Dalam sejarahnya, Islam datang dan diterima dengan baik di Nusantara, meskipun agama Hindu dan Budha telah berabad-abad berkembang, bahkan telah mendasari bangunan budaya yang kokoh bagi bangsa ini.
Dalam perkembangannya, Islam bahkan menggeser posisi kedua agama tersebut, dan menjadi agama anutan bagi mayoritas warga bangsa ini.
Hampir pasti, itu terjadi oleh sebab para penyiar Islam kala itu mampu menampilkan Islam dalam wajahnya yang indah menawan. Sehingga secara fitriah, siapa pun pasti akan terpesona.
Buktinya, Islam mampu hidup berdampingan secara damai dengan agama yang sudah ada di Nusantara ini, dalam waktu yang sangat panjang.
Sebagai pendatang baru, Islam tidak memusuhi tradisi dan budaya yang berakar pada ajaran agama sebelumnya, melainkan memberi isi dan mempertinggi nilai berbagai tradisi keagamaan yang ada.
Kiranya tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa Nusantara pada masa lalu adalah Madinah kedua. Jika Madinah pertama dibangun oleh Rasulullah Saw. berlandaskan Piagam Madinah, maka Madinah kedua (Nusantara) dibangun berlandaskan piagam (semboyan) Bhinneka Tunggal Ika. Secara essensial kedua piagam tersebut tidak berbeda, atau sekurang-kurangnya tidak bertentangan.
Tetapi keadaan berubah ketika imperialisme Eropa berlangsung, bersamaan dengan infiltrasi agama mereka, yang memposisikan diri dan agamanya lebih tinggi ketimbang bangsa pribumi dan agama yang dianutnya. Beserta dengan itu, Islam mengalami kemunduran dalam hampir segala aspeknya.
Belakang hari, berbagai kelompok berupaya membangkitkan kejayaan Islam kembali, tetapi justru berimplikasi pada lahirnya berbagai golongan paham keagamaan, dan tidak sedikit yang menyelenggarakan metode syi’ar yang kontraproduktif dengan misi islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Jika di era pra imperialisme, umat Islam bisa hidup berdampingan dengan penganut agama lain. Di era sekarang ini, bukan hanya dengan yang lain, bahkan dengan sesama umat muslim pun saling bermusuhan, karena perbedaan paham keagamaan.
Lebih parahnya lagi, situasi itu kini diperkeruh dengan silang sengkarut dan riuh rendah urusan politik praktis pasca reformasi, yang diniscayakan oleh sebab terbuka lebarnya kran demokrasi yang sempat lama tersumbat.
Akibatnya, keindahan wajah Islam di Indonesia hilang. Islam menjadi tampak garang, dan kehilangan ruh perdamaian yang menjadi nilai inti ajarannya.
Secara teoritis, Gerakan Ahmadiyah Indonesia adalah gerakan Islam di Indonesia yang hendak berdiri di atas semua golongan, dan bertujuan menampakkan wajah Islam yang indah menawan itu kembali, dengan mengarusutamakan sikap rendah hati dan kelemahlembutan (jamaliah).
Orientasi GAI dalam soal Indonesia damai termaktub jelas dalam Qanun Asasi, yakni “menegakkan Kedaulatan Allah agar umat Indonesia mencapai keadaan jiwa (state of mind) atau kehidupan batin (inner life) yang disebut salam (damai).”
Sayangnya, meski sudah berusia hampir seabad, tampaknya GAI belum mampu memberikan sumbangsih yang cukup bermakna dalam mewujudkan visi dan misi yang mulia itu, di Indonesia.
Jalsah GAI tahun 2020 dengan tema “Implementasi Nilai-nilai Islam dalam Kultur Ke-Indonesiaan,” – yang mau tidak mau mesti diselenggarakan secara daring oleh sebab situasi pandemi ini, diharapkan dapat melahirkan formula-formula jitu dalam rangka mengimplementasikan ajaran Islam yang telah di-tajdid dalam konteks ke-Indonesiaan di era kekinian.
Semoga Allah Meridhai.[MYN]
— Term of Reference Jalsah Salanah GAI 24-25 Desember 2020 —