Non muslim atau ghair muslim adalah penghalusan kata kafir dalam Al Qur’an dan Hadist. Kata Kafir jamaknya kaafiriin telah digunakan dalam Al Qur’an sejak zaman permulaan kenabian, wahyu ke-19 bernama Al-Kafirun, yang artinya:
- Katakanlah: Wahai orang-orang kafir
- Aku tak menyembah apa yang kamu sembah
- Dan kamu juga tak menyembah apa yang aku sembah
- Demikian pula aku bukanlah orang yang menyembah apa yang kamu sembah
- Dan kamu pun bukab orang yang menyembah apa yang aku sembah
- Kamu akan mendapat pembalasan kamu dan aku juga akan mendapat pembalasanku.
Dalam teologi Islam, manusia dibedakan menjadi dua golongan, yaitu mukmin (orang beriman) atau muslim (orang Islam) dan kafir. Garis pemisahnya adalah kalimat syahadat, yakni pernyataan la ilaha illallah muhammada-rasulullah, tak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Utusan Allah. Barangsiapa yang menerima segala kebenaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.adalah orang yang beriman atau orang Islam, sedang yang menolak adalah orang kafir.
Selanjutnya siapakah orang kafir itu? Di tempat lain Allah SWT sendiri menjelaskan bahwa kaum kafir itu ada dua golongan, yaitu kaum musyrikin dan Ahlikitab atau Alladzina Utulkitab. (89:1,3). Kaum musyrikin misalnya kaum paganis Arab yang menyembah banyak berhala dan dewa-dewa yang antara lain mereka sebut Lata, Uzza, Manat (53: 20-21) dan Hubal. Uzza adalah dewi yang paling dicintai bangsa Arab, sedang Hubal adalah kepala berhala-hala Arab. Pada saat itu penyembahan berhala tidak hanya merajalela di tanah Arab saja, tetapi juga berbagai penjuru dunia, misalnya di Romawi, Persia, India, dan sebagainya.
Sedangkan kaum Ahlikitab adalah umat beragama non Islam, misalnya yang sering disebut Al Quran adalah kaum Yahudi dan Kristen atau Nasrani, menyusul Majusi atau Zoroastrianisme (22:17). Kaum Hindu, Buddha, Kong Hu Chu dan Tao esensinya juga termasuk Ahlikitab karena mereka menganut sebuah kitab suci. Hanya bedanya dengan tiga umat sebelumnya, empat umat ini pengikut para Nabi atau Utusan yang namanya tak disebutkan oleh Al-Quran (4:164), sedang tiga umat sebelumnya sering disebut oleh Al Quran dan hadist, demikian pula kitab suci mereka.
Tatkala surat Al-Kafirun diturunkan, sebutan musyrikin yang dituju adalah kaum politheistik Arab, lalu akhirnya meluas kepada sekalian umat manusia di dunia yang tidak menganut sebuah kitab suci yang diwahyukan, yang dalam Quran Suci 3:19 disebut Ummiyyin (orang-orang ummi), sedang yang dimaksud Ahlikitab atau alladzina uutul-kitab adalah kaum Yahudi dan Kristen karena mereka ada di tanah Arab lalu meluas kepada sekalian umat beragama non Islam.
Jadi Nabi Suci Muhammad saw itu diutus kepada sekalian umat manusia, baik secara etnis dan ras maupun secara teologis, karena Rasulullah saw. adalah Utusan kepada sekalian umat manusia, kaffatan linnas (34:28) dan Al Quran adalah peringatan untuk sekalian bangsa, lil ‘alamina nadzira (25:1). Ciri khasnya, Islam menghormati umat manusia tanpa diskriminasi, sebagaimana penghormatan kepada para Nabi Utusan Allah dari berbagai bangsa. Mereka adalah bersaudara yang ‘dilahirkan’ oleh seorang ibu, tetapi umatnya berbeda-beda. Bahkan AlQuran menetapkan beriman kepada Kitab Suci dan Utusan merupakan pilar iman dalam Islam (Rukun Iman).
Fitrah manusia itu beragama
Kini kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah sedemikian majunya. Dunia ibarat satu negeri besar. Lewat alat-alat komunikasi canggih seperti radio, televisi dan internet terbuka kesempatan yang luas untuk saling mengenal di antara bangsa dengan bangsa dan di antara umat beragama yang satu dengan umat beragama yang lain, misalnya antara umat Islam dengan Ahlikitab atau umat non Islam.
Kini para cendekiawan dari masing-masing agama berusaha keras untuk menarik umat manusia kepada agama mereka atau setidak-tidaknya untuk menunjukkan keunggulan agama mereka. Bahkan mereka yang tidak beragama pun mempertahankan paham mereka dengan gigih, sehingga paham itu sendiri seakan-akan menjadi suatu agama, misalnya komunisme, sosialisme, dan sekularisme. Komunisme yang bertentangan dengan fitrah insan itu sudah hampir kiamat dengan bubarnya Uni Soviet Sosialis Rusia (USSR), sosialisme terus memudar, tinggal sekularisme yang masih nampak berjaya di samping kapitalisme, anak kandung Kristianitas yang telah terhuyung-huyung karena kerentaannya.
Berkat ilmu pengetahuan dan teknologi, rasionalitas berkembang. Keleluasaan informasi melalui media massa, baik cetak maupun layar kaca, tak terbendung lagi. Akibatnya pemahaman-pemahaman kehidupan dan doktrin-doktrin religius eksklusivistik seperti extra ecelesian nulla salus, bahwa tak ada keselamatan di luar agama, yang benar disisi Allah adalah Islam (3:19), secara berangsur-angsur ditinggalkan umat dan sebagai gantinya muncullah pepatah There are many ways to Roma, banyak jalan menuju Roma, mirip dengan pepatah Jawa kabeh agama pada wae. Teologi inklusivisme mandul, dipelopori oleh teolog katolik Karl Rahner.
Kedua aliran teologi – eksklusivisme dan inklusivisme – ini ada kebenarannya, tetapi kekeliruannya juga ada, bahkan lebih besar. Nilai kebenarannya ialah secara fenomenologis menunjukkan bahwa mereka adalah umat beragama, sedang kekeliruannya mengisyaratkan sikap israf, melebihi batas, yang melahirkan ekstremitas sempit atau fanatikus, sedang inklusivisme melahirkan ekstremitas luasa tanpa batas beragama. Demikianlah pencarian agama menurut dorongan fitrah manusia yang paling mendalam dan mendasar.
Realitas Rububiyah Ilahi
Rububiyah Ilahi bukan hanya secara jasmani, tetapi juga secara ruhani. Maka dari itu munculnya kesadaran beragama secara universal, berarti dunia menuju kepada Islam. Agama-agama non Islam mulai meninggalkan doktrin doktrin eksklusivitasnya dan di dalam Islam mulai meninggalkan doktrin-doktrin sekfarionitasnya menuju Islam yang Quranik. Hal ini merupakan tanda-tanda alam dan zaman. Alam dan zaman memerlukan adanya suatu agama yang benar-benar humanistic dan universal. Keperluan itu terpenuhi lewat Islam yang salah satu karakteristiknya ialah risalahnya pluralistik, baik aqidahnya yang bersifat teoritis maupun syariahnya yang bersifat praktis.
Menurut Al-Quran, Allah adalah Rabbul-‘alamin, Tuhan sarwa sekalian alam atau sekalian bangsa. Rabb artinya Yang menciptakan segala sesuatu, yang tidak saja memberikan mata penghidupan dan pemeliharaan, melainkan pula memberikan kemampuan-kemampuan yang tertanam dalam kodratnya, dan dalam lingkungan kemampuan ini, Dia menyediakan syarat-syarat agar ciptaanNya meneruskan perkembangannya setapak demi setapak hingga mencapai puncak kesempurnaan. Atau dengan dengan kata yang singkat Rabb adalah Yang memlihara hinga sempurna.
Jadi manusia di dunia seakan-akan putera dari Ayah satu, Yang tak membeda-bedakan dalam memelihara puteraNya, dengan mengantar mereka secara evolutif, tahap demi tahap menuju kesempurnaan. Oleh karena itu, dalam Al-Qur’an, Allah bukan saja dikatakan sebagai Dzat Yang memberi makanan jasmani melainkan pula memberi makanan rohani berupa wahyu kepada sekalian bangsa di dunia lewat seorang Utusan. Suatu ayat mengatakan bahwa “tiap-tiap umat mempunyai seorang Utusan”(10:47), bahkan “tak ada suatu umat melainkan seorang juru-ingat telah berlalu di kalangan mereka” (35:24). Inilah landasan teologi pluralisme yang sifatnya humanistis yang senantiasa dicari-cari oleh segenap umat manusia karena sesuai dengan fitrahnya.
Di samping itu, sifat Allah sebagai Rabbul’alamin itu mengandung arti pula bahwa Allah sebagai Tuhan sarwa sekalian alam memperlakukan sekalian manusia tanpa pilih kasih. Allah mengasihi sekalian manusia dan mengampuni dosa mereka. Allah membalas perbuatan yang dilakukan manusia, tanpa membeda-bedakan agama dan kepercayaan serta kebangsaan mereka. Allah membalas perbuatan sekalian manusai tanpa pilih kasih, baik Islam maupun non Islam. Seorang Muslim dianjurkan menyatakan kalum dinukum waliyadin,bagi kamu pembalasan kamu dan bagiku pembalasanku (109:6).
Allah bukan saja memperlakukan manusia tanpa pilih kasih, melainkan pula Dia menciptakan sekalian manusia dari bahan yang sama, min nafsin wahidah (4:1). Yang diciptakan dengan struktur yang sama menurut gambar dan rupa Allah keserupaan disini bukan keserupaan badaniah seperti Adam dan anaknya (Kej 5:3), melainkan keserupaan kodrati atau fitriah. Manusia dicipakan menurut fitrah Allah, sebagaimana ditegaskan dalam ayat : “Fitrah Allah, Yang Ia menciptakan manusia atas fitrah itu” (30:30). Dalam berbagai ayat ditegaskan bahwa setelah embrio sempurna, telah meniupkan ruh-Nya ke dalamnya. Karena itu manusia hidup. Ahyan-nasa biruhihi, Dia hidupkan manusia dengan ruh-Nya. Tanpa ruh Illahi manusia-apapun agama dan kepercayaannya serta bagaimanapun warna kulitnya-tak akan hidup, baik secara jasmani maupun secara ruhani.
Jadi, kesatuan manusia adalah akibat mutlak dari Keesaan Allah; hal ini ditekankan oleh Al-Quran dengan kata-kata yang terang bahwa “sekalian manusia adalah umat satu” (2:213), dan bahwa “ manusia itu tiada lain hanyalah satu umat, lalu terpecah belah” (10:19), karena itu agama diturunkan untuk menciptakan kembali kesatuannya. Esensi agama adalah pemersatu umat manusia, bukan pemecah belah manusia menjadi berbagai golongan, baik secara etnis dan rasis maupun secara teologis.
Cara mempersatukannya bagaimana? Jawabnya : “berbuat baiklah kepada sesama sebagaimana Allah telah berbuat baik kepada kamu, dan janganlah berbuat anarki dimuka bumi, karena sesungguhnya Allah tak suka kepada kaum anarkis”(27:88). Inilah esensi ibadah dalam Islam yang Allah amanatkan kepada umat manusia, dan Allah menganjutkan mereka agar menyatakan kepada kaum non Islam: “Wahai kaum non Islam (Kafir) ! Aku tak menyembah kepada apa yang kamu sembah, dan kamu juga tak menyembah kepada apa yang aku sembah, dan aku tak akan menyembah kepada apa yang kamu sembah, dan kamu pun bukan orang menyembah apa yang aku sembah (109:1-5). Lalu diakhiri dengan penegasan keyakinan, “lakum dinukum waliyadin” (109:6). Ayat terakhir ini sangat signifikan untuk membuktikan kepada dunia modern bahwa Isalm adalah rahmatan lil ‘alamin, karena ayat tersebut merupakan landasan penunaian kewajiban asasi manusia (KAM) yang melahirkan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam koridor kemanusiaan yang adil dan beradab serta berakhlaqul karimah, baik din diartikan pembalasan, maupun din dalam arti agama.
Jika kaum kafir telah telah mengetahui agama yang benar dan mereka menolaknya serta bersikeras menganut ajaran mereka, silakan, karena memang : “tak ada paksaan dalam agama, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dan jalan yang sesat” (2:256). Dengan nada yang sama tapi berbeda redaksi, Rasulullah saw diperintah Allah agar menyatakan: “kebenaran itu datang dari Tuhan kamu, maka siapa yang hendak beriman silakan beriman, dan siapa yang hendak kufur silakan pula” (18:29). Kelak di hari kemudian, masing-masing mempertanggungjawabkan pilihannya.
Jadi di dunia ini seharusnya tak ada seorang pun yang ditindas dan dianiaya oleh orang lain, karena agama dan kepercayaannya, sebab hal itu menjadi hak prerogatif Allah, yang beragama yang digariskan oleh Islam dalam abad ke-7 Masehi ini salah satu butir rahmatan lil ‘alamin yang senantiasa up to date, yang selalu diagungkan oleh segenap umat manusia beradab dab berakhlaqul karimah.
Sikap Rasulullah saw terhadap non Muslim
Uraian di atas nampak semakin jelas jika melihat implementasinya sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Suci saw, yang diabadikan dalam surat Al-Kafirun. Kaum kafir Quraisy dan kabilah-kabilah Arab lainnya yang semula begitu keras menolak Islam, bahkan menentangnya, akhirnya tunduk dan takluk ke pengkuan Islam, Islam dengan suka rela. Berarti ada perubahan sikap. Perubahan sikap non muslim karena akidah ini sebenarnya telah diisyaratkan dengan jelas dalam surat Al-Kafirun. Kaum Muslimin dan kafir sama-sama sebagai‘abid, orang yang menyembah. Kata ‘abid adalah isim fa’il, yaitu bentuk kata yang menunjuk kepada pelaku yang kelakuaannya sudah sedemikian mantap dan mendarah daging dalam jiwanya, sehingga sulit untuk diubah, meski dapat diubah. Hal ini berarti Nabi Suci saw menyatakan kepada kaum kafir bahwa sejak awal mula beliau tidak pernah menjadi penyembah tuhan-tuhan atau sesembahan-sesembahan kaum kafir. Sejak masa kanak-kanak keyakinan beliau kepada Tuhan Yang Maha Esa telah teguh tertanam dalam jiwa beliau dan penyembahan berkala yang telah umum dilakukan oleh bangsanya tak beliau sukai. Dalam ayat apa yang kamu sembahdinyatakan dengan kata ma ‘abad-tam (ayat 4) berbeda dengan ayat sebelumnya ma ta’budun (ayat 2). Perbedaannya, kata ‘abad-tumadalah fi’il madhi, kata kerja masa lampau (past tense), sedang kata ta’budun adalah fi’il mudhari’, kata kerja masa kini dan masa dating (present tense & future tense). Hal ini mengandung arti bahwa kaum kafair tak konsisten dalam penyembehana, pengabdian dan konsisten. Obyek penyembahan kaum kafir hari ini berbeda dengan kemarin. Jika kita perhatikan secara kontekstual, baik dalam konteks histories maupun dalam konteks sastra sebagaimana strukturnya dalam Mushaf, nampak jelasa bahwa sesembahan kaum kafir adalah sesuatu yang dianggap dapat mendatangkan keuntungan dan menjauhkan kemalangan baginya. Sesembahan itu bias berupa alam, manusia, berhala, dan sebaginya. Sebaliknya, kaum Muslimin senantiasa konsisten dalam pendirian dan akidah, yakni la ‘a’budu ma ta’budun,aku tak menyembah apa yang kamu sembah. Pernyataan aku sembah atau aku menyembah Arabnya a’bud secara gramatikal adalah fi’il mudhari’ kata kerja masa kini dan masa datang (present tense & future tense). Tiga kali tertulis dalam surat ini, yaitu dalam ayat kedua, ketiga dan kelima. Hal ini mengandung petunjuk bahwa Nabi Suci saw dan umatnya bersikap tegas dan konsisten bahwa sekarang dan dimasa yang akan dating tidak akan menyembah, tunduk atau taat kepada apa yang telah disembah,sedang disembah dan akan disembah oleh kaum kafir, non muslim.
Dari sini nampak jelas bahwa kerukunan atau toleransi dalam akidah dan ibadah atau teologial antar agama tidak ada, yang ada ialah kerukunan sosialantar umat beragama. Adanya perintah “Qul”artinya katakanlah, fi’il amar (kata kerja perintah) ini menekankan betapa pentingnya pokok masalah yang dibicarakan. Berulangkali dinyatakan dalam Quran Suci,,tepatnya tepatnya sampai 332 kali terulang, berarti umat Islam menyatakan dengan tegas dan jelas, tetapi arif bijaksana terhadap kaum kafir atau kawan biasa. Jadi perbedaan agama esensinya bukan rintangan untuk menciptakan kerukunan, toleransi, tasammuh antar umat beragama. Justru sebaliknya, perbedaan itu merupakan perekat kerukunan, toleransi dan tasammuh. Sebab perbedaan itu rahmat. Esensi lawan akidah adalah kawan dialog dan lawan pendapat adalh kawan berfikir. Selaras dengan sabda Nabi Suci saw, bahwa “Ikhtilafu ummati rahmat”, artinya “Perbedaan diantara umatku adalah rahmat”(Jami’ushshaghir). Sekalian umat manusia adalh umat dakwah nabi suci saw. Oleh karena itu dialog teologi yang selama ini dikunci rapat oleh para penguasa dan pembesar duniawi dengan alas an demi persatuan dan kesatuan bangsa atau umat, sudah waktunya untuk dibuka untuk melenyapkan kekafiran terhadap humanitas religius (Islam). Untuk keperluan ini Gerakan Ahmadiyah telah memberikan buku panduan, berupa tafsir Quran dalam berbagai bahasa dan buku-buku perbandingan agama.
Sikap GAI terhadap non Muslim: Comparative Religion
Kita bersyukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, berkar rahmat dan karuniaNya kita menjadi Muslim Ahmadi, pengikut Hazrat Mirza Ghulam, Masih dan Mahdi, Imamuzzaman zaman akhir. Lewat beliau kita menemukan hakikat Islam sebenarnya yang selama ini tersembunyi, terutama tentang sikap muslim terhadap non muslim. Mutiara ini sebenarnya telah tercermin dalam diri Nabi Suci saw, baik dalam nama maupun sejarah hidup beliau. Nama diri beliau yang termaktub dalam Qur’an Suci adalah Ahmad dan Muhammad. Nama Ahmad diberikan oleh ibunda beliau, Siti Aminah, sedang nama Muhammad diberikan oleh kakek beliau Abdulmutholib. Kedua nama beliau itu berasal dari akar kata hamida, yahmadu, artinya memuji.Nama Ahmad artinya aku memuji atau yang terpuji, sedang namaMuhammad artinya yang terpuji. Nama Ahmad -dalam arti memuji- mengandung arti sifat jamali, yakni sifat keindahan dan keelokan budi pekerti, yang beliau terapkan dalam sejarah hidup beliau di Mekah, sedang nama Muhammad mengandung sifat jalali, yakni sifat keagungan dan kemuliaan, yang beliau jabarkan dalam sejarah hidup beliau di Madinah.
Berkanaan dengan hidup keagamaan nama Ahmad dengan sifat jamalinya penerapannya bersifat horizontal-sosial, sedang nama Muhammad dengan sifat jalalinya penerapannya bersifat vertical-teologial yang tak mengenal toleransi. Hal ini menjadi jelas tercermin dalam pernyataan madzar beliau, Imamuzaman Hazrat Mirza Ghulam Ahmad dalam kitabnya Arba’in :
“Aku ingin menyatakan kepada seluruh orang Muslim, Kristen, Hindhu dan Arya, bahwa aku tidak punya seorang musuh pun di dunia ini. Aku mencintai seluruh umat manusia laksana seorang ibu pengasih terhadap anak-anaknya, bahkan lebih daripada itu. Aku hanya jadi musuh bagi kepercayaan-kepercayaan batil yang merusak dan melemahkan kebenaran. Cinta terhadap manusia adalah kewajibanku. Dan berlepas diri dari bohong, syirik, aniaya dan berlepas diri dari segala perbuatan yang jelak dan akhlak yang buruk adalah pendirianku”.
Akhirnya akan menjadi lebih jelas lagi sikap GAI tergadap sesama manusia, inklusif terhadap non muslim. Jika kita perhatikan Janji Sepuluh yang diucapkan oleh setiap warga GAI setelah mengucapkan bai’at yang bunyinya sebagai berikut :
Saya berjanji dengan hati tulus, bahwa :
- Selama hidup, tak akan berbuat dosa syirik (yaitu menyembah Tuhan selain Allah)
- Akan menyingkiri segala macam kejahatan, seperti misalnya: berdusta, berzina, memandang orang lain dengan nafsu birahi, khianat, sewenang-wenang, mengacau dan berbuat bencana, lagi pula tak akan tunduk kepada meluapnya hawa nafsu.
- Akan tekun menjalankan salat lima waktu sebagaimana diperintakan Allah dan Rasul-Nya, dan dengan sekuat-kuatnya akan menjalankan salat tahajjud, dan memohonkan rahmat atas Nabi Suci (sHolawat), memohon perlindungan dari pada dosa (istigHfar), mengucapkan syukur atas nikmat Ilahi (tasyakur), memuji dan memahasucikan Allah (tahmid dan tasbih).
- Tak akan menyakiti sesama manusia, teristimewa kaum Muslimin, baik dengan tangan, lisan ataupun dengan cara-cara lain.
- Akan tetap setia kepada Allah, baik diwaktu senang maupun susah, baik waktu kecukupan maupun kesempitan, di waktu sehat maupun sakit, dan dalam keadaan bagaimanapun akan tetap tawakkal kepada Allah, dan akan menghadapi segala kesukaran dan kehinaan di jalan Allah dengan gembira, di saat-saat derita tak akan mundur selengkahpun bahkan semakin menguatkan tali pengikat dengan Allah.
- Akan menjauhkan diri dari kelakukan buruk atau menuruti ajakan nafsu daging, dan akan mentaati sepenuhnya segala perintah Qur’an Suci, dan akan menjunjung tinggi sabda Allah dan Rasul-Nya sebagai pedoman hidup.
- Akan menjauhkan diri dari kesombongan, dan sebaliknya, akan hidup dengan andap asor, rendah hati dan lemah lembut.
- Akan menjunjung tinggi kehormatan agama Islam, melebihi apa saja, bahkan melebihi jiwa, harta, takhta, anak dan saudara.
- Akan mencintai sesama manusia demi cinta saya kepada Allah; dan dengan sekuat-kuatnya hendak menggunakan nikmat pemberian Allah untuk kebahagiaan ummat manusia.
- Akan mentaati perjanjian ini sampai mati, dan dengan segala keikhlasan akan meneguhkan tali persaudaraan ini, lebih kuat daripada ikatan keluarga dan ikatan lain-lainnya.
Jika karakter demikian dianggap sesat, di dunia ini kaum Ahmadi adalah yang paling sesat![]
Comment here