awal di Mekkah bersentuhan dengan kaum Musyrikin, dan di Madinah bersentuhan dengan agama Yahudi dan Nasrani. Maka dari itu Islam memiliki relasi dalam “pergaulannya” dengan agama-agama lain. Untuk itulah tulisan ini mencoba mendeskripsikan secara sederhana mengenai “relasi” Islam dan Non-Muslim dalam presfektif Qur’ani.

Term Non-Muslim di dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an mengungkap adanya kelompok non-Muslim pada masa awal Islam dalam beberapa ayat. Selain al-Hajj (22):17 yang sudah disebutkan di atas, juga ada ayat yang dekat dengan ini yaitu al-Baqarah (2):62 dan al-Maidah (5):69.

Darwis Muhdina yang menelusuri ayat-ayat tentang Ahl al-Kit?b dalam al-Mu’jam al-Mufahras li’ al-Fazh Al- Qur’?n al-Kar?m, menemukan bahwa kata Ahl al-Kit?b digunakan al-Qur’an sebanyak 31 kali yang tersebar pada sembilan ayat yaitu: Al-Baqarah (2):105, 109; Ali Imran (3):64, 65, 69, 70, 71, 72, 75, 98, 99, 110, 113, 199; An-Nisa (4):123, 153, 159, 171; Al-Maidah (5):15, 19, 59, 65, 68, 77; Al-Ankabut (29):46; Al-Ahzab (33):26; Al-Hadid (57):29; Al-Hasyr (59):2, 7; Al-Bayyinah (98):1, 6.

Dengan demikian makan cukup untuk membuktikan bahwa agama Islam merupakan agama yang bersentuhan dengan agama-agama lain. Ayat-ayat di atas cukup jelas dalam memahami bahwa Tuhan menciptakan banyak keyakinan yang berbeda.

Kategori dan Tipologi Non-Muslim

Kaum Yahudi, Narani, Sabi’in, orang Majusi, dan orang musyrik sudah ada dalam masyarakat Arab sebelum kedatangan Islam. Dengan kata lain, keberadaan mereka langsung dapat menunjukkan bahwa non-muslim sudah eksis di sana sebelum kedatangan agama Islam. Ketika Islam mulai berkembang luas di Semenanjung Arabia dan sudah membentuk sebuah komunitas sosial dan politik yang besar, muncullah kategori masyarakat yang didasarkan pada agama warga negara.

Dari uraian di atas  tampak bahwa non-Muslim yang digambarkan al-Qur’an ada lima kelompok yaitu Yahudi, Shabi’in, Nasrani, Majusi, dan Musyrik. Kata yang dominan digunakan adalah Ahl al-Kit?b. Al-Qur’an banyak sekali menyebut Ahli Kitab yang umumnya dimaknai dengan Nasrani dan—terutama—Yahudi.

Pada periode Makkah, ayat terkait dengan Ahli Kitab antara lain adalah al-Ankabut (29):46:

Artinya: “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan Katakanlah: “Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada Kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan Kami dan Tuhanmu adalah satu; dan Kami hanya kepada-Nya berserah diri” (Al-Ankabut (29):46)

Oleh karenanya terdapat tiga tipologi non-muslim yang kami kemukakan:

Pertama, golongan kaum musyrikin. Rasyid Ridla, yang dianggap pendapat lebih moderat mengemukakan bahwa: yang dimaksud alMusyrikun dalam al-Qur’an hanyalah orang-orang Arab penyembah berhala.

Kedua, golongan Ahli Kitab Semitik.  Golongan ini, atau penganut agama Semitik, yaitu Yahudi dan Nasrani. Tipologi ini ahli kitab ini didasarkan pada surah al-Bayyinah ayat 1: “Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata.”

Pada ayat 6 dinyatakan, “Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orangorang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk buruk makhluk” (QS. Al-Bayyinah [98]:6).

Ketiga, Ahli Kitab non-Semitik. Ahli Kitab yang ini merupakan kaum yang menerima kitab suci bukan dari kelompok Yahudi dan Nasrani. Para penganut agama Majusi, Shabi’un, dan para pemeluk agama –agama yang tidak disebutkan al-Qur’an, seperti Brahmaisme (Hindu), Buddha, Konfusius, dan Shinto dapat digolongkan sebagai Ahl al-Kitab dengan alasan bahwa tidak ada satu umatpun tidak didatangi oleh seorang rasul Tuhan.

Pada awalnya mereka memiliki kitab suci dan memunyai akidah tauhid, tetapi seiring perjalanan waktu kitab suci dan keyakinan tauhid mereka rusak. Mengenai sebab mereka tidak disebut dalam Al-Qur’an, menurutnya, adalah karena orang-orang Arab tidak mengenal mereka.

Relasi Kaum Muslimin dengan Non-Muslim dalam Konteks Sejarah Awal Islam

Bentuk interaksi sosial antara Nabi Muhammad dengan penganut Yahudi, khususnya di kota Khaibar, tampak dalam beberapa kasus. Pada tahun 7 H, Nabi menikahi Shofiah puteri Huyai bin Akhtab, seorang tokoh Yahudi Bani Quraidzah di Khaibar. Meskipun Shofiah masuk Islam dan mendapat julukan Ummul al-Mukminin, tetapi Huyai bin Akhtab, tetap menganut agama Yahudi hingga meninggal dunia.

Dalam kasus lain, menjelang wafat, Nabi Muhammad meminjam gandum sebanyak 30 sha’ dari seorang Yahudi bernama Abu Syahm, dengan menjaminkan baju perang beliau. Aisyah berkata, “Rasulullah wafat dan baju perang beliau digadaikan kepada seorang Yahudi untuk gandum sebanyak 30 sha’”46. Hutang Nabi ini dilunasi oleh Ali bin Abi Thalib.

Relasi Muslim dan non-Muslim di Madinah diperkuat dengan norma dalam teks Piagam Madinah. Piagam Madinah menyatakan bahwa unsur regional (wilayah) saat berdirinya kedaulatan itulah yang memberikan hak kepada warga negara non Muslim dan menjamin mereka mendapatkan hak dan kewajiban yang sama dengan Muslim; tidak ada rasisme atau anggapa adanya warga kelas dua.

Piagam Madinah menjadi landasan yuridis non Muslim terbesar di Madinah pada masa Nabi yaitu Yahudi sehingga sehingga mereka dapat hidup secara bebas dan mendapatkan perlindungan hak politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Demikian juga komunitas penduduk non Muslim yang lebih kecil yaitu Nasrani. Karena itulah banyak penulis sejarah menyatakan bahwa Negara Madinah sebenarnya sudah mencerminkan sebuah negara modern.

Terkait kedudukan non Muslim dalam Negara Madinah ini, dalam Piagam Madinah dirumuskan kebebasan beragama, hubungan antarkelompok, kewajiban setiap warga negara mempertahankan negara Madinah, dll. Terkait kedudukan Yahudi, secara eksplisit dikemukakan dalam Pasal 16, 24, 25-35, 37-38.

Pasal 16 menyatakan bahwa kaum Yahudi yang mengikuti dan bergabung dengan kaum Muslimin berhak mendapat dukungan. Pasal 25-35 menyebutkan secara jelas nama-nama suku/bani Yahudi yaitu Auf, Najjar, Saidah, Hars, Sa`labah, Jafnah, dan Syuthaibah.

Pada Pasal 25 disebutkan secara eksplisit bahwa kaum Yahudi merupakan satu umat dengan kaum Muslim; mereka mempunyai kebebasan memeluk agama mereka. Pada Pasal 46 disebutkan bahwa hak dan kewajiban kaum Yahudi sama dengan kaum Muslimin.

Pasal-pasal inilah yang menjadi dasar penilaian sebagian ahli sejarah bahwa Nabi Muhammad tidak bermaksud mendirikan negara yang ekslusif bagi kamu Muslimin.

Al-Qur’an dan Prinsip Menghargai Keyakinan Orang Lain

Prinsip menghormati agama lain ini bukan berarti mendukung dan menyetujui praktik agama tersebut. Prinsip menghormati adalah sikap toleransi beragama tanpa adanya cacian dan hinaan. Ini sebagaimana tergambar dalam QS. 6 [al-An’am]: 108:

Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”

Mengenai ayat di atas, diriwayatkan oleh al-Thabarî dari Qatâdah bahwa di zaman Nabi SAW Umat Islam mengejek berhala-berhala Kaum Kafir, maka ejekan ini gantian dibalas oleh mereka. Sebab itu, Allah melarang untuk mengejek tuhan mereka dikarenakan mereka orang-orang yang tidak berilmu.

Dalam Asbâb al-Nuzûlnya, ia menceritakan ketika Umat Islam mengejek tuhan-tuhan Kaum Musyrik, terjadilah ultimatum terhadap Nabi SAW dan orang-orang Mukmin. Kaum Musyrik berkata: “Wahai Muhammad! Hanya ada dua pilihan, kamu tetap mencerca tuhan-tuhan kami, atau kami akan mencerca Tuhanmu?” Kemudian turunlah ayat di atas.

Secara tegas ayat ini mengajarkan kepada Kaum Muslim untuk dapat memelihara kesucian agamanya, menciptakan rasa aman, dan menjaga hubungan harmonis antar umat beragama. Manusia sangat mudah terpancing emosinya bila agama dan kepercayaannya disinggung. Ini adalah tabiat manusia, apapun kedudukan sosial dan tingkat pengetahuannya. Hal ini karena agama bersemi di dalam hati penganutnya, sedangkan hati adalah sumber emosi.

Berbeda dengan pengetahuan, yang mengandalkan akal dan pikiran. Seseorang dengan mudah mengubah pendapat ilmiahnya, tetapi sangat sulit mengubah kepercayaannya meskipun bukti-bukti kekeliruan akan kepercayaan yang dianutnya telah nyata di hadapannya. Dari prinsip menghormati ini, nantinya akan timbul sikap saling kerjasama antar umat beragama.

Al-Quran merupakan kitab suci yang paling toleran dan menghargai agama lain. Jika Umat Kristen dan Yahudi berusaha untuk memerangi dan memusuhi umat agama lain, Islam justru mengajarkan umatnya untuk berbuat baik, berlemah lembut, dan bersikap toleran terhadap yang lain. Sikap Islam yang demikian ini bersumber dari al-Qur’an yang mengajarkan etika kebebasan beragama, etika menghormati agama lain, dan etika menjaga persaudaraan.

Kebebasan beragama dalam Islam tercermin dengan tidak adanya kewajiban bagi umatnya untuk memaksa orang lain agar memeluk Islam dan beriman kepada Allah. Islam hanya mewajibkan umatnya berdakwah sesuai yang digambarkan dalam QS. al-Nahl: 125, yakni dengan hikmah, nasehat yang baik, dan berdebat dengan cara yang baik pula.

Perihal dakwah itu diterima atau tidak merupakan urusan Allah SWT. Adapun prinsip menghormati agama lain dalam Islam bukan berarti mendukung dan menyetujui praktik agama tersebut. Prinsip menghormati adalah sikap toleransi beragama.[]

Oleh: M. Guntur Sandi Pratama, S.Ag | Mahasiswa S2 Studi Agama-Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Daftar Pustaka

  • Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993)
  • Ahmad Sukarja, Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar NKRI 1945; Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk (Jakarta: Sinar Grafika, 2014)
  • Ali Mustafa Yaqub, Kerukunan Umat dalam Perspektif Al-Quran dan Hadis,
  • Ali Sodiqin, Antropologi al-Qur’an: Model Dialektika Wahyu dan Budaya (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2008)
  • Darwis Muhdina, “Orang-orang non-Muslim dalam al-Qur’an” dalam Jurnal Al-Adyaan, Volume I, Nomor 2, Desember 2015.
  • Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, terj. Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka, 1983)
  • Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, cet. ke-30 (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2005)
  • M. Quraish Shihab. Tafsir Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Volume III. (Jakarta: Lentera Hati. Cet. II, 2009)
  • Maulana Ali, Islamologi, (Jakarta: Darul Islamiyah, t.t)
  • Ochsenwald dan Fisher, The Middle East a History, edisi VI (New York: Mc Graw Hill, 2003)
  • Rasyid Ridla, Tafsir al-Manar (Beirut: Dar al-Fikr, n.d ), Jilid 6.
  • W.Mongomery Watt, Pengantar Studi Al-Qur’an, terj. Taufiq Adnan Amal (Jakarta : CV. Rajawali, 1991)
Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »