Jama’ah shalat Idul Fitri yang berbahagia. Marilah kita bersama-sama terlebih dahulu memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah swt sedalam-dalamnya, karena hanya dengan nikmat dan karunia-Nya, kita semua dapat menyudahi puasa Ramadlan dalam keadaan sehat wal afiat sehingga pada pagi hari ini dapat berkumpul di tempat ini untuk menunaikan shalat Idul Fitri 1 Syawwal 1443 H.
Selanjutnya marilah kita mengingatkan kepada diri pribadi kita masing-masing untuk senantiasa meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Allah SWT serta memperteguh akhlak kemanusiaan kita, terutama dalam perjalanan mengarungi samudra kehidupan di era pembangunan, era industri, era modernitas dan era pandemi Covid-19. Suatu era yang oleh banyak orang dirasakan semakin kompleks dan sulit.
Hal demikian perlu, lantaran sebaik-baik bekal dan sebagus-bagus pedoman untuk mengarungi samudra kehidupan di dunia adalah bekal dan modal moral ketakwaan kepada Allah swt yang mempunyai dampak pada sisi kemanusiaan universal. Al-Quran berwasiat, “Wa tazawwaduu fa inna khairazzaadittaqwa” (Berbekallah kamu dalam mengarungi kehidupan ini dan sebaik-baik bekal adalah ketakwaan kepada Allah swt).
Pada pagi hari yang berbahagia ini, titik fokus perhatian ummat Islam di seluruh dunia tertuju pada hakekat puasa Ramadlan yang dijalani selama sebulan penuh dan mulai kita tinggalkan hari ini. Seperti layaknya orang yang hendak bepergian, ia perlu meninggalkan pesan-pesan untuk orang yang ditinggalkan.
Untuk itu, ada baiknya jika kita mencoba menghitung-hitung kembali (ihtisaaban) pesan-pesan apa saja yang diberikan dan ditinggalkan oleh ibadah puasa Ramadlan untuk bekal kehidupan manusia Muslim selama 11 bulan yang akan datang.
Dalam kalender kehidupan ummat Islam, masa ibadah puasa Ramadlan merupakan ibadah yang paling lama memakan waktu, dibandingkan dengan ibadah lainnya. Selama menjalankan ibadah puasa, manusia Muslim memperoleh beberapa pengalaman religius atau pengalaman keagamaan yang sangat khas dan otentik. Sedemikian otentiknya, sehingga kita dijanjikan akan diberi ampunan bagi yang melakukannya dengan penuh perhitungan, kewaspadaan dan kesungguhan.
Dalam sebuah hadis disebutkan, man shooma romadlon iimaanan wahti saaban ghufiralahu maa taqoddamu min dzanbih. “Barangsiapa melakukan ibadah puasa Ramadlan dengan penuh keimanan dan perhitungan yang cermat akan diampuni segala dosa-dosanya terdahuu yang dilakukan.”
Tetapi untuk tidak mengaburkan “otentisitas” dan orisinalitas pengalaman religius orang berpuasa, pada saat yang sama Rasulullah saw. juga pernah mengingatkan bahwa tidak semua orang yang melakukan puasa dapat memetik buah ibadah puasa yang sesungguhnya. “Banyak orang yang berpuasa, tidak memperoleh apa-apa dari puasanya, kecuali hanya lapar dan dahaga”
Dengan begitu, dapat dipahami bahwa disamping ada unsur “optimisme” dalam menjalani ibadah puasa, tetapi ada juga unsur “pesimisme”. Dalam realitas dan kenyataan hidup sehari-hari, kedua unsur itu memang ada dalam diri seseorang ketika menjalankan ibadah puasa. Ada perasaan besar harap (al-raja’), tetapi ada juga perasaan khawatir atau ragu (al-khauf). Untuk itulah maka pada akhir ayat yang mewajibkan orang Mukmin berpuasa hanyalah diakhiri dengan sebuah “harapan” (la’alla) yaitu la’allakumtattaquun.
Hampir seluruh peribadatan dalam Islam terselip secara eksplisit corak ketegangan yang bersifat kreatif (creative tension) yakni antara adanya “harapan” (al-raja’) dan kekhawatiran (al-khauf).
Di situ terkandung maksud bahwa belum tentu sistem formal peribadatan Islam, dengan sendirinya akan membawa kebahagiaan dan kesalehan. Di sana masih banyak faktor yang dipertimbangkan untuk dapat mengantarkan seseorang memperoleh kebahagiaan dan kesalehan. Dalam arti, masih banyak jenis ujian lain yang datang dari Allah SWT dan lebih-lebih dari lingkungan sekitar. Jika seseorang Muslim lulus melewatinya, maka ia akan tergolong yang benar-benar muflihuun, shaabiruun dan muttaquun.
Seperti difirmankan oleh Allah SWT, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: kami telah beriman, sedang mereka tidak diuji” (QS Al-Ankabut, ayat 2).
“Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu, dan agar kamu mengatakan (baik buruknya) hal ihwal kamu.” (QS Muhammad, ayat 31).
Hadirin, Jama’ah Idul Fitri rahimakumullah,
Ada pertanyaan yang cukup menggugah, yang biasa dilontarkan para pengamat dan kritikus sosial keagamaan yang berkeinginan untuk mencermati dan menajami lebih lanjut hakekat disyari’atkannya ibadah puasa Ramadlan dan sekaligus nilai manfaat praktis yang dapat dipetik dan diterapkan dalam kehidupan manusia Muslim sehari-hari.
Setidaknya ada 3 pesan ibadah puasa Ramadlan yang bersifat praktis yang dapat dipetik oleh seseorang, untuk kemudian dapat diteruskan dan diterapkan pada kehidupan 11 bulan yang akan datang, yaitu :
Pertama, Pengendalian keinginan pribadi dan kelompok.
Seseorang selama bulan puasa selaku individu (sebagai suami, istri atau anak) maupun kelompok (sebagai kepala keluarga, pemimpin masyarakat, birokrat pemerintah, manajer swasta atau pemimpin organisasi keagamaan) dapat mengendalikan dan mengontrol nafsu makan dan minum.
Puasa tidak hanya sekedar menahan makan dan minum, bahkan astronot di angkasa luarpun biasa melakukannya dengan menelan sebutir pil hasil rekayasa bio-medis sehingga dapat menahan makan dan minum berhari-hari.
Berarti ada hal yang lebih fundamental secara agamis dari hanya sekedar menahan makan. Agama Islam punya cara pandang atau falsafah hidup yang sangat berbeda.
Rutinitas makan merupakan tradisi yang membelenggu, sekali waktu perlu dihindari supaya orang sadar tentang hakekat hidup yang sesungguhnya. Orang dilatih bersikap kritis terhadap fenomena kehidupan, yang pada akhirnya akan kritis terhadap orang lain, terhadap kondisi dan perubahan sosial dan lingkungan pada umumnya.
Kedua, Pertautan antara kesalehan individual dan kesalehan publik.
Falsafah peribadatan Islam, khususnya yang terkait dengan puasa menegaskan perlunya dilakukan servis, turun mesin atau overhauling kejiwaan, selama satu bulan dalam rentang waktu satu tahun usia kehidupan manusia Muslim. Tazkiyatunnafs (penyucian diri) dalam puasa sebagai servis dan turun mesin kejiwaan, tidak lagi cukup dipahami seperti orang-orang terdahulu yakni dengan cara menarik diri dari pergumulan dan pergulatan sosial kemasyarakatan.
Makna tazkiyyatunnafs era kontemporer, terkait erat dengan keberadaan orang lain, misalnya dengan kewajiban zakat fitrah dan shadaqah sunnah sebagai penyempurna dalam berpuasa. Ibadah puasa menekankan aspek kesalehan individual dan sekaligus kesalehan publik atau sosial, sehingga dapat sebagai latihan kritis terhadap diri sendiri sekaligus kritis terhadap kelompoknya.
Ketiga, Tumbuhnya semangat dan jiwa keagamaan yang baru.
Nilai kegunaan praktis ibadah puasa Ramadlan adalah terbentuknya kepribadian yang tangguh, cara pandang dan semangat keberagamaan Islam yang baru, yang fresh, untuk menghadapi kehidupan sebelas bulan yang akan datang. Puasa tidak semata-mata sebagai doktrin yang harus dijalankan begitu saja, tanpa mengenal implikasi dan konsekuensinya dalam kehidupan kongkrit sehari-hari.
Terbentuknya cara berpikir, cara pandang dan cara hidup agamis yang baru, setelah turun mesin selama satu bulan adalah termasuk salah satu tujuan utama disyari’atkannya ibadah puasa Ramadlan (la’allakum tattaquun).
Tepat kiranya sebuah ungkapan, laysal ‘iid liman libaasul jadiid walakinnal ‘iid liman taqwaahu yaziid. “Hari Raya Idul Fitri bukanlah bagi orang-orang yang mengenakan baju baru, tetapi bagi orang-orang yang taqwanya bertambah,” yakni bagi orang-orang yang mempunyai semangat memperbaiki kehidupan pribadi, keluarga dan sosial kemasyarakatan dengan landasan nilai-nilai kerohanian dan kemanusiaan yang otentik.[]
———————
Ikhtisar Khutbah Idul Fitri 1443 H Oleh: Drs. H. Asrori, MA
Di Lapangan Margokaton Seyegan Sleman
Comment here