Artikel

Pribadi Tawadhu: Jihad Menebarkan Nilai-Nilai Islam dalam Kultur Keindonesiaan

Membicarakan kultur ke-Indonesiaan timbul pertanyaan “itu kultur yang mana”, sebab kalau kita mencoba menyisir Indonesia dari Sabang Aceh sampai Merauke Papua rasanya akan kita lihat kultur yang jauh berbeda satu dengan yang lain.

Kalau kita maknai kultur ke Indonesia an itu seperti diri kita sebagai orang “Jawa” maka mungkin yang kita maksud kultur ke Indonesia an itu adalah hidup yang cinta damai, lemah lembut, sopan santun, saling toleransi dan seterusnya.

Sementara kalau menganalisis tentang kultur keIndonesiaan (Jawa) bukanlah faktor yang berdiri sendiri plus tidak langsung jadi seperti sekarang ini, yang toleran, senang hidup rukun damai dan bersikap lemah lembut. Dengan demikian pasti ada nilai-nilai yang mendasari dan terbentuk dalam kurun waktu yang lama berabad-abad dalam prosesnya.

Dan hemat saya secara singkat nilai nilai yang mendasari terbentuknya kultur keIndonesiaan seperti wajah sekarang ini yang toleran, cinta damai, dan hidup yang penuh kerukunan adalah nilai-nilai Islam yang telah ditebarkan, diperjuangkan, diretas dan dirintis oleh para pendakwah dan Penyebar agama Islam kala itu yang kalau di Jawa kita kenal dengan “Para Wali” atau Wali songo.

Pertanyaannya adalah, bagaimana para penyebar dan pendakwah agama Islam dapat sedemikian berhasil dalam menyebarkan nilai nilai Islam di Indonesia sehingga dapat berurat berakar mewarnai kultur Indonesia dengan nilai nilai Islam, sampai sampai orang jawa yang tidak menjalankan syariat Islam pun tetap mengaku Islam sebagai agamanya.

Dalam slogan jawa ada istilah “ agomo ageming aji” dan itu yang dimaksud adalah Islam. Hal itu karena para Pendakwah Islam permulaan di nusantara ini menerapkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai ajaran Islam yang sangat kuat dalam kehidupan sehari-hari. Adapun nilai-nilai itu sebagian menurut pemateri sebagai berikut:

1. Menjalani hidup dalam sifat Tawadhu

Tawadhu adalah perilaku yang memiliki watak rendah hati dan tidak sombong, yaitu sikap batin yang menjelma dalam praktek lahiriyah secara wajar dan bijaksana, tidak brangasan dan merasa benar sendiri.

Syekh Ibnu Athaillah menyampaikan bahwa “Orang yang tawadhu itu bukan ia yang ketika merendah mengganggap dirinya lebih tinggi dari yang dilakukan, namun orang tawadhu itu ia yang ketika merendah menganggap dirinya lebih rendah dari yang dilakukannya.”

Allah pun berfirman dalam Al Qur’an surat Al Furqon ayat 63 tentang utamanya hidup tawadhu:

“Dan hamba hamba Tuhan yang Maha Penyayang ialah orang orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati. Dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.”

Tentu para Wali menjiwai sifat sifat tawadhu itu juga karena meneladani hidup Rasulullah saw. Kehidupan para Wali yang demikian Tawadhu itu telah menunjukkan harkat martabatnya yang mulia yang menyilaukan penduduk nusantara kala itu sehingga mereka lambat laun berbondong-bondong mengikuti jejak ajaran para Wali dengan memeluk agama Islam.

2. Komitmen Jihad: Berdakwah Nilai-Nilai Islam dalam shaf (barisan)

Jihad yang kami maksud di sini adalah “Kesungguhan dan Pengorbanan” melampaui batas nalar kita.

Para Wali atau para penyiar agama Islam permulaan di Nusantara ini adalah berasal dari ulama-ulama Hadramaut yang ditugasi Sultan Muhammad dari Turki Utsmani untuk berdakwah Islam di Asia Tenggara.

Ulama ulama ini mengarungi lautan jauh dari negeri asalnya untuk berdakwah menyebarkan nilai-nilai Islam dengan keyakinan yang kuat akan berhasil dakwah di Nusantara ini. Keyakinan dan kepasrahan akan pertolongan Allah dalam menyebarkan ajaran Islam merupakan komitmen berjihad yang luar biasa.

Di kemudian hari kita juga menerima ajaran mujadid Mirza Ghulam Ahmad melalui mubaligh-mubaligh yang dikirimkan untuk berdakwah di Nusantara ini.

Ajaran Islam yang didakwahkan para ulama permulaan ini tidak serta merta diterima oleh warga Nusantara yang kala itu memeluk agama Hindu dan Budha. Butuh kesabaran keteladanan dan bukti nyata tentang kebenaran keluhuran dan kebermanfaat ajaran Islam bagi hidup dan kehidupan. Mereka para Wali dengan telaten dan penuh kesabaran menuntun penduduk untuk memahami ajaran Islam.

Para Ulama permulaan dakwah Islam di Nusantara sangat mafhum dengan hal tersebut, maka mereka membentuk shaf (barisan) yang kuat dan teratur serta berkelanjutan yang diberi nama “Wali Songo.”

Walisongo adalah lembaga perwalian yang didirikan ulama permulaan dakwah Islam di Nusantara dengan tujuan sebagai lembaga permusyawaratan para Wali untuk mengatur, mengorganisir dan menjaga kesinambungan dakwah Islam. Selayaknya perintah Al-Qur’an Surat As-Shoof ayat 4 “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berjuang di jalan Allah dalam organisasi yang teratur, mereka seakan-akan seperti suatu bangunan yang sangat kokoh.”

Dalam periode dakwah Islam permulaan ini tidak kita temukan firqoh-firqoh atau perbedaan yang memicu pertengkaran dan permusuhan. Para pendakwah ini membangun persatuan dan organisasi yang kuat dalam menyebarkan agama Islam. Hanya ada satu peristiwa yang tercatat dalam sejarah yaitu melokalisir ajaran syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang karena mengajarkan sufisme yang bisa membahayakan tatanan syariat Islam bagi penduduk secara umum.

Dengan lembaga Walisongo itulah komitmen berjihad dalam menyebarkan Islam di Nusantara terus dilakukan oleh para Wali. Keberhasilan Dakwah Islam di Nusantara (Jawa) mulai tampak hasilnya pada periode ketiga (kurang lebih 40 tahun dari periode pertama Walisongo), yaitu pada eranya Sunan Kalijaga.

Keberhasilan dakwah Islam itu yang demikian merata dan menjanjikan seperti “Fathul Makkah” digambarkan oleh Sunan Kalijaga dalam lagu “ ILIR ILIR”, dan itu menandai bangkitnya peradaban Islam di Nusantara dan mewarnai kultur Nusantara dengan nilai-nilai Islam yang kemudian hari menjadi kultur KeIndonesiaan

3. Mempunyai sifat adopsi dan adaptasi

Para Ulama permulaan (Wali) mempunyai wawasan dan pandangan yang luar biasa tentang adopsi dan adaptasi untuk menciptakan dakwah Islam yang sejuk dan damai tetapi mewarnai.

Kemampuan adopsi dan adaptasi para Wali antara lain:

a. MengIslamkan simbol-simbol budaya dengan cara tetap menjaga simbol simbol budaya tetapi kontennya mulai diisi dengan nilai-nilai Islam.

b. Menciptakan media-media budaya sebagai sarana untuk menyebarkan ajaran Islam seperti gamelan dan wayang yang diciptakan para Wali.

c. Menikah dengan Putri putri raja untuk menaklukkan kekuasaan dengan jalan damai sehingga dakwah Islam bisa diterima dari kalangan bangsawan sampai penduduk kebanyakan, dan terjadi suksesi kepemimpinan dari kerajaan yang berkhidmat ke Hindu-Buddha menjadi kerajaan Islam.

Dalam Hal adopsi dan adaptasi untuk mensyiarkan ajaran Islam ini Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat An-Nahl ayat 125 “Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan tutur kata yang khasanah dan berdialog-lah dengan mereka dengan cara-cara yang ikhsan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang mengetahui siapa yang dapat petunjuk.”

4. Mempunyai sifat Rahmatan lil ‘Alamin

Sifat ini sesungguhnya merujuk tujuan Allah SWT mengutus Nabi Muhammad sebagai rahmatan lil alamin. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Anbiyya ayat 107: “Tidaklah Aku (Allah) mengutusmu (Muhammad) melainkan sebagai Rahmatan Lil Aalamiin.”

Para Wali atau ulama adalah pewaris Nabi sehingga Wali pun adalah Rahmatan lil Aalamiin.

Rahmatan lil Aalamiin adalah terciptanya kehidupan sosial yang saling menghargai dan tidak terjadi penindasan kepada sesama. Bentuk kehidupan yang saling menghargai adalah tidak membedakan perbedaan perbedaan identitas yang ada dalam diri manusia baik itu menyangkut suku, agama, bahasa dan warna kulit.

Terbangunnya rasa kemanusiaan untuk hidup rukun damai antar sesama apapun latar belakangnya.

Kita bisa menyaksikan jejak kediaman para Wali atau Ulama, dimana di daerah yang didiami oleh para Wali atau Ulama berkembang pesat baik kehidupan jasmani dan rohaninya. Menjanjikan keamanan, kenyamanan, dan kemakmuran subur lahir dan batinnya. Jejak itu bisa kita telusuri di kota-kota di Indonesia, Jawa khususnya.

Sifat Rahmatan lil Alamiin yang menjiwai pribadi para Wali ulama permulaan dakwah Islam di Nusantara adalah terikatnya tujuan yang jelas kuat dan kokoh, menyatunya sifat Jamali dan Jalali dalam diri para Wali, sehingga periode dakwahnya persis periode dakwah Rosulullah dari periode Makkah ke periode Madinah, menuju kejayaan bangsa Nusantara yang dilandasi nilai-nilai Islam.

Ini bisa kita lihat pada akhirnya para Waliyullah ini menjadi pemimpin besar baik pemimpin rohani dan pemimpin duniawi sehingga terbentang dengan lapang “Menegakkan Kedaulatan Allah SWT agar umat Nusantara (Indonesia) mencapai keadaan jiwa dan kehidupan lahir batin yang DAMAI (SALAM).

PENUTUP

Jadi bagaimana mengimplementasikan nilai-nilai Islam dalam kultur Keindonesiaan atau yang lebih tepat menjaga nilai-nilai Islam yang sudah mewujud dalam kultur keindonesiaan adalah kita harus meneladani kehidupan dan perjuangan Waliyullah di Nusantara ini.

Menjadi pribadi yang Tawadhu (tidak merasa benar, pinter, sombong, mau menang sendiri, dst.), mengikatkan diri dengan sekuat-kuatnya akan TUJUAN MENYEBARKAN NILAI-NILAI ISLAM dengan mengorganisir diri dan menjaga persatuan yang kokoh dan rencana dakwah yang teratur, selebihnya kita menyesuaikan media dakwah Islam dengan peradaban manusia masa kini.

“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepadaNya. Dia Maha Penerima Taubat.” (QS An-Nashr)

Demikian untuk bahan diskusi dan perenungan. Semoga setelah Jalsah, kita tidak hanya sibuk diskusi dan kembali tidur. Amin.

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »