Kolom

Jangan Hanya Bertopang Dagu

“Wahai saudaraku yang tercinta! Saat ini adalah saat yang paling baik untuk memperjuangkan agama yang saudara cintai. Sadarilah akan pentingnya saat ini.

Janganlah saudara sia-siakan kesempatan yang baik ini. Karena jika saudara sia-siakan, saudara akan kehilangan kesempatan yang baik untuk berkorban.

Apakah saudara akan sampai hati tak ikut berjuang? Padahal saudara mengaku sebagai pengikut Nabi Besar Muhammad saw!”

Demikianlah sabda Ghulam Ahmad, sang Imam Zaman, yang bisa kita baca di penghujung kitab nasihatnya. Kitab nasihat berlembar-lembar itu menjadi bacaan wajib bagi setiap orang yang berikrar setia menjadi pengikutnya.

Sebelum ia mengakhiri nasehatnya dengan kalimat-kalimat di atas, sang Imam bertutur tentang tindak-tanduk para ulama di zaman ia hidup.

“Mereka,” kata sang imam, “sibuk membikin gaduh!” Mereka  semakin jauh dari Islam. Majelis yang mereka pimpin tak sekali pun bicara Qur’an dan Hadits. Yang mereka bahas adalah soal bid’ah dan khurafat.

Siang malam, masih kata sang Imam, mereka ramai membunyikan alat musik dan nyanyian. Padahal, mereka mengaku sebagai pemimpin agama, dan pengikut nabi yang mulia.

Kegaduhan selalu terjadi berulang. Di zaman sebelum Ghulam Ahmad hidup, di saat ia hidup, pun nun jauh sesudah ia berlalu. Mungkin, “alat musik dan nyanyian” yang menjadi sumber kegaduhannya saja yang berubah.

Soal bid’ah dan khurafat berabad-abad bikin gaduh. Sejak zaman Imam Madzhab sampai dengan masa Imam Zaman. Dan tak juga usai hingga sekarang.

Jauh sebelumnya, di masa yang dekat dengan kewafatan Nabi Suci, yang bikin gaduh adalah urusan siyasah, urusan politik!

Politik membelah umat menjadi golongan-golongan, yang saling klaim kebenaran. Khawarij sakit hati dengan Muawiyah. Muawiyah berseteru dengan Syiah. Syiah tak bisa damai dengan Sunni. Kini, Sunni tak mau kompromi dengan Wahabi, yang mereka sebut sebagai Neo-Khawarij.

Sebab itu, “saat” yang dimaksud Sang Imam Zaman di awal tulisan ini, boleh dikata berlaku saat ini juga, persis di depan hidung kita.

Saat dimana para “ulama” sibuk membikin gaduh! Saat, dimana situasi umat, tak jauh berbeda dengan masa yang dekat dengan kewafatannya Rasulullah.

Ada Neo-Khawarij yang gampang mengkafir-kafirkan dan punya hasrat untuk membunuh orang yang berbeda keyakinan. Ada Neo-Mu’awiyah yang sibuk mengincar kekuasaan. Ada Neo-Syi’ah yang sakit hati dan dan memendam dendam kesumat.

Sebab itu pula, Sabda Imam Zaman yang berbunyi “saat ini adalah saat yang paling baik untuk memperjuangkan agama yang saudara cintai” adalah sabda yang kontekstual, tak berbatas waktu. Kalimat itu berlaku di zamannya, dan juga di zaman kita sekarang ini.

Dan kalimat itu mengajak kita semua, yang hari ini hidup dalam ikatan ikrar dengannya, untuk berjuang dan tak menyia-nyiakan kesempatan untuk berkorban.

Ajakan sang Imam, antara lain tertulis di bagian awal kitab nasihatnya, “Galanglah perdamaian. Hentikanlah permusuhan. Dan ampunilah kesalahan!”

Jadi, janganlah kiranya saudara sekalian hari ini hanya bertopang dagu. Janganlah saudara sia-siakan kesempatan yang baik ini. “Apakah saudara akan sampai hati tak ikut berjuang?” kata Sang Imam.

Boleh jadi, situasi yang serupa dengan situasi yang dekat dengan kewafatan Rasulullah ini, memang menjadi tanda-tanda zaman. Boleh jadi pula, jika kita ikut berjuang, mungkin situasinya akan berubah bukan hanya serupa dengan pasca kewafatan Rasulullah, tapi serupa dengan masa Rasulullah.

Sang Imam Zaman menyudahi nasihatnya, dengan sebuah sabda yang bernada perintah, “Kuatkanlah iman saudara dan berilah contoh teladan! Buatlah para malaikat kagum akan keteguhan hati saudara, hingga mereka merasa malu untuk tak memohonkan berkat untuk saudara!”

 

— Asghar Ali —

 

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »