“Cacat” adalah kata yang biasa ada di benak orang kebanyakan untuk menggambarkan mereka yang kekurangan secara fisik. Mereka yang dikatakan “cacat” sering dianggap abnormal atau tidak normal. Banyak juga yang mengatakan mereka lahir dengan tidak sempurna.
Tapi apakah sebenarnya mereka benar-benar cacat? Apakah sebenarnya mereka benar-benar tidak normal? Apakah mereka lahir dengan tidak sempurna?
Paradigma kitalah yang telah membelenggu kita pada definisi sempit. Pikiran kita seolah-olah sudah terprogram bahwa mereka yang “tidak sama” dengan kita adalah cacat, tidak normal, dan tidak sempurna. Padahal sebenarnya mereka itu diciptakan sama dengan kita, sehingga memiliki hak-hak kemanusiaan yang sama.
“Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dalam (bentuk) ciptaan yang paling baik.” (At-Tin 95 : 4)
Masih banyak para orangtua yang menanyakan pada dokter atau dukun beranak ketika bayi mereka lahir ke dunia, “apakah sempurna anak saya?”. Ini terjadi karena pemahaman seseorang dikatakan sempurna apabila memiliki keutuhan fisik. Tapi apakah yang tidak memiliki keutuhan fisik dikatakan tidak sempurna?
Tidak, Allah dalam firmannya di surat At-Tin ayat 4 di atas menjelaskan bahwa semua manusia diciptakan dalam bentuk ciptaan yang paling baik atau sempurna. Allah sudah memberikan takaran kesempurnaan pada tiap-tiap orang itu berbeda. Sempurnanya kau dan aku jelas berbeda, meskipun kita sama-sama memiliki keutuhan fisik. Sempurna di mata Allah dan di mata manusia jelas berbeda.
Mungkin timbul pertanyaan, di mana letak keadilan Allah? Mengapa Dia ciptakan manusia ada yang cacat dan tidak? Ini semua dilakukan-Nya agar kita manusia mau belajar. Agar manusia mau meningkatkan dirinya menjadi lebih baik.
Bayangkan bila semuanya diciptakan sama, dengan keadaan fisik yang utuh, apakah jiwa sosialnya akan terasah?
Kita beranggapan bahwa mereka yang cacat tidak dapat melakukan apa-apa. Tapi sebenarnya tidak. Mereka hanya memiliki kemampuan yang berbeda dari kita yang memiliki “keutuhan fisik”, maka timbullah istilah difabel (different able).
Difabel adalah perbaikan makna dari kata disability yang berarti cacat. Tapi ini hanya akan menjadi istilah saja bila tidak diikuti dengan kemartabatan pemahaman kita.
Masuk dalam persolan istilah, apakah kaum difabel itu memang memiliki kemampuan yang berbeda? Bukankah semua orang memiliki kemampuan yang berbeda-beda? Berarti istilah difabel ini bisa dipakai oleh semua orang. Orang yang pandai menggambar sudah jelas difabel dengan orang yang pandai menulis. Lalu apakah istilah difabel ini cocok bagi mereka yang keterbatasan fisik?
Menurut penuturan Bapak Tata dari lembaga CIQAL (Center For Improving Qualified Activities In Life Of People With Disabilities), memakai istilah cacat, disable, difabel, atau bahkan istilah baru yang muncul setelah konvensi internasional yaitu impairment (permasalahan dengan fungsi dan struktur tubuh) akan sama saja efeknya bila kita yang melontarkan istilah itu tidak bermartabat pemahaman kita tentang orang cacat.
Lalu kenapa permasalahan cacat ini menjadi sangat penting? Ini dikarenakan kurangnya perhatian masyarakat dan pemerintah terhadap kaum difabel. Mereka kesulitan untuk bisa beraktifitas. Banyak fasilitas-fasilitas umum yang tidak mendukung.
Contohlah trotoar untuk penyandang tuna netra, tidak semua kota menyediakan fasilitas ini. Dan kalaupun ada, itu hanya sebatas tempelan-tempelan saja. Kesadaran pemerintah pada kaum difabel sedikit sekali. berbeda dengan negara-negara lain yang memang sudah mendesain kota dari awal dengan baik.
Membuat fasilitas umum benar-benar untuk umum. Selama ini yang kita lihat, fasilitas umum itu bukanlah untuk masyarakat umum, tapi hanya untuk kalangan khusus. Banyak pula rumah-rumah ibadah yang dibangun sangat tidak mendukung kaum difabel. Mereka dipaksa untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan yang tak mendukung.
“Ia bermuka masam dan berpaling. Karena orang buta datang kepadanya. Dan apakah yang membuat engkau tahu, bahwa ia boleh jadi akan menyucikan dirinya? Atau ia mau ingat, sehingga Peringatan itu berguna bagi dia? Adapun orang yang menganggap dirinya tak memerlukan apa-apa, kepadanya engkau menaruh perhatian. Dan tak ada cacat bagi engkau jika ia tak mau menyucikan dirinya. Adapun orang yang datang kepada engkau dengan usaha keras, dan ia takut, kepadanya engkau tak menaruh perhatian. Tidak, sesungguhnya itu adalah Peringatan. Maka barangsiapa suka, hendaklah ia memperhatikan itu.” (‘Abasa 80 : 1-12)
Dalam surat ‘Abasa ayat 1-4 di atas diceritakan tentang seorang buta yaitu Ibnu Ummi Maktum (Abdullah bin Syuraih) yang datang menghadap Nabi Suci Muhammad saw selagi beliau menjelaskan ajaran Islam dalam suatu pertemuan para pemimpin Quraisy. Orang buta itu mengganggu pertemuan itu, dan mohon kepada Nabi Suci supaya mengajarkan kepadanya apa yang telah diwahyukan oleh Allah kepada beliau. Nabi Suci merasa tersinggung atas gangguan orang buta yang tak pada tempatnya itu, sehingga beliau bermuka masam dan tak mau menanggapi pertanyaan orang buta itu. Atas kejadian itu, Nabi Suci menerima Wahyu ini.
Di ayat ke-5 dan 6 surat ‘Abasa di atas dinyatakan, “Adapun orang yang menganggap dirinya tak memerlukan apa-apa, kepadanya engkau menaruh perhatian.”. Jadi bagi kita yang merasa lahir dengan keadaan fisik yang utuh, kita harus menaruh perhatian pada saudara-saudara kita kaum difabel.
Ayat 7-12 adalah peringatan kepada kita dan para pemimpin untuk memperhatikan mereka kaum difabel.
Mungkin sedikit kita sadari bahwa orang kidal, cadel, pemakai kacamata juga mengalami kecacatan atau difabel. Orang kidal memiliki kebiasaan menggunakan bagian kiri tubuhnya. Orang cadel sulit sekali untuk melafadzkan huruf ‘R’. Pemakai kacamata akan sulit untuk melihat tanpa bantuan kacamata.
Mereka semua bisa disebut cacat termasuk saya juga pemakai kacamata. Tapi kenapa mereka tidak terlalu menjadi perhatian? Ini dikarenakan mereka tidak merepotkan banyak orang.
Kita ambil contoh pemakai kacamata, kenapa seorang pemakai kacamata tak merepotkan banyak orang? Fasilitas mereka yang mengalami rabun dekat, rabun jauh, ataupun silinder sudah banyak di mana-mana. Kita bisa lihat di setiap sudut jalan ada optik. Dokter mata juga banyak. Dengan banyaknya fasilitas yang memadai itu, seorang penyandang cacat tidak akan lagi merepotkan banyak orang sehingga menjadi persoalan besar yang selalu diperbincangkan setiap saat.
Andai saja pemerintah mengerti. Memfasilitasi kaum difabel itu sangat penting. Ataukah mereka (pemerintah) juga mengalami kecacatan? Mereka buta dari kenyataan banyak yang membutuhkan. Mereka tuli banyak rakyat yang merengek-rengek minta keadilan. Mereka bisu menanggapi tuntutan rakyat. Jadi siapa yang sebenarnya cacat?
Cacat bukanlah masalah fisik. Hati kita juga bisa jadi cacat.[]
- Penulis : Ibnu Ghulam Tufail | Pegiat di Young Interfaith Peace Community (YIPC) Yogyakarta
Comment here