Umumnya ulama fiqih, memaknai istilah “jizyah” ini sebagai “pajak yang dipungut dari rakyat non-Muslim merdeka dalam negara Islam, yang dengan pajak itu mereka mengesahkan perjanjian yang menjamin mereka mendapat perlindungan.” Atau diartikan juga sebagai ”suatu pajak yang dibayar oleh pemilik tanah.”
Secara lingusitik, istilah jizyah berasal dari akar kata jazâ, yajzî, jazâ’an, yang memiliki makna “membalas jasa” atau “mengganti kerugian.” Dalam Quran Suci, kata jizyah hanya disebutkan sekali saja, yaitu dalam QS 9:29, yang berhubungan dengan pertempuran kaum Muslimin dengan kaum Ahli Kitab, dalam hal ini kaum Kristen Romawi.
Selengkapnya ayat tersebut berbunyi demikian:
“Perangilah orang-orang yang tak beriman kepada Allah dan Hari Akhir, dan yang tak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan tak mengikuti agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang telah diberikan Kitab, hingga mereka membayar jizyah (pajak) sebagai pengakuan kedaulatan, dan mereka adalah rakyat taklukan.” (QS 9:29)
Bukan Pajak Agama
Maulana Muhammad Ali, dalam Kitab Islamologi, menyatakan: “Para penulis Eropa dalam bidang Islam umumnya berpendapat bahwa Quran menawarkan salah satu di antara dua pilihan kepada kaum non-Muslim, yaitu masuk Islam atau dipenggal lehernya. Tetapi kepada kaum Yahudi dan Kristen, Quran memberi kesempatan agak lebih baik, karena mereka tetap dibiarkan hidup asal membayar jizyah.” (Islamologi, Maulana Muhammad Ali, Bab Jihad. Diterjemahkan oleh H.M. Bachrun, Darul Kutubil Islamiyah: 2007)
Pendapat para penulis Eropa itu, masih menurut Maulana Muhammad Ali, sayangnya tak mendapat bantahan dari para ulama fiqih. Justru mereka seolah menegaskan pandangan kaum orientalis itu dengan mengusung konsep jihad sebagai “perang terhadap kaum kafir yang dipandang musuh,” dan memaknai jizyah sebagai identik dengan “pajak agama.”
Padahal, jika QS 9:29 ini dikaji, dan diperbandingkan dengan berbagai Hadits yang relevan dengannya, jelaslah bahwa jizyah itu sejatinya bukan pajak agama, meskipun ia dipungut dari ahludz dzimmah (makna aslinya: orang-orang yang dilindungi), yakni warga non-Muslim yang berdomisili di negara Islam.
Sebab, jizyah yang mereka keluarkan hanya berlaku sebagai imbalan atas jaminan perlindungan yang mereka dapatkan. Dengan kata lain, jizyah adalah uang iuran dari golongan non-Muslim untuk kepentingan militer di negara Islam, sebagaimana telah dipraktekkan pada zaman Rasulullah saw. Ambil misal jizyah dari kaum Majusi di Bahrain (Bukhari), jizyah dari umat Kristen di Duma (Abi Daud), jizyah dari umat Kristen di Aila dan kaum Yahudi di Jarbak dan Adruh; dan lain-lain.
Manakala pemerintah Islam tak mampu memberi perlindungan kepada warga non-Muslim, maka jizyah-nya tak ditarik. Bahkan yang telah diterima pemerintah pun dikembalikan. Contohnya dalam kasus warga Hims, Suriah, yang ditinggalkan oleh Abu Ubaidah dan pasukannya, akibat serangan balik dari Kekaisaran Romawi.
Ahludz Dzimmah diwajibkan membayar jizyah, tetapi mereka dibebaskan dari wajib militer, yang berlaku bagi kaum Muslimin. Jadi sesungguhnya, umat Islam mendapat tugas yang lebih berat daripada umat non-Islam, karena selain membayar zakat yang prosentasenya lebih tinggi daripada pajak, juga masih harus membayar pajak dan dikenai wajib militer.
Perlu diketahui pula, jizyah hanya ditarik dari ahludz-dzimmah yang dianggap mampu berperang saja. Maka ia disebut juga sebagai pajak pembebasan wajib militer. Selain itu, jizyah juga tidak diberlakukan kepada setidaknya 9 golongan non-Muslim, yakni (1) kaum wanita, (2) anak laki-laki yang belum dewasa, (3) orang lanjut usia, (4) orang yang timpang karena penyakit, (5) orang lumpuh, (6) orang fakir atau melarat, (7) budak belian, (8) budak belian yang bekerja untuk memerdekakan diri, dan (9) para rahib atau pendeta.
Berapa besar jizyah yang harus dibayarkan seorang warga non-muslim, Quran Suci tak menjelaskan secara rinci. Tetapi di zaman Rasulullah saw., besaran jizyah yang dibayarkan adalah sebanyak satu dinar. Tetapi itu pun bukan ketetapan yang bersifat mutlak, karena bisa ditambah atau dikurangi. Menurut Imam Abu Hanifah, jumlah pembayaran jizyah itu tergantung pada kondisi obyektif sosial-ekonomi golongan non-Muslim itu sendiri.
Di Akhir Zaman Jizyah Dihapuskan
Menilik QS 9:29 di atas, ada isyarat bahwa jizyah itu ditarik dari orang-orang non Muslim yang telah ditaklukkan. Jadi, jizyah menjadi semacam supremasi kekuasaan.
Pemerintahan Islam sebagaimana yang diperagakan oleh Nabi Suci memberikan otonomi penuh kepada daerah atau negara yang baru ditaklukkannya. Sehingga Pemerintah Pusat di Madinah sama sekali tidak mencampuri urusan Pemerintah Daerah, baik mengenai undang-undangnya, adat istiadatnya, atau pun agamanya.
Bahkan pun, tidak ada penempatan tentara di negara yang baru ditaklukkan itu. Yang ada hanyalah para muballigh yang mendakwahkan Islam secara santun. Warga negara taklukkan menjadi sasaran dakwah, yang tugas dakwahnya dibebankan kepada setiap orang Islam.
Tetapi apa yang terjadi pada masa Rasulullah saw. itu hanya berlangsung sampai beberapa abad kemudian. Sehingga Rasulullah saw. pun menubuatkan bahwa pada akhir zaman Isa Al-Masih akan datang, dan salah satu tugasnya adalah menghapus jizyah (yadha’ul-jizyah).
Setiap nubuat sifatnya adalah metaforis (majazi). Karena itu, jika nubuat Rasulullah saw. ini dipahami secara hakiki, maka bisa jadi penghapusan pajak bagi suatu negara itu tak masuk akal. Sebab, untuk menciptakan kesejahteraan, negara membutuhkan biaya yang tak sedikit. Dan salah satu sumber pembiayaan negara adalah pajak. Ini berlaku baik di negara Islam maupun negara non-Islam.
Substansi jizyah sesungguhnya adalah supremasi kekuasaan. Dengan demikian, nubuatan Rasulullah saw. tentang Isa Al-Masih yang menghapus pajak itu mengandung makna bahwa pada zaman akhir ini umat Islam telah kehilangan kekuasaan atau kejayaannya. Mereka bukan hanya tidak mampu menarik pajak dari umat non-Islam saja, tetapi bahkan untuk mempertahankan eksistensi dirinya saja pun mereka tidak mampu.
Justru sebaliknya, negara-negara Islam-lah yang ditaklukan oleh bangsa-bangsa Dajjal, Yakjuj dan Makjuj. Sehingga umat Islam harus membayar pajak kepada mereka. Keadaan dunia Islam sendiri tidak beda dengan apa yang dilukiskan oleh Nabi Suci dalam salah satu riwayat hadits, “Islam tinggal namanya dan Quran Suci tinggal tulisannya”.
Umat Islam mendirikan berbagai organisasi dan partai politik guna mencapai kejayaan Islam kembali. Tetapi hasilnya justru berkebalikan. Sebab, manakala kekuasaan berada di tangan mereka, Islam justru semakin ternoda. Negara Muslim terbesar di dunia, sebagai contoh, justru juga menjadi negara yang paling korup di dunia.
Negara-negara Islam menjadi sarang teroris seperti halnya negara-negara Kristen dan Yahudi. Yang beda hanya nama dan simbolnya saja, tetapi akhlaknya sama saja. Padahal diutusnya Nabi Suci hanyalah untuk menyempurnakan akhlak, dan karena keluhuran akhlak umat Islam itulah orang-orang kafir tertarik kepada Islam, dan akhirnya menjadi Muslim (QS 15:2).
Untuk menegakkan kembali supremasi kekuasaan Islam itulah Allah “menurunkan” Isa Al-Masih yang dijanjikan, yang diutus untuk memperingatkan umat Islam bahwa supremasi kekuasaan Islam bukan dalam arti umat Islam akan menguasai kembali kerajaan duniawi.
Diutusnya Al-Masih Yang Dijanjikan (al-masih al-mau’ud) tidaklah bermaksud agar setiap orang tidak merasa cukup mengaku sebagai orang Islam saja, melainkan menuntun umat manusia menjadi Muslim sejati, sebagai sebaik-baik umat (khaira ummah) yang tampil menjadi cermin bagi manusia dalam hal amar ma’ruf nahi munkar dan beriman kepada Allah (QS 3:110).[]
Dinukil dari Naskah “Ensiklopedia Ahmadiyah” karya K.H. S. Ali Yasir
Comment here