Pada tahun 1951, Sdr. R Sumardi Sumodiharjo, pengurus Gerakah Ahmadiyah-Lahore Indonesia (GAI) Cabang Purwokerto, mendapat saran dari Bapak Djojosugito supaya mencoba merealisir putusan Muktamar GAI aliran Lahore bulan Mei 1947, yakni mendirikan Sekolah Perguruan Islam Republik Indonesia (PIRI), seperti di Yogyakarta.
Semula beliau merasa berat, mengingat pengalamannya pada zaman penjajahan Belanda dahulu, sewaktu masih duduk dalam pengurus Muhammadiyah, ditugaskan membuka HIS Muhammadiyah, tetapi gagal. Setelah diberi nasehat bahwa Allah hanya akan menolong orang yang mau bekerja, maka tergeraklah hatinya berniat akan mencoba membuka sekolah PIRI.
Hingga dua kali rapat, GAI aliran Lahore merundingkan pembukaan sekolah PIRI tidak menelorkan hasil yang memuaskan. Rapat kedua kalinya, yang bertempat di rumah Ketua GAI aliran Lahore, R.Wanard Sukaraja, memutuskan R. Sumardi terpilih sebagai Ketua PIRI Purwokerto. Beliau menerima dengan permintaan agar saudara-saudara anggota GAI mau memberikan sumbangan tiap bulannya Rp 15 untuk biaya penyelenggaraan sekolah. Permintaan disetujui oleh rapat yang dihadiri 16 orang anggota.
Sejak waktu itu, bulan Agustus 1952, Sdr. R Sumardi sebagai Ketua GAI bekerja sama mengajak seorang simpatisan GAI, Bp. Dibyosumarko, Kepala SGB Putri Negeri Purwokerto, dan Sdr Nitisumarto, Tata Usaha di sekolah itu juga, untuk membantu mengenai administrasi. Bapak Dibyosumarko bertanya kepada Sdr R Sumardi, capital (modal) apa yang dipunya untuk membuka sekolah? Jawabanya, ia punya Rp 1.400.
Tapi ternyata yang dimaksud oleh Bapak Dibyosumarko itu bukan kapital uang, tetapi tenaga guru. Dikatakan oleh Sdr R. Sumardi bahwa ada tiga orang guru anggota GAI aliran Lahore, yaitu Sdr. Sumarni dari Kweek School, Sdr Sunarti dan Sdr Sudilah dari Meisjes Normaal School, dan dua terakhir adalah Guru SGB Putri Negeri juga.
Setelah ada kata sepakat yang bulat, dan masalah tempat pun telah disetujuinya, lalu mulai mengadakan pendaftaran. Dengan mudah, dalam waktu singkat bisa mendaftar murid sejumlah 75 anak, karena pimpinan sekolah diserahkan kepada Bapak Dibyosumarko, Kepala SGB Putri Negeri, dan tempat sekolah pun meminjam ruangan SGB Putri Negeri pada sore hari. Apalagi, SGB Negeri banyak menolak murid.
Pada bulan ke-1, tepatnya tanggal 22 Agustus 1952, dan bualn ke-2, tepatnya pada tanggal 1 September 1952, SGB PIRI Purwokerto dengan resmi dibuka pada sore hari, bertempat di gedung SGB Putri Negeri, untuk tahun ajaran 1952/1953, dengan murid sebanyak dua kelas atau 75 anak. Guru-guru yang mengajar kebanyakan guru-guru SGB Negeri juga, maka dari itu pelajaran dapat berjalan dengan baik.
Sebagaimana biasanya sekolah baru, sambil berjalan, menemui kesulitan keuangan. Hampir setahun honorarium tak tentu dibayarkan, tetapi sekolah berjalan terus. Hanya kadang-kadang pada waktu hujan guru-guru ada beberapa yang tidak dapat hadir. Suatu hal yang biasa.
Pengurus PIRI cabang Purwokerto menginginkan agar murid-muridnya juga menerima tunjangan ikatan dinas seperti murid-murid SGB dan SGA di Yogyakarta. Untuk mudahnya, setelah kita rundingkan bersama, mendapat kata sepakat, murid-murid SBG PIRI Purwokerto akan dipindahkan ke Yogyakarta. Hal ini terjadi setelah SGB PIRI Purwokerto berjalan kira-kira tiga bulan lamanya.
Pada tanggal 30 Nopember 1952, dua kelas SGB PIRI Purwokerto dipindahkan ke Yogyakarta, hingga SGB PIRI Yogyakarta pada tahun ajaran 1952/1953 itu jumlah murid kelas I-nya ada 6 kelas. Di Yogyakarta telah disediakan asrama untuk mereka. Pindahnya murid-murid SGB PIRI Purwokerto ke Yogyakarta diantarkan oleh Sdr R. Tarekat, perintis PIRI Cabang Purwokerto.
Sebelum murid-murid dipindahkan ke Yogyakarta, guru-guru yang besar simpatinya kepada GAI merasa belum puas membantu PIRI. Lalu bertanya kepada Sdr R. Sumardi, apakah GAI tidak akan membuka SGB PIRI lagi, setelah SGB PIRI nanti dipindahkan ke Yogya?
Sdr. R Sumardi merasa mendapat kepercayaan yang mendorong beliau untuk berbuat. Pada tanggal 30 Nopember 1952, Pengurus PIRI Cabang Purwokerto membuka lagi SGB PIRI dengan jumlah murid yang sama, yakni 75 orang anak. Sekolah itu dipimpin kembali oleh Bp. Dibyosumarko, dan bertempat di SGB Putri Negeri pula.
Lagi, jiwa pengorbanan timbul. Seorang Guru SGB Putri Negeri, Sdr. Kanapingah, melihat keadaan SGB PIRI merasa kasihan, tak ada guru tetap yang mengawasinya. Apalagi memang ada niat untuk memintakan subsidinya, yang mengharuskan adanya guru tetap sebagai jaminannya.
Beliau melihat dengan mata kepala sendiri tidak hadirnya guru-guru pada waktu hujan, sehingga sering banyak lowong. Maka dari itu dengan segala keikhlasan hati beliau melepaskan jabatannya sebagai Guru Negeri SGB Putri, dan 100% menyumbangkan tenaganya di SGB PIRI Purwokerto membina sekolah tersebut.
Alhamdulillah. Jiwa yang terkena cahaya kebenaran Islam yang diajarkan oleh Mujaddid abad ke-14 H sukar untuk memadamkannya. Sekali terkena cahaya itu, bukannya menjadi suram, tetapi malahan memancar dengan terangnya. Sabda Allah dalam kitab Suci Al-Qur’an 61:8 demikian, “Mereka bermaksud hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulutnya, tetapi Allah menyempurnakan cahayanya meskipun orang-orang kafir benci.”
Demikian pula beberapa simpatisan GAI yang betul-betul mencari kebenaran, setelah terkena hatinya oleh cahaya Kebenaran Islam, tidak tanggung-tanggung dalam mengabdikan diri kepada agama Islam, tetapi terus terjun ke dalamnya, meminum sepuas-puasnya dari sumbernya yang asli, yaitu Qur’an Suci dan Sunnah Nabi.
Akhirnya karena besarnya keyakinan akan kebenaran Islam, bai’at kepada Allah akan menjunjung agama melebihi dunia, mendahulukan agama daripada perkara lainnya. Inilah didikan tiap-tiap Mujaddid yang datang sesudah wafatnya Nabi Suci dan Sunnah Nabi Suci.
Memang Islam adalah agama yang hidup dan dihidupi oleh Allah. Hidup dengan bebas, tidak terikat dan tidak dikuasai oleh orang, oleh ulama, oleh golongan, oleh ummat, oleh Raja atau oleh Zaman. Sebaliknya, Islam memberi petunjuk kepada orang, ummat dan Zaman.
Inilah sebabnya maka pada tiap-tiap abad timbul kekuatan dari dalam yang memimpin zaman itu, yang dilaksanakan oleh orang pilihan Allah yang disebut Mujaddid, seperti yang dijanjikan oleh Nabi Suci Muhammad saw. sebagaimana tersebut dalam Hadits, “Sungguh Allah akan mengutus pada tiap-tiap permulaan abad, orang yang akan memperbaharui agama di waktu itu.”
Kedatangannya Mujaddid pada tiap-tiap permulaan abad Hijriyah itu memang diperlukan untuk menghidupkan kembali umat Islam sesuai dengan ajaran Al-Qur’an, dan menyadarkannya akan kewajiban mulia yang ada di hadapannya.
Setelah SGB PIRI Purwokerto dapat berjalan dengan baik, dan Bapak Dibyosumarko dipindahkan ke Semarang menjadi Inspektur Pendidikan Guru, maka pimpinan sekolah diserahkan kepada Sdr. Kasmo, guru yang tertua di sekolah itu, sampai beliau wafat pada tahun 1954. Lalu pimpinan sekolah diserahkan kepada Sdr. Kanapingan tersebut diatas.
SGB PIRI Purwokerto mendapat bantuan dari pemerintah mulai Tahun Ajaran 1953/1954, tepatnya sejak bulan Agustus 1953 menurut SP. Tgl. 15-4-1954 No. 16263/565 sebesar Rp 1.400.
Pada tahun ajaran 1954/1955, dua orang keluaran SGA PIRI ikut berjuang menegakkan berdirinya SGB PIRI. Kami katakan ikut berjuang, karena SGB PIRI waktu itu masih bantuan, belum mendapatkan subsidi, sehingga belum bisa memberikan gaji seperti Pemerintah.
Pada Tahun Ajaran 1955/1956, datang lagi dari Jogja empat orang guru untuk SGB PIRI Purwokerto, dua orang putri dan dua orang putra. Dengan adanya 7 orang guru tetap, maka SGB PIRI Purwokerto dimintakan subsidi penuh oleh Pengurus PIRI.
Pengurus PIRI Cabang Purwokerto kelihatan sekali perhatiannya terhadap nasib dari teman-teman Guru. Segala petunjuk dari Pengurus Pusat PIRI untuk memintakan subsidi dijalankan dengan segala ketekunannya.
Tatkala SGB PIRI Purwokerto, dalam rangka akan diberi subsidi, diperiksa oleh Inspektur Pendidikan Guru Daerah Jawa Tengah di Semarang, Bapak R. Endo Harjosuwito, yang memegang pimpinan adalah Sdr. Kanapingah. Bantuan SGB PIRI Purwokerto pun berubah menjadi Subsidi Penuh mulai tahun 1959/1960 dengan Sp. Tgl. 26-8-1960 No. 72465/ B.II.
Bapak Dibyosumarko, sewaktu masih memegang pimpinan SGB PIRI, selalu memberi fasilitas yang besar, misalnya alat-alat pelajaran dapat dipinjamnya dengan leluasa. Jika kekurangan kapur pun dapat diberi dari SGB Putri Negeri, karena SGB Negeri alat-alatnya serba melimpah-limpah. Alhamdulillah.
Berhubung akan ditutupnya seluruh SGB oleh Pemerintah, maka mulai tahun ajaran 1957/1958, semua SGB baik Negeri maupun Swasta tidak menerima murid untuk kelas I, dan mulai dialihkan kepada sekolah lain. SGB PIRI Purwokerto dialihkan berangsur-angsur, mulai 1 Agustus 1957 menerima murid untuk kelas 1 SMP. Sehingga keadaan pada akhir tahun ajaran 1959/1960 di PIRI Purwokerto seperti berikut:
- Kelas I SMP PIRI ada 45 anak (dua kelas/paralel)
- Kelas II SMP PIRI ada 32 anak (satu kelas)
- Kelas III SMP PIRI ada 53 anak (dua kelas/paralel)
- Kelas IV SGB PIRI ada 40 anak (satu kelas)
Kelas III SMP dan kelas IV SGB PIRI mengadakan ujian akhir, maka berakhir pulalah SGB PIRI dan beralih menjadi SMP PIRI Bersubsidi, dengan Sp. Tanggal 26 Agustus 1961 No. 3937/B, terhitung mulai 1 Agustus 1961.
Kita bersyukur ke hadirat Allah SWT bahwa sekolah kita telah mendapat subsidi penuh. Tetapi di samping suka, ada pula dukanya, karena guru-guru yang kita usulkan menjadi guru tetap tidak semuanya diterima oleh bagian Subsidi Dep. P.P. dan K.
Dua orang guru putri dan dua orang guru putra yang hanya memiliki ijazah PIRI tidak dimasukkan dalam formasi subsidi sebagai guru tetap, hanya bisa diangkat sebagai guru honorarium, dan dianjurkan supaya mengikuti ujian SGA Negeri dahulu.
Padahal, melihat hasil ujiannya selama mereka itu mengajar di SGB sangat memuaskan. Sekolah yang dipegang hasil ujiannya baik. Ujian akhir pada tahun 1955/1956 lulus 100%, tahun 1956/1957 lulus 95%, tahun 1957 / 1958 lulus 96%, tahun 1958/1959 lulus 96%, tahun 1959/1960 SGB PIRI lulus 99%, SMP lulus 31%.
Tetapi Sayang, peraturan tidak mengizinkan untuk diangkat sebagai guru tetap, karena hanya memiliki ijazah PIRI, meskipun selama 5 tahun ternyata hasilnya selalu baik.
Kami merasa kasihan kepada mereka itu, lalu kami beri kesempatan mengikuti ujian SGA Negeri lagi. Alhamdulillah dapat terlaksana, dua orang guru putra, Sdr. Maryanto Susilo dan Sdr. Sokhib, dapat lulus ujian SGA Negeri dan masuk formasi subsidi. Dua orang guru putri tidak mengikuti ujian karena telah kawin.
Memang banyak hal-hal di dunia ini yang sering mengelikan. Sebagai contoh, SGA Putri sejak permulaan akan mengeluarkan murid selalu diadakan ujian sekolah sebagai latihan dan ikut juga ujian SGA Negeri. Ada anak yang lulus ujian SGA Negeri, tetapi tidak lulus ujian SGA PIRI. Sebaliknya, ada anak lulus ujian SGA PIRI, tetapi tidak lulus ujian SGA Negeri.
Hal ini tidak mengherankan, sebab kita menyelenggarakan sekolah itu dengan sungguh-sungguh hati ingin membantu Pemerintah, tidak komersil. Jadi tidak serampangan, tetapi betul-betul dijaga mutu pelajarannya, supaya baik dan memuaskan. Sampai sekarang SMP PIRI Purwokerto tetap berdiri dan makin kelihatan kemajuannya.
Pada tahun 1967, Yayasan PIRI Cabang Purwokerto mendirikan SPbMA (Sekolah Perkebunan Menengah Atas), dengan dukungan dari Jawatan Pertanian setempat. Karena pemerintah sendiri tidak mempunyai sekolah macam tersebut, maka SPbMA diubah menjadi STM Pertanian Jurusan Produksi, dan mulai mengikuti ujian Negeri pada tahun 1970 dan meluluskan muridnya 70%. Tahun 1971 lulus juga ujian Negeri 100%. Alhamdulillah, hingga kini sekolah tersebut masih diusahakan sebisanya dapat bantuan/subsidi dari Pemerintah.
Sumber Artikel : Buku Seperempat Abad PIRI, 1947-1972
Penyunting : Asgor Ali
Comment here