Puji syukur ke hadirat Allah karena kita masih dikaruniai umur panjang, sehingga bisa memasuki bulan Dzulhijjah, bulan terakhir di tahun 1443 Hijriyah. Dan selang satu hari lagi, berdasarkan keputusan Pemerintah melalui Kementerian Agama RI, kita akan memasuki Hari Raya Idul Adha 1443 H.
Di hari raya idul adha, kita semua, umat Islam di seluruh dunia, akan merayakan kesyukuran kita atas berbagai nikmat karunia Allah yang tak terhitung jumlahnya, dengan semangat kurban lillaahi ta’ala, yang antara lain oleh sebagian kita yang berkemampuan, diwujudkan melalui simbol atau perlambang rangkaian ibadah haji dan penyembelihan hewan qurban.
Dan tepat di Hari Jum’at ini, tanggal 9 Dzulhijjah waktu Arab Saudi, sejak siang hingga terbenamnya matahari maghrib nanti, di kawasan tandus bebatuan seluas 20 kilometer persegi yang dikenal dengan Padang Arafah, jutaan umat Islam dari berbagai penjuru dunia berkumpul melakukan ritual Wukuf, sebagai tanda dimulainya rangkaian ibadah atau manasik haji.
*****
Haji adalah salah satu ibadah utama yang diwajibkan bagi umat Islam yang telah mempunyai kemampuan, baik fisik, mental maupun finansial, sebagaimana diisyaratkan Allah dalam firman-Nya:
Walillaahi ‘alannaasi hijjul bayti manistatha’a ilayhi sabiila. Wa man kafara fainnallaaha ghaniyyun ‘anil ‘aalamiin.
“Ibadah haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, bagi orang yang mampu menempuh perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari apa yg diwajibkan Allah kepadanya, maka ketahuilah, Allah Maha Kaya, dan tak membutuhkan suatu apa pun dari ciptaan-ciptaanNya.”
Rangkaian Ibadah Haji atau manasik haji, terdiri dari beberapa ritual yang penuh makna, sejak Mabid di Mina, Wukuf di Arafah, Mabid di Muzdalifah, Lontar Jumrah di Mina, serta Thawaf dan Sa’i di Mekah. Ritual ibadah haji sejatinya merupakan kegiatan napak tilas perjalanan spiritual Nabi Ibrahim, untuk mengenang kisah ketaatan beliau dan ketulusikhlasannya di dalam menjalankan segala perintah Allah SWT.
Bermula dari perintah Allah kepada Nabi Ibrahim untuk melakukan perjalanan dari Mekah menuju Arafah bersama Siti Hajar dan Ismail. Dalam perjalanan itu, selama tiga malam berturut-turut Nabi Ibrahim bermimpi dengan mimpi yang sama, yaitu mempersembahkan korban kepada Allah, dalam wujud menyembelih Ismail, putranya.
Dan dari ketiga mimpinya itulah Nabi Ibrahim sangat yakin bahwa perintah untuk mengorbankan anak kesayangannya itu adalah perintah Allah adanya, sebagai wujud pembuktian akan ketulusan pengabdian dan ketaatannya.
Di tanggal 8 Dzulhijjah, dalam perjalanan dari Mekah ke Arafah, Ibrahim beserta istri dan anaknya bermalam di Mina. Pada malam 8 Dzulhijah itu, Ibrahim bermimpi dengan sangat jelas menyembelih anaknya, Ismail. Segera ia terbangun dan termenung memikirkan makna mimpi yang terlihat sangat jelas itu.
Sampai pagi datang ia tidak mampu memejamkan kembali karena galau. Ia meragukan mimpi itu sebagai perintah Allah. Karena Allah adalah Dzat Yang Maha Penyayang, yang tak pernah mungkin akan berbuat dzalim menganiaya hamba-hamba-Nya. Ketermenungan Ibrahim di Mina ini, dalam ritual ibadah haji dikenal sebagai HARI TARWIYAH (Hari Perenungan), di mana para jamaah haji berkumpul dan bermalam di Mina, seraya bersiap-siap menuju Arafah.
Keesokan harinya Ibrahim meneruskan perjalanannya menuju Arafah. Ibrahim belum bercerita kepada anak dan istrinya tentang mimpinya semalam. Karena ia sendiri masih tidak tahu dan ragu-ragu tentang takwil mimpi tersebut. Apakah itu sekedar kembang tidur, godaan setan, atau perintah Allah.
Mereka sampai di padang Arafah sore hari menjelang malam. Di sanalah Ibrahim membuka tenda kembali untuk bermalam. Pada malam 9 Dzulhijah di Arafah itu, kembali Ibrahim bermimpi. Mimpinya yang kedua itu persis sama dengan mimpi pertama saat di Mina yaitu menyembelih putranya, Ismail.
Ia tergeragab kembali, terbangun dari tidurnya. Dan seperti malam sebelumnya, ia tidak bisa memejamkan matanya kembali sampai pagi. Mimpi itu mulai membuat keraguannya akan perintah Allah mulai luntur. Tak kuat rasanya ia memendam sendirian. Ingin diceritakannya kepada anak istrinya beban yang berat menghimpit itu. Tetapi ia menahan diri sampai siang datang.
Dalam kegundahan itu, Ibrahim memutuskan untuk tidak menceritakan dulu kepada mereka, melainkan akan terlebih dahulu mohon petunjuk kepada Allah. Dari itulah Ibrahim wukuf, atau menghentikan segala aktivitasnya di dalam tenda, sambil memohon petunjuk kepada Allah. Ia berkontemplasi, berdzikir, dan berdoa di dalam tendanya, sepanjang siang hingga menjelang matahari terbenam.
Dalam wukufnya itu, ia kemudian mendapatkan ketenteraman dan ketenangan. Hatinya menjadi lebih jernih dalam menangkap tanda-tanda dari Allah. Lantas ia pun memohon kepada Allah untuk memperjelas perintah itu agar ia mantap dan tak ragu-ragu dalam menjalaninya.
Hari di mana Ibrahim wukuf itu, dalam ritual ibadah haji kini dikenal sebagai Hari Arafah (Hari Pencerahan). Hari dimana Ibrahim memperoleh pencerahan atas makna ujian yang diberikan Allah kepadanya.
Mimpi yang sama kembali mendatangi ibrahim pada malam 10 Dzulhijah di Arafah. Seperti mimpi-mimpi malam sebelumnya, dengan sangat jelas Ibrahim melihat dirinya menyembelih Ismail, putranya. Dengan datangnya kembali mimpi itu, Ibrahim pun menjadi yakin bahwa mimpi itu adalah perintah Allah kepadanya untuk mengorbankan putranya sebagai bukti ketaatan kepada-Nya.
Akhirnya ia memutuskan untuk melaksanakan perintah Allah itu keesokan harinya. Karena itu, tanggal 10 Dzulhijah dalam rangkaian ibadah haji dikenal sebagai HARI NAHAR (hari berkorban).
Sesudah mimpi ketiga di malam itu juga, Ibrahim dan anak istri bergegas melanjutkan perjalanan meninggalkan Arafah menuju Mina. Tengah malam mereka beristirahat sejenak di Muzdalifah. Saat itulah Ibrahim digoda dan dirayu oleh setan, agar membatalkan keputusannya mengorbankan Ismail.
Tapi, Ibrahim sudah mantap hati, dan teguh pada keyakinannya untuk melaksanakan perintah Allah pada keesokan harinya. Ibrahim lantas mengambil sejumlah batu untuk mengusir setan yang menghalanginya.
Bagi jamaah haji kini, malam hari di Muzdalifah itu, disunahkan mengambil batu kerikil untuk melempar jumrah keesokan harinya, sebagai simbol menghalau setan, atau segala penghalang di dalam penghayatan perjalanan hidupnya selama mengabdi kepada Allah.
Siang hari di tanggal 10 Dzulhijjah, Ibrahim sampai di Mina. Kemudian Ibrahim dan keluarganya menuju ke sebuah bukit yang hari ini dikenal sebagai Jabal Qurban, dimana Ibrahim akan melaksanakan perintah Allah mengurbankan Ismail. Ia pun minta ijin kepada Hajar untuk naik bukit bersama Ismail, sedangkan Hajar diminta untuk menunggu di bawah.
Dalam perjalanan ke atas bukit di Mina itulah Ibrahim dan Ismail dihadang oleh setan, yang lagi-lagi merayu agar membatalkan niat kurbannya. Tetapi, Ibrahim melempari setan itu dengan bebatuan yang telah ia kumpulkan di Muzdalifah. Dan begitulah sampai kali yang ketiga peristiwa itu terjadi, hingga setan pun enyah dari hadapannya.
Dalam ibadah haji, pelemparan batu terhadap setan itu dikenang sebagai LONTAR JUMRAH, yakni Jumrah Aqabah, Jumrah Wustho dan Jumrah Ula.
Sesampai di atas bukit, barulah Ibrahim menceritakan kepada Ismail tentang mimpinya yang datang berturut-turut dalam tidurnya selama tiga hari. Di momen itulah, terjadi dialog yang sangat menyentuh hati, antara seorang Ibrahim yang saleh dengan anaknya, Ismail yang santun dan penyabar.
Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk membenarkan mimpi tersebut dan mewujudkan mimpi itu sebagai pemenuhan atas ujian yang Allah berikan kepada mereka. Kisah itu diabadikan Allah melalui firman-firman-Nya di dalam Quran Surat Ash-Shaffaat (37) ayat 100 sampai dengan 110.
Antara lain, dalam dialog itu, Ismail berkata kepada ayahandanya, “Yaa abaati if’al maa tu-maruu. Satajiduunii insyaa allaahu minash-shaabiriin.” Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu. Insya Allah, engkau akan menemukan aku sebagai golongan orang yang sabar.
*****
Karena Ibrahim dan Ismail telah menunjukkan ketaatan akan perintah Allah dan berserah diri kepada-Nya, maka Allah memerintahkan Ibrahim untuk mengganti korbannya dengan seekor domba, sebagai simbol atau perlambang ketulusan pengabdian dan ketaatan mereka berdua kepada Allah.
Dan oleh sebab itulah, Ibrahim dan anak istri mengucap syukur luar biasa. Syukur karena anak kesayangannya selamat dari penyembelihan, dan syukur karena Allah berkenan atas ketulusan pengabdian dan ketaatannya.
Di siang terik di tanggal 10 Dzulhijjah, dalam nuansa penuh kesyukuran dan kegembiraan, mereka bersa’i, berlari-lari kecil naik turun perbukitan menuju Baitullah. Sesampainya di Ka’bah, mereka thawaf atau berkeliling-keliling di sekitar Ka’bah, mengangkat tangan dan menengadah ke langit, sembari meneriakkan keagungan asma Allah, seraya memuji dan mengucap syukur kepadaNya.
Labbaik allaaahumma labbaik, labbaika laasyariikalaka labbaik. Innal hamda wan-ni’mata laka wal-mulk. Laasyariikalaka labbaiik…
Ya Allah, telah aku penuhi seruan-Mu, telah aku penuhi panggilan-Mu. Sungguh, tidak ada sekutu bagi-Mu. Segala syukur dan segala nikmatku adalah pemberianMu. Begitu juga segala kuasa adalah milik-Mu. Tiada lain selain Engkau, Ya Allah, yang aku tuju.
*****
Kisah ketaatan, ketulusan pengabdian, dan pengorbanan Ibrahim & Ismail yang diabadikan Allah di dalam Al-Quran, dan diejawantahkan secara simbolis dalam ritual haji dan qurban itu, semoga bisa kita teladani dan kita ejawantahkan di dalam kehidupan kita di alam dunia ini.
Sebab sejatinya, kehidupan kita adalah rangkaian perjalanan dari Allah menuju Allah, sebagai Tuhan yang menciptakan kita, dan tujuan ke mana kita kembali sesudah hidup ini. Hidup kita, sejatinya adalah rangkaian pengabdian kepada Allah, sebagai wujud rasa syukur atas berbagai nikmat karunia pemberiannya.
Karena itulah, begitu penting untuk kita selalu mengejawantahkan atau merealisasikan sumpah setia yang senantiasa kita ucapkan berulang-ulang dalam shalat kita:
Inna sholaati wanusukii wamahyaayaa wamamaati lillaahi rabbil ‘aalamiin. Sesungguhnya, shalatku, pengorbanan dan pengabdianku, hidup dan matiku, hanya untuk Allah, sang penguasa alam raya.[]
| Di atas adalah naskah Khutbah Jum’at jelang Idul Adha 1443 H. Disampaikan oleh Asgor Ali pada 8 Juli 2022 di Masjid Margi Utami, Pare, Kediri
Comment here