Temponya Hazrat Mirza Ghulam Ahmad umum disukai orang adalah beberapa tahun lamanya. Maka dalam tahun 1891 datanglah satu perkara yang berbalikan, ketika dengan lantaran satu wangsit Tuhan ada nyata padanya, bahwa sebagai nabi-nabi Allah yang lain-lain, maka Nabi Isa a.s. itu pun telah wafat juga.
Bahwasanya dikatakan Nabi Isa a.s. telah menaik ke langit dalam badan jasmaninya dan tinggal hidup di sana sampai segala abad yang lama ini tidak dengan makanan atau kebutuhan-kebutuhan manusia yang lain-lainnya –satu kepercayaan yang umum berlaku di antara kaum Muslimin – maka kepercayaan itu tiadalah ada alasannya sama sekali.
Kalau kiranya Hazrat Mirza Ghulam Ahmad hanya berkehendak dihormat oleh orang banyak saja, maka sesungguhnya sudah tercapailah kehendaknya itu. halnya ia menyimpang daripada satu anggapan yang kuat yang umum menyukai dia, itulah tidak lain melainkan hanya bisa merugikan kehormatannya.
Dia punya cita-cita baru tentang wafatnya Nabi Isa a.s. dia tahu benar-benar cita-citanya yang demikian itu hanyalah akan membangkitkan persangkalan belaka. Dalam pada memperumumkan cita-citanya ituu pun ia akan membelokkan sahabat-sahabatnya dan orang-orang yang hormat padanya, yaitu kaum Muslimin, berubah menjadi musuhnya.
Tetapi orang-orang yang didirikan oleh Allah, tiadalah begitu perduli akan fikiran orang ramai. Kewajiban dan pekerjaan mereka yang sungguh-sungguh ialah akan memperbaiki nasib rakyatnya, dan bagi mereka tiadalah perduli, apakah mereka mendapat kepujian atau pencelaan.
Sungguh amat beratlah pekerjaan melahirkan perkataan kebenaran (hak), dan apabila seorang tidak berbuat menurut kemauan Tuhan, sungguh beratlah pula akan bicara terus terang yang berlawanan dengan fikiran orang banyak.
Halnya Hazrat Mirza Ghulam Ahmad melahirkan bicara yang terbit dari rohnya dengan keberaniannya keyakinan, dengan tidak perdulikan barang apa yang akan kejadian daripadanya, itulah sungguh-sungguh menunjukkan kesucian hatinya. Ia berbuat yang demikian itu ialah pada kalanya nyata benar ia disukai orang di segenap negeri. Setelah ia melahirkan perkataan bahwa Nabi Isa a.s. telah wafat, maka kenamaan dan kemashuran yang telah diperolehnya itu segeralah lenyap diganti oleh kebencian dan permusuhan.
Tetapi sesungguhnya inilah jalan yang sampai kepada keselamatan Islam, keamanan Islam terhadap kepada serangannya kekristenan yang hebat, yang mendapat kekuatan dari fikiran yang tidak benar tadi. Begitulah ia tidak undur, dengan tidak perdulikan barang apa yang akan kejadian. Islam mesti diperlindungi, biar pun sahabat-sahabatnya berubah menjadi musuh juga.
Manakala serangan hebat yang dilakukan oleh kekristenan itu, begitulah orang boleh menanya. Serangan itu tempatnya ialah ada di dalam persangkaan bahwa Nabi Isa a.s. dalam selama zaman-zaman ini ada di atas kebutuhan-kebutuhan manusia, tidak makan dan juga tidak minum. Sedang sebaliknya, dari halnya segala Nabi maka Quran yang Suci dengan nyata-nyata ada menyebutkan begini:
Wamaa ja’alnaahum jasadan laa ya’kuluunath-tha’aamu wa maa kaanuu khaalidiin
“Kita tidak menjadikan badan mereka begitu, sehingga mereka tidak memakan makanan atau pun tidak bisa terkena perbuatan”.
Sungguh pun Nabi, tetapi mereka ini sebagai manusia yang lain-lainnya adalah memakan makanan dan bisa terkena perubahan juga.
Sekarang, kalau kiranya Nabi Isa a.s. telah bertinggal di langit sampai dua ribu tahun lamanya dan bertahan bisa hidup tidak dengan makanan pada waktu ini masih satu rupa juga seperti pada hari naiknya ke langit, maka kalau benar begitu, nyatalah ia mesti bukan manusia, tetapi bersifat Tuhan. Dan dengan sesungguh-sungguhnya inilah yang mendari dasar kekristenan, yakni bahwa Nabi Isa a.s. itu bersifat Tuhan.
Apabila persangaan yang serupa itu dialaskan kepada Quran yang Suci, maka dengan sebenar-benarnya itulah akan berari satu senjata yang hebat dalam tangannya kekristenan, dan Islam tidak bisa mempunyai pengharapan akan mendapat kemenangan dalam perlawanan. Tetapi Allah yang telah pernah menjaga Islam, berdatanglah pula memperlindungi dia.
Adalah dinyatakan kepada orang yang telah dititahkan membela perkaranya Islam dalam abad ini, ialah Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, Mujaddid dalam abad ke-14, bahwasanya tiap-tiap kepercayaan yang serupa itu tidak diperteguhkan oleh Quran yang Suci dan juga tidak diperteguhkan oleh Hadits. Kenyataan kedua-duanya itu menunjukkan bahwa Nabi Isa a.s. sudah wafat.
Quran yang Suci dengan nyata-nyata ada menunjukkan wafatnya Isa a.s.
Wamaa muhammadun ilaa rasuul. Qad khalat min qablihir rusul. Afa in mataa aw qutila in qolabtum ‘alaa aqaabikum
“Muhammad,” begitulah sabda Allah di dalam Quran (3:143), “itulah hanya seorang utusan belaka. Segala utusan sebelum dia sudah sama mati. Apabila ia mati atau terbunuh, apakah kamu akan kembali kepada tingkau lakumu?”
Sungguh inilah satu persaksian yang nyata. Ketika Hazrat Umar tidak suka percaya kepada kabar menyedihkan hati tentang wafatnya Nabi yang suci, maka Hazrat Abu Bakar lalu membaca ayat yang tersebut ini, buat menunjukkan bahwa segala nabi yang dulu telah mati sehingga tiadalah ada perkara teristimewa yang menyebabkan orang heran akan wafatnya Nabi yang Suci.
Sebagai juga kepercayaan yang berlaku pada masa ini, maka pada ketika itu pun ada juga kepercayaan yang serupa itu tentang hal tidak matinya Nabi Isa a.s. sebagaimana ternyata daripada jawabnya Hazrat Umar: Apakah Isa tidak masih hidup?
Bahwasanya Hazrat umar yang begitu marah dan mengancam akan segera membunuh barang siapa berani menyebutkan kematiannya Nabi yang Suci, akhirnya dengan aman hatinya ia bertakluk kepada keterangannya Hazrat Abu Bakar yang beralasan ayat Quran itu. Itulah menunjukkan bahwa persangkaan keliru itu tidak masuk menyerbu di dalam Islam pada waktu permulaan riwayatnya. Dengan seterang-terangnyalah sahabat-sahabat Nabi yang Suci sedikit pun tidak ada persangkaan keliru yang serupa itu.
Tentang perkara yang tersebut adalah satu ayat yang lebih terang pula:
Yaa ‘iisaa innii mutawafiika wa raafi’uka ilayya
“Oh, Isa! Kami hendak menyebabkan kamu mati dan mengangkat kamu di hadapanku.” (3:54)
Teranglah sudah keputusan fikiran orang tentang perkara ini. Kenaikan Nabi Isa a.s. ke langit kejadianlah sesudah ia wafat dan yang menarik ke langit itu ialah rohnya, bukan badannya.
Naik ke hadapan Allah tidak bisa berarti lain, melainkan kenaikan roh adanya. Kalau kamu menganggap yang menaik itu badan, maka dengan begitu kamu hendak menetapkan tempat Allah, membatasi Allah sampai ke sesuatu tempat ke atas; inilah satu perkara yang salah belaka.
Allah ada Maha Kuasa, ada di mana-mana. Kalau kiranya benar bahwa Allah hanya di langit dan tidak di bumi, maka dari anggapan yang demikian itu timbullah ketentuan fikiran yang tidak karu-karuan adanya. Itulah akan berarti bahwa Nabi Isa a.s. sendiri yang diangkat oleh Allah, mempunyai hak yang tersendiri akan bertinggal bersama-sama dengan Allah, sedang nabi-nabi yang lainnya, juga Nabi yang Suci Muhammad, yang semua telah terkubur di dalam tanah, tiadalah memperoleh bahagia yang demikian itu.
Lagi Quran yang Suci di lain tempat ada menunjukkan kenyataan seperti yang tersebut di atas itu. Menurut ceritera dalam Quran, pada hari kiamat, apabila Isa a.s. ditanya oleh Allah:
Yaa ‘iisaa ibnu maryam, anta qultu linnaasi: ittakhadzuunii wa ummii ilahayna min duunillaah?
“Oh, Isa anaknya Maryam! Apakah kamu telah berkata kepada orang-orang: anggaplah aku dan ibuku sebagai dua tuhan di luarnya Allah?”
Maka Isa a.s. memaafkan diri dengan perkataan-perkataan yang penting artinya, beginilah maksudnya:
Maa qultu lahum ilaa maa amartanii bih. An a’budallaahi rabbii wa rabbakum. Wa kuntu ‘alaihim syahiidan maa damtu fiihim falammaa tawfaytanii kuntu anta arraqiibu ‘alaihim.
“Hamba tidak berkata kepada mereka melainkan barang apa Tuhan telah memerintahkan kepada hamba, yaitu baktilah kepada Allah, Tuhanku dan Tuhanmu; dan hamba adalah persaksian mereka selama hamba tinggal di antara mereka, tetapi apabila Tuhan menyebabkan hamba mati, maka Tuhanlah yang menjadi penjaga di atas mereka.”
Di sinilah Isa a.s. dipertunjukkan berkata, bahwa selama ia tinggal di antara umatnya, maka di dalam kalangan kaum Kristen tiadalah ada masuk menyerbu kepercayaan tidak benar tentang derajat ketuhanan dirinya sendiri dan derajat ketuhanan ibunya itu. Kepercayaan-kepercayaan tidak benar yang demikian itu, ia berkata, adalah datang masuk sesudah wafatnya.
Sekarang haruslah ditentukan: Semenjak kepercayaan-kepercayaan tidak benar itu masuk menyerbu di dalam kalangan kaum Kristen, maka Isa a.s. sudah matilah adanya, sebab menurut ayat yang tersebut di atas, kepercayaan-kepercayaan tidak benar itu bisa kejadian hanyalah sesudah wafatnya Isa a.s.
Begitu pun hadits-hadits Nabi yang Suci tidak menimbulkan keraguan sedikit pun juga tentang wafatnya Isa a.s. “Kalau kiranya Musa dan Isa masih hidup,” begitulah bunyinya satu Hadits, “tiada bisa lain melainkan mereka akan mengikuti kami.”
Inilah menunjukkan bahwa Musa a.s. dan Isa a.s. kedua-duanya sudah sama wafat. Satu hadits yang lain bunya begini: “Isa a.s. hidup lamanya seratus dua puluh tahun”.
Lagi satu Hadits yang lain menceriterakan kepada kita bahwa pada malam Mi’raj, Nabi yang Suci mendapat Isa a.s. dan Yahya a.s. di dalam satu tempat bersama. Sesungguhnyalah, orang yang hidup tidak bisa tinggal bersama dengan orang yang mati. Kedua-duanya mesti bersama-sama hidup atau bersama-sama mati. Tetapi kalau orang mengakui kematiannya Yahya a.s., maka tak boleh tidak Isa a.s. mesti sudah mati juga, dan kedua-duanya itu sama kelihatan di dalam perikeadaan roh adanya.
Lain daripada yang tersebut di atas itu maka di dalam umat ini (perikatan orang muslim) sudah ada orang-orang yang tinggi pengetahuannya, martabat dan kekuasaannya, yang mempercayai Isa a.s. sudah wafat.
Pendapatnya Imam Malik yang sangat mashur masih ada tertulis dalam lebih dari satu kitab: “Qaala maalik maata, Malik berkata: (Isa) telah wafat.” Ketiga imam yang lainnya tiadalah menyatakan pendapatnya tentang perkara itu. Imam Bukhari yang mashur namanya juga menganggap bahwa Isa a.s. sudah wafat.
Mujaddid pada waktu yang sekarang telah memperingatkan segala perkara-perkara yang tersebut itu. Tetapi anggapan tentang halnya Isa a.s. masih hidup di langit adalah sudah berakar terlalu dalam. Orang-orang Muslim tidak suka mendengarkan alasan-alasan yang bertentangan dengan fikiran-fikiran yang dicintainya, yang telah terjadi lebih dulu, walaupun alasan-alasan itu bersandar kepada kekuasaannya Quran yang Suci dan Hadits yang sudah tak boleh disangkal lagi. Mereka itu tidak suka berfikir bahwa perkara yang tersebut tadi dengan sejelas-jelasnya ialah menyatakan pekerjaannya Mujaddid dalam abad yang sekarang ini.
Dalam perkara-perkara yang nyata kejadian dalam sehari ke sehari, maka hanyalah kekristenan itu saja yang menjadi lawannya Islam, dan ialah lawan yang terhebat; dalam pada itu pun kekristenan mempunyai satu penyokong yang besar buat menguatkan segenap peraturan ‘aqaid dan usul-usulnya, yaitu bahwasanya Isa a.s. ada duduk di langit bersama-sama dengan Allah.
Membongkar penyokong besar ini akan berarti seperti membongkar segenapnya selaku membongkar sebuah rumah yang terbuat dari kartu, dan Mujaddid hanyalah berbuat barang apa ia harus memperbuatnya.
Isa a.s. di dalam langit berarti satu kemenangan bagi kekristenan yang sudah tak boleh disangkalnya pula. Mujaddid telah menarik dia turun ke bawah sampai ke pangkuannya ibu bumi, berkumpul sama nabi-nabi teman sejawatnya yang lain-lain, dan Mujaddid menyelamatkan peri-keadaannya perkara pada satu saat yang amat berbahaya dalam riwayatnya Islam.
Di dalam kematiannya Isa a.s. adalah tempat hidupnya Islam, dan Mujaddid nisayalah bukan seorang Mujaddid, apabila dalam masa ketinggiannya kekristenan ini ia tidak menerangkan barang yang terang sebenarnya tentang kematiannya Nabi Isa a.s. itu.
Sesungguhnya perkara ini ialah ujian bagi kebenarannya Mujaddid dalam masa yang sekarang dengan segala orang yang berfikir dengan sungguh-sungguh. Tetapi barang apa yang akan menjadi satu persaksian yang nyata bagi kebenarannya Hazrat Mirza itulah dibuatnya alasan bagi tofan perlawanan yang ditujukan kepadanya. Begitu kelirulah fikirannya ulama-ulama Muslim. Begitu tertutuplah mata mereka oleh mengikuti secara budak akan fikirannya orang ramai.
Dinukil dari Da’watoel-‘Amal (Pengajakan Bekerja) oleh Maulana Muhammad Ali, Presiden Ahmadiyah Anjuman Isha’ati Islam, Lahore (Hindustan). Disalin oleh Oemar Said Tjokroaminoto, Presiden Central Sarikat Islam Yogyakarta (Jawa). Diterbitkan oleh Mirza Wali Ahmad Baig, Muballighul-Islam, Utusan Pergerakan Ahmadiyah, Yogyakarta (Jawa). Tanpa Tahun Terbit. Hal. 16-23.
Comment here