Tokoh

Ahmad Muhammad Djojosoegito (1927-1990)

Ahmad Muhammad 2Lahir di Purwokerto, 5 Oktober  1927. Beliau adalah putra salah satu pendiri GAI, R. Ng. H. Minhadjurrahman Djojosoegito.

Nama Ahmad Muhammad, menurut penuturan, amat bersejarah dalam hidup dan kehidupan sang ayah, Djojosoegito. Pada tahun-tahun ini, Djojosoegito harus menentukan pilihan antara tetap berada di lingkungan Muhammadiyah, atau tetap melanjutkan kesukaannya pada pemahaman Islam yang beliau kaji melalui Mirza Wali Ahmad Baig, yang notabene adalah mubaligh Ahmadiyah Lahore.

Sampai kemudian terbitlah Maklumat PB Muhammadiyah No. 294 tanggal 5 Juli 1928, yang isinya antara lain “melarang mengajarkan ilmu dan paham Ahmadiyah di lingkungan Muhammadiyah”. Djojosoegito, yang saat itu menjabat sebagai Ketua Cabang Muhammadiyah Purwokerto, bersedih atas hal itu. Dengan keluarnya Maklumat tersebut, berarti setiap orang yang setuju kepada ajaran Ahmadiyah harus menentukan pilihan: keluar dari Muhammadiyah atau membuang ajaran Ahmadiyah. Beliau pada kenyataannya memang memilih bergabung bersama para sahabatnya mendirikan Ahmadiyah, tetapi tak bisa melepaskan sepenuhnya Muhammadiyah. Nama Ahmad Muhammad mencerminkan kecintaan Djojosoegito terhadap Ahmadiyah, sekaligus juga kepada Muhammadiyah.

Ahmad Muhammad Djojosoegito memperoleh gelar Dokter pada tahun 1957 dan menjadi Guru Besar Fisiologi di Fakultas kedokteran UGM.  Pada tahun 1963, UGM mengeluarkan ketetapan yang mengharuskan adanya pelajaran agama di Universitas. Beliau pun kemudian ditunjuk sebagai dosen Agama Islam di dan menjadi Ketua Forum Pengajian UGM yang pertama.

Beliau menjabat Ketua Umum PB GAI sepeninggal H. M. Bachrun (w. 1978). Beliau menjabat Ketua Umum dari 1979 sampai dengan wafatnya di tahun 1990, saat menunaikan ibadah haji.

Sebagai Guru Besar Universitas Gajah Mada (UGM) dan dosen Etika Kedokteran di Fakultasnya, sebenarnya beliau cukup sibuk. Namun demikian, beliau tetap menyisihkan waktu, tenaga, pikiran dan hartanya demi GAI. Beliau mengangkat seorang Sekretaris Pribadi di kantornya dan diberi honorarium dari kocek beliau sendiri. Dari sinilah akhirnya PB GAI punya kantor resmi di Kompleks Yayasan PIRI Baciro yang di kemudian hari berkembang menjadi Ahmadiyah Center. Pada tahun 2004, peresemian Ahmadiyah Center disaksikan oleh Prof. Dr. Abdul Karim, Amir Shadr Ahmadiyya Anjuman Isha’ati Islam Lahore Pakistan, saat berkunjung ke Indonesia.

Di bawah kepemimpinan beliau GAI terus maju, sesuai dengan semboyan yang beliau canangkan “keluar dari sarang” bertekad “ memasyarakatkan Ahmadiyah dan meng-Ahmadiyahkan masyarakat”. Realisasinya:

  1. Kaderisasi muballig setiap tahun dalam liburan panjang diselenggarakan.
  2. Muslimat GAI ditingkatkan perannya sebagai pencipta sorga dalam rumah tangga
  3. Cabang-cabang lama yang layu disegarkan dan yang mati dihidupkan kembali, misalnya cabang Purbalingga, Magelang, Madiun dan Semarang.
  4. Yayasan PIRI dikembalikan kepada khithahnya “sebagai tempat persemaian kader-kader GAI” yang langkah-langkahnya :
  • pembinaana guru-guru agama sebagai muballigh GAI dan “wakil” Badan Pemangku Azas (BPA) PIRI disekolah masing-masing dilaksanakan setiap Jum’at sore,
  • Guru-guru agama ditugaskan sebagai ustadz pengajian kelompok di sekolah masing-masing dan sebagai mubaligh di lingkungan masyarakatnya masing-masing,
  • Buku-buku pendidikan Agama untuk SLTP-SLTA PIRI disusun, meliputi Sub Bidang Studi: Akidah Islam, Fiqih Islam, Tarikh Islam, Pendidikan Akhlak dan Tajdid Islam yang disusun dengan sumber rujukan utama ajaran Imamuzzaman yang membias lewat Maulana Muhammad Ali, M.A.LLB. Karya para ulama non Ahmadi sebagai pelengkap data pembanding. Semuanya disusun oleh H.S. Ali Yasir dengan dibantu oleh para mubaligh, terutama Drs. Abdul Razak, Drs. Yatimin A.S. dan Drs. M. Iskandar. Semua dana yang masuk ke Yayasan PIRI dua setengah persennya adalah Dana Rohani yang penggunaannya untuk menopang kegiatan GAI dalam melaksanakan programnya.

Beliau wafat pada tahun 1990 sebagai syuhada dalam tragedi Mina, Mekah, bersama sekitar 1500 jemaah haji lainnya. Beliau gugur bersama sang istri, Ibu Sumiati Ahmad Muhammad (saat itu masih mendapat amanat memimpin Lembaga Ilmu Pengetahuan PB GAI) dan adik tercinta, Ibu Fathimah binti Minhajurrahman Djoyosugito (Bendahara PB GAI). []

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »